Tentang Rindu

Tentang Rindu

Tentang Rindu
Oleh : Ken Lazuardy

Butir bening dari sudut mataku mengalir selaras dengan senandung tetes air langit sore itu. Tatal-tatal memori indah bersamamu menyeruak dan merobohkan dinding kukuh yang telah lama kubangun sedikit demi sedikit dalam palung hati ini.
Entah kenapa, hari ini, tak seperti biasanya. Dalam beberapa hari terakhir ini, otakku terus memaksa menggali kembali kenangan, satu per satu, tergambar jelas bagaimana kuhabiskan waktu dengan sosok itu. Perasaan yang tak pernah bisa kugambarkan dengan jelas, indah namun terasa perih, bahagia namun terasa sesak mendobrak keras pintu hati.
“Naila … Naila ….” Suara dan tepukan tangan Mbak Mira, kakak sepupuku, yang berhasil mengembalikan kesadaranku yang larut dalam lamunan itu.
“Eh, iya, kenapa?” kataku terkejut seraya dengan sigap mengusap air mata yang masih menempel di pipi.
“Kamu kenapa, Nai? Ada masalah? Coba cerita ke Mbak,” ujar Mbak Mira lembut, selembut belaian tangannya di kepalaku.
Aku membuat senyum yang kuusahakan sewajar mungkin. “Naila nggak apa-apa, Mbak. Cuma kelilipan aja,” ujarku sambil tersenyum. Entah Mbak Mira percaya atau tidak atas jawaban ngawurku itu, aku tak peduli, aku hanya tak ingin mengungkapkannya. Kutundukkan wajah yang tak tahu harus kusembunyikan ke arah mana lagi, agar Mbak Mira tak melihatnya.
Mbak Mira yang tadinya berdiri, mengambil posisi duduk tepat di depanku. Aku bisa merasakan Mbak Mira menatapku penuh tanda tanya, perlahan tangannya memegang dan mengangkat dagu mungilku. Kini wajahku terlihat sempurna dalam pandangannya.
“Nai, Mbak Mira bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi, jangan sampai kepikiran yang macem-macem, ya, Nduk. Besok adalah hari bahagiamu, hari pernikahanmu. Apa kata orang nanti jika melihat mata pengantinnya sembap?” kata Mbak Mira yang sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
Kata-kata Mbak Mira memang ada benarnya. Seharusnya aku bahagia saat ini, karena besok akan menjadi hari bersejarah dalam perjalanan hidupku, yaitu akad nikahku bersama Mas Hasan, lelaki baik hati yang berjanji untuk menjaga dan menyayangiku seumur hidupnya, menjadi imamku, yang aku harap nantinya bisa membimbingku menuju jannah-Nya. Sewajarnya memang seperti itu, namun mengapa semakin mendekati hari H, perasaan ini semakin sakit.
Ya Allah, aku merindukannya. Sangat merindukannya.
Air mata yang sempat tertahan, kini perlahan mulai mengalir, menganak sungai dan membanjiri kedua belah pipiku. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Mbak Mira. Suara hujan yang semakin deras seakan membantuku untuk membuat suara tangisanku tak terdengar oleh orang-orang yang sedang rieweh mempersiapkan pesta pernikahanku.
Dalam pelukan hangat Mbak Mira, kepingan-kepingan puzzle memori indah itu mulai tersusun rapi menjadi sebuah roll film yang siap aku tonton, berjalan mundur perlahan, menayangkan adegan demi adegan, sederhana namun indah, sepele namun manis.
***
DIA.
Aku masih bisa merasakan pelukan hangatnya yang selalu ada di saat aku membutuhkannya, dia memang tak pandai berkata-kata indah. Sungguh, bukanlah seorang pria yang romantis, tak pernah pula mengungkapkan bagaimana perasaannya, namun aku dapat merasakan cinta dan kasih sayangnya yang begitu besar.
Bagaimana bisa seseorang melakukan hal yang seajaib itu? Cinta yang tak pernah diungkapkan, namun selalu dia curahkan di setiap waktunya bersamaku. Tak peduli bagaimana perasaan hatinya saat itu, dia akan selalu menunjukkan senyumnya yang indah, tak pernah sekali pun aku melihat raut sedih dalam wajahnya–yang sampai saat ini dan selamanya terbingkai indah dalam dinding sukmaku.
Pernah saat itu, aku gagal dalam ujian masuk universitas yang sangat aku dambakan, jurusan kedokteran umum di Univeristas Gadjah Mada, Yogyakarta. Aku berada pada titik terendahku, seakan tak punya harapan lagi saat itu, sangat kecewa terhadap hasil pengumuman. Kegagalan kedua, setelah seleksi tahap kedua beasiswa Monbukagakusho-ku di salah satu universitas di Jepang tak berhasil. Jika aku memaksa untuk kuliah dengan masuk jalur ekstensi (non-reguler), hal itu mustahil mengingat kondisi ekonomiku yang pas-pasan. Sepertinya, aku memang harus menunda kuliahku, tak ada jalan lain.
Dia yang tahu bagaimana perjuanganku belajar mati-matian mempersiapkan ujian masuk universitas, mencari beasiswa agar gratis biaya masuk dan tiap semesternya, yang menemaniku ke mana pun aku pergi, membangunkan semangatku setelah kegagalan-kegagalan itu menghancurkan hidupku. Dengan cara-cara yang sederhana namun manis, hingga aku bangkit kembali dari kondisi terpurukku.
Tanpa berkata apa-apa, dia mengisyaratkan untuk menaiki sepeda motor Supra-X warna merahnya, aku pun menurut saja meskipun tak tahu akan diajak ke mana. Setelah memboncengku menyusuri jalanan indah Kota Malang, dia mengendarai motornya menuju ke alun-alun Kota Malang. Memarkirkan motor, lalu menggandeng tanganku begitu erat dan mengajakku duduk di salah satu kursi yang berdekatan dengan penjual es puter.
Dia orang yang sangat ramah dengan siapa pun, bahkan dengan orang yang baru dijumpainya. Dia berbincang-bincang dengan abang si penjual es puter sebelum memesan es puter dua gelas.
Sambil menyodorkan gelas berisi es puter, dia mulai mengajakku berbicara.
“Kamu tahu, Cil? Es puter itu terbuat dari apa?”
Cil adalah panggilan sayangnya padaku, entah apa maknanya, apakah kecil atau krucil, aku tak pernah tahu. Namun cukup sesuai dengan perawakanku yang mungil, dan yang terpenting, aku tak pernah keberatan atas panggilan sayangnya itu.
“Hm …. Apa, ya? Santan?” sahutku setelah berpikir beberapa detik, menerka-nerka dengan mulut yang dipenuhi oleh es puter lezat itu.
“Betul, gadis pintar,” ujarnya sambil mengusap-usap rambutku.
Dia pun melanjutkan, “Mengapa terbuat dari santan? Jadi, es puter berawal dari keterbatasan orang Indonesia yang ingin menikmati es krim yang pada saat itu hanya bisa dinikmati oleh kaum tertentu, kaum menengah ke atas. Dari keterbatasan itu, lahirlah inovasi hebat dengan memodifikasi pembuatan es krim, mengganti bahan utamanya yaitu susu dengan santan kelapa. Hebat, kan, orang Indonesia?”
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya, sambil menyeruput sisa es puter yang telah mencair.
“Mengapa hebat? Keterbatasan tak menjadikan mereka berputus asa untuk menikmati es krim. Mereka dapat menciptakan es krim versi mereka sendiri, yang kini bisa kita nikmati, es puter. Jangan sedih lagi ya, Cil. Tetap semangat, jangan pernah berputus asa untuk menggapai impianmu menjadi seorang dokter. Dokter yang membantu orang-orang yang tak mampu. Kamu kelak akan menjadi wanita yang hebat, wanita yang tangguh.”
Senyumku mengembang mendengar kalimat motivasinya saat itu, sudah ngalah-ngalahin Mario Teguh saja. Aku pun semakin mengaguminya. Tak lupa dia mengabadikan momen kami dengan kamera ponselnya.
Potongan memori itu meleleh seperti es puter yang kami nikmati berdua saat itu, lalu tergantikan dengan adegan memori lain bersamanya.
***
Aku terkejut ketika ada panggilan, bahwa ada tamu yang ingin menemuiku di asrama putri, padahal saat itu hujan deras. Dia tiba-tiba berada di depan asramaku dalam keadaan basah kuyup, derasnya hujan waktu itu seperti diterjangnya tanpa ragu.
“Cil, kenapa kamu nggak angkat panggilanku? Aku telepon lagi, malah nggak nyambung,” tanyanya tanpa basa-basi.
Padahal aku sudah bercerita bahwa aku sedang sakit. Aku pun menjelaskan kepadanya bahwa baterai ponselku juga habis sesaat setelah aku akan mengangkat panggilan darinya.
Aku tak menyangka, dia akan senekat ini hanya untuk melihat keadaanku. Aku melihat kekhawatiran yang teramat sangat dari pandangan matanya. Tak segan aku memeluknya, tak peduli bajuku menjadi basah karena menempel dengan bajunya. Segera dia melepaskan pelukanku.
“Jangan, ntar kamu tambah sakit, Cil. Cepet mandi, ganti baju dulu sana. Oh ya, ini ada nasi goreng sama obat demam. Setelah makan jangan lupa minum obatnya, ya. Awas kalo nggak!” selorohnya yang ditutup dengan kalimat ancaman yang sangat manis sambil memencet hidungku.
“Iya, iya. Bawel banget sih!” sahutku, meringis menahan sakit cubitannya di hidungku.
Dasar bodoh, udah tau hujan, malah nggak pake jas hujan, batinku.
Setelah mengucap salam, dia pun bergegas pergi. Tanpa ada kata-kata penutup atau keinginan untuk mengobrol berbasa-basi. Mungkin dia sedang banyak pekerjaan. Tapi tingkahnya yang seperti itulah yang membuat rindu ini semakin membuncah.
Aku rindu segala sesuatu tentangnya
Tak hanya itu, dia adalah seorang good listener ‘pendengar yang baik’, bahkan dia sanggup mendengarkan curhatanku selama berjam-jam. Pernah suatu malam, hanya karena aku tak bisa tidur, aku meneleponnya. Ngobrol ngalor ngidul, ke sana kemari, sampai suara sahutannya tak lagi terdengar. Paginya dia meminta maaf, merasa sangat merasa bersalah karena ketiduran.
***
Mbak Mira yang sedari tadi terdiam mendengar tangisanku, mungkin bingung harus bagaimana, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Nai, ada apa sebenarnya? Apa yang membuatmu sesedih ini, Nduk? Kamu nggak bahagia atas pernikahan ini? Apa yang bisa Mbak lakukan? Jika kamu memang tak menginginkan pernikahan ini, mengapa kamu menerimanya?”
Aku seperti tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Mbak Mira. Lidahku begitu kelu. Tenggorokanku serasa tercekat. Namun, buat apa aku menutupinya lagi?
“Nggak, Mbak. Bukan itu. Naila hanya rindu,” jawabku dengan masih terisak.
“Rindu siapa? Raka?” Mbak Mira mencoba menerka.
Tangisanku kembali pecah seketika mendengar namanya disebut oleh Mbak Mira.
“Iya, Mbak. Aku sangat rindu padanya,” jawabku.
Dia adalah teman bermain terbaikku sedari kecil. Yang selalu menjadi garda terdepan jika ada anak-anak lain yang menjailiku. Meskipun kadang dia juga suka mengusiliku.
Dia yang rela tak memakan permennya, hanya untuk memberikannya padaku karena permenku telah habis. Dia yang rela menggendongku ketika aku terjatuh dari sepeda roda duaku. Dia yang rela mengorbankan hampir seluruh hidupnya untukku.
Dialah, lelaki terbaikku, kakakku tersayang, Arjuna Raka Satria.
***
Bunyi sirene ambulans masih terngiang-ngiang dalam pikiranku. Teringat saat aku terakhir bersamanya, Mas Raka. Aku menggenggam tangannya begitu erat, seerat dia biasanya menggenggam tanganku.
“Mas … Mas Raka. Jangan tutup mata. Mas Raka kuat. Mas bertahan sebentar ya, jangan tinggalin Naila. Naila sayang banget sama Mas. Naila nggak bisa hidup tanpa Mas,” ujarku bergetar sambil menangis melihat luka di sekujur tubuh Mas Raka dan cairan merah segar di kepalanya yang tak berhenti mengalir.
Ingin rasanya kucari pengemudi mobil yang lari setelah menabrak Mas Raka.
Dasar manusia jahat tak bertanggung jawab! umpatku dalam hati.
Untung saja saat itu ada orang-orang baik di sekitarnya yang dengan segera menghubungiku, dan memanggil ambulans untuk Mas Raka. Rasa marah, sedih, kecewa, putus asa bercampur aduk menjadi satu. Aku hanya memohon kejaiban terjadi, aku terus mencoba mengajak berbicara Mas Raka.
Namun, matanya terus terpejam. Tak ada kata-kata yang mampu dia ucapkan. Aku harap dia hanya dalam keadaan sedang tak sadarkan diri. Aku mencoba terus menyugesti diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Segera tubuh Mas Raka dipindahkan ke brankar dorong, lalu dibawa masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat. Aku menunggunya di luar ruangan. Rasa khawatir yang tak berkesudahan menyelinap masuk ke dalam pikiran. Tak henti-hentinya aku memanjatkan doa kepada Sang Maha Pengasih untuk tak memanggil orang yang paling aku sayangi ini terlebih dahulu.
Namun takdir berkata lain, dokter tak mampu menyelamatkan hidup Mas Raka. Tuhan lebih sayang Mas Raka. Aku bisa apa? Kini hanya tinggal aku sendiri. Ayah dan Ibu telah tiada, Aku dan Mas Raka yatim piatu sedari kecil, kami dirawat oleh Bude Susi, ibu dari Mbak Mira.
Hanya Mas Raka yang aku punya, masa kecilku yang indah itu semua berkat Mas Raka. Dia adalah kakak terbaik di dunia. Dia telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Sejak hari itu, aku seperti tak punya hidup. Aku yang selalu bergantung pada Mas Raka, harus menjalani sisa hidupku sendiri. Berat memang, hingga ingin mengakhiri hidup juga. Namun, bukan itu yang Mas Raka harapkan. Dia berharap aku menjadi wanita yang tangguh dan sukses meraih mimpiku. Harapan Mas Raka ini akan kuperjuangkan, hanya ini yang dapat aku berikan untuk Mas Raka, akan kubuat dia tersenyum bangga, saat aku berhasil meraih mimpi, sebagai seorang dokter.
***
Memori pahit tujuh tahun silam itu seperti luka yang telah lama kering dan tertutup, namun terbuka kembali. Kenangan bersama orang terpenting dalam hidupku, yang seharusnya menjadi wali nikahku besok, kembali hadir, sakitnya hingga menutup seluruh rasa bahagia menjelang hari pernikahanku.
“Naila akan menikah besok, Mbak. Naila udah jadi seorang dokter, seperti yang Mas Raka harapkan. Naila ingin sekali bertemu Mas Raka. Sekali saja.”
Mbak Mira yang sedari tadi hanya diam, ikut meneteskan air mata.
“Mbak Mira ngerti, Nai. Kamu sangat rindu pada Raka. Raka mungkin akan sedih melihat gadis kecilnya menangis, dia sangat benci melihat kamu nangis, Nai. Makanya setiap kali kamu menangis, dia selalu mencari cara untuk menghiburmu, kan?” Mbak Mira mencoba menenangkanku yang masih terisak dalam pelukannya.
Perlahan aku menyeka mataku yang basah, hatiku mulai tenang setelah mendengar kata-kata Mbak Mira yang memang ada benarnya. Mas Raka sangat tak suka melihatku menangis.
Ya Allah, tolong izinkan aku bertemu sekali saja dengannya, walau hanya dalam mimpi.
Doa yang selalu aku panjatkan setiap malam. Doa naif dari seorang adik yang sangat ingin berjumpa dengan kakaknya. Karena semua terasa begitu cepat, Mas Raka tak sempat berbicara maupun mengucapkan kata-kata terakhirnya padaku.
Malam itu, menjadi malam ternyenyakku setelah lelah menangis. Tak kujumpai Mas Raka dalam mimpiku, tapi tak apa, aku yakin dia selalu melihatku dari sana.
***
Pagi ini, akad nikah berlangsung secara khidmat dan lancar, aku resmi menjadi istri Mas Hasan. Banyak tamu yang datang silih berganti untuk mendoakan pernikahan kami. Tak sengaja aku melihat bayangan wajah yang sangat aku nanti kehadirannya, dia tersenyum padaku.
Mas Raka!
Aku bergegas lari mencari sosok yang aku yakini bahwa itu Mas Raka. Tapi nihil. Entah mengapa meskipun itu mungkin hanya bayangan atau khayalan semata, namun sedikit mengobati rasa rinduku padanya.
Rasa rindu ini sungguh tak tepermanai, tak terperi.
Aku telah mengikhlaskanmu, Mas Raka. Bahagia di sana, semoga kelak kita akan bertemu kembali. Kini, ada Mas Hasan, yang akan menjagaku, menggantikan tugasmu. (*)

 

Magelang, 12 November 2020

Ken, emak berbocil dua yang masih dan akan terus belajar di dunia kepenulisan.

Editor : Lily

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply