Rindu Langgar (Cermin Juara LCL)

Rindu Langgar (Cermin Juara LCL)

Rindu Langgar 

Oleh: Inu Yana

Cermin Terbaik ke-1 pada Lomba Cermin Lokit

 

Sore itu sehabis Asar, Aki Wage duduk bertongkat lutut di bale-bale bambu yang sengaja ia letakkan di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Pecinya terpasang miring di kepala, sedangkan kemeja batiknya tak terkancing di bagian dada menampilkan tulang dadanya yang menonjol, kurus.

Pada hari-hari sebelum kampungnya menjadi sepi seperti ini, biasanya ia harus berbagi tempat duduk dengan Siman tetangganya, terkadang ada pula Jarwo dan Paidi ikut serta. Namun, kini ia sendiri. Duduk bertongkat lutut dengan mata terus menatap ke ujung halaman. Sesekali ia menarik napas. Sepertinya, tidak ada satu pun yang akan bertandang hari ini, begitu pikirnya.

Sepi. Aki Wage merasa hidupnya semakin sepi sejak ketiga karibnya itu harus menjalani isolasi mandiri. Tak ada lagi teman rubungan. Sedangkan kegiatan itulah satu-satunya yang mampu membuat pikiran tentang anaknya yang jauh di Jakarta sana teralihkan.

Harti, anak perempuan satu-satunya, menikah dengan orang seberang lalu memutuskan merantau ke ibukota. Di sana, mereka beranak pinak, meninggalkan Aki Wage seorang diri di kampungnya. Bukan tak mengajak, tetapi Aki Wagelah yang berkeras tetap tinggal di kampungnya. “Kehidupan Jakarta tak cocok untukku,” katanya.

Azan Magrib berkumandang, menyadarkan Aki Wage dari lamunan. Hari ini, ia lupa menyiapkan takjil buka puasanya. Biasanya, sepuluh menit sebelum azan berkumandang ia sudah menyeduh teh, atau paling tidak dia sudah menyiapkan kolak atau gorengan yang ia beli di tukang jualan keliling. Namun, hari ini tidak. Tidak ada teh manis—karena ia sibuk melamun—juga tidak ada kolak maupun gorengan karena tak ada lagi tukang jualan mau menjajakan dagangannya di kampung ini.

Sudah satu minggu ini, kampung terasa begitu sunyi. Bagaimana tidak, hampir separuh warganya harus di karantina di sebuah hotel di kota karena dinyatakan OTG, sedangkan sebagian harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Semua bermula ketika ada salah satu warga yang sakit dan tetap melaksanakan salat Tarawih, lalu beruntun jamaah yang lain ikut sakit, akhirnya pihak desa meminta kepada dinas kesehatan daerah untuk melaksanakan tes swab. Dan hasilnya, hampir seluruh jamaah Tarawih di langgar kampungnya dinyatakan positif. Aki Wage termasuk beruntung karena tak pernah ikut Tarawih di langgar. Anak perempuannya—tiap kali menelepon—selalu cerewet mewanti-wantinya untuk Tarawih di rumah saja.

Aki Wage berbuka puasa hanya meneguk air putih. Ia membuka tudung saji, hanya ada singkong rebus sisa kemarin. Ia bukan tidak ada uang, anak perempuannya selalu mengiriminya setiap bulan. Ia hanya merasa tak perlu bermewah-mewah makan, toh apa pun yang dimakan, keluarnya sama, sama-sama tahi. Baginya, halal dan berkah saja sudah cukup.

Aki Wage mencomot singkong dingin itu, menggigitnya dengan giginya yang jarang, lalu mendorongnya dengan segelas air agar mudah tertelan. Setelah itu, ia bergegas ke sumur di samping rumahnya, mengambil air wudhu. Dinginnya air pegunungan menyegarkan raganya yang terasa kering setelah seharian berpuasa. Hidung, tangan, wajah, semua ia basuh dengan sungguh-sungguh.

Kini, ia masuk ke biliknya, mengambil sajadahnya, membenarkan letak peci di kepalanya, menggunakan masker, lalu berjalan ke luar. Ia pikir, tak apalah hari ini ia tak menuruti nasihat anak perempuannya.

“Mau ke mana, Aki?” sapa seorang tetangga saat berpapasan dengannya di ujung halaman.

“Langgar.” Ia berseru. Ramadan sudah hampir habis, tetapi ia belum pernah Tarawih berjamaah di langgar kampungnya. Betapa ia rindu. Ia rindu langgar yang ramai oleh jamaah, rindu suara bayi menangis di sela-sela salat. Dulu, anak kecil berisik di langgar terasa begitu mengganggunya, namun kini, ia begitu rindu.

“Udah nggak boleh Tarawih berjamaah, Aki. Zona merah,” seru tetangga tadi.

Aki Wage terus berjalan, tak ia hiraukan teguran tetangga tadi. “Bagaimana mau berjamaah, wong langgarnya aja nggak ada orang,” gumamnya. (*)

Inu Yana, perempuan kelahiran Banyumas yang gemar membaca sedari kecil. Mantan kuli pabrik yang bercita-cita ingin menjadi penulis.

Komentar juri:

Hal yang juga tak kalah dikhawatirkan pada masa pandemi ini adalah, orang-orang sepuh akan kehilangan momen bahagia di sisa usia mereka. Bercengkrama dengan anak-cucu, duduk bersama teman seumuran sambil mengulang masa muda, sampai salat berjemaah di masjid atau musala. Dan Nur Khotimah atau yang kali ini memakai nama pena Inu Yana, berhasil merepresentasikan kegelisahan ini lewat cerita yang apik. Lewat tokoh bernama Aki Wage, kita dibuat ikut merasakan keresahan, kemurungan, juga rasa sepi yang dialami para lansia di luar sana.

Saya juga setuju dengan penulis yang memilih diksi langgar (bukan musala) pada judul. Lebih khas dan lebih pas untuk nuansa ceritanya.

Gaya bertutur yang pas, konflik batin yang pas, adegan penutup yang pas, dan tema yang kuat membuatnya masuk di daftar pilihan semua juri. Yang kemudian telak membawanya di posisi teratas. Good job, Kak Nur.

—Evamuzy—

Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply