Pembalasan

Pembalasan

Pembalasan
Oleh : Ardhya Rahma


Seorang lelaki menatap nanar pada sosok di balik kaca. Orang yang paling disayangi lelaki itu, saat ini rimpuh di pembaringan dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya. Berbagai kenangan indah bersama sosok itu berkelebat seolah-olah lelaki tersebut sedang menonton sebuah film. Tangan lelaki itu terkepal kuat hingga buku-buku jarinya tampak menonjol. Bibirnya mendesis, “Kalau sampai terjadi sesuatu pada Ibu, aku akan menuntut balas!”

Satu bulan sebelumnya.

“Apa maksudnya saya harus mengganti rugi sebesar seratus milyar?” Andri berkata dengan gusar.

“Karena penanggung jawab proyek ini adalah Anda! Terjadinya kerusakan jalan akibat kebocoran jaringan air di bawah tanah disebabkan oleh proyek Anda. Jadi, Andalah yang harus bertanggung jawab!”

“Ta-tapi ini bukan proyek saya. Saya hanya salah satu suplier dalam proyek ini.”

“Bukankah PT Gemintang Angkasa itu nama perusahaan Anda?” Lelaki di hadapan Andri menyebut nama perusahaan baru yang dia dirikan bersama Hartawan Tanjung. Lelaki itu juga menyodorkan berkas perjanjian yang berisi tanda tangannya. Lembar yang baru pertama kali Andri lihat yang menyatakan dia adalah direktur utama perusahaan kontraktor yang bertanggung jawab atas pembangunan tower tersebut.

Mata Andri memerah, tangannya terkepal kuat. Dia tidak percaya bisa dibohongi seperti ini. Sejak kapan perusahaan yang harusnya hanya sub kontraktor bisa berubah menjadi kontraktor utama? Bukankah seharusnya Pak Hartawan dengan PT Gemilangnya adalah penanggung jawab proyek tersebut?

Dia tidak menyangka teman almarhum ayahnya itu tega membohonginya. Perusahaan kecil yang diwariskan ayahnya memang sedang merangkak naik sejak dia memegangnya. Hal itu membuatnya percaya diri untuk meraih lebih.

Tawaran dari Pak Hartawan untuk membuat sub kontraktor dia terima. Awalnya dia senang ketika ditawari bekerja sama membuat perusahaan oleh Pak Hartawan. Andri beranggapan kerjasama itu saling menguntungkan. Dia mendapat proyek dari Pak Hartawan, sementara rekan bisnisnya itu juga mendapat keuntungan karena perusahaan sub kontraktor sebagian adalah miliknya. Namun, untung tak dapat diraih. Kemalangan menimpa dirinya.

Proyek tersebut membuat kerusakan dan sekarang dia dituntut memberikan ganti rugi. Andri tidak memahami bagaimana caranya Pak Hartawan memanipulasi penanggung jawab yang seharusnya PT. Gemilang bisa berganti PT. Gemintang Angkasa. Pastinya dia telah ditipu mentah-mentah oleh Pak Hartawan. Keluguannya dimanfaatkan oleh rekan bisnisnya yang culas itu.

Dengan sangat terpaksa dia menjual aset peninggalan almarhum ayahnya, termasuk rumah tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Hal itu membuat ibunya syok berat sehingga terkena serangan jantung dan harus masuk ICCU.

Lamunan lelaki itu disadarkan oleh teriakan suster. “Code red! Code red!” Disusul bunyi bel berulang kali.

Tiba-tiba saja sekelompok dokter dan perawat bergegas memasuki ruang ICCU dan menuju kasur ibunya. Mata lelaki itu terbelalak saat menyadari kondisi ibunya dan menjadi lemas ketika dokter keluar menyatakan keprihatinan sambil menepuk bahunya.

Tujuh hari kemudian.

Mata seorang lelaki yang duduk di dalam mobil yang berjuluk kijang berwarna merah keluaran tahun 1996 menatap tajam ke gerbang sekolah yang bercat cokelat muda. Dia menanti seseorang keluar dari gerbang tersebut. Saat akhirnya gerbang itu terbuka, dia membuka pintu mobil, keluar, dan menghampiri seorang gadis cilik.

“Natasha, om datang menjemputmu!”

“Lho, memangnya Pak Joko ke mana?” tanya gadis cilik itu.

“Dia sedang mengantar mamamu ke salon. Jadi, papamu meminta bantuan om untuk menjemput kamu,” jawab lelaki bernama Andri itu.

Gadis kecil berkucir dua itu mengangguk dan dengan sukarela dia memasuki mobil Andri.

***

“Ayo dong, Pa. Gunakan detektif saja untuk mencari Natasha. Mama tidak mau berpisah dengan Natasha,” desak wanita cantik berusia akhir tiga puluh dengan berurai air mata.

“Tanpa kamu minta, aku juga sudah lakukan. Kenyataannya Natasha hilang bak ditelan bumi.” Lelaki yang dipanggil Pa itu terlihat gusar. Dia berulang kali meremas dan menarik rambutnya. Bagaimana mungkin Andri bisa menghilang begitu saja setelah mengancam lewat telepon, batinnya.

Di tempat lain ….

Isak tangis seorang gadis menyayat hati siapapun yang mendengarkan kecuali lelaki yang dipanggilnya om.

“Kangen Mama. Natasha kangen Papa. Bebaskan aku, Om!”

Namun, lelaki itu bergeming dan tidak memedulikan rengekan gadis cilik itu.

Dia biarkan gadis kecil itu menangis berhari-hari. Bahkan dia tidak merayu gadis berkuncir dua itu untuk mengakhiri mogok makannya. Sampai gadis kecil itu kelelahan.

Lelaki itu percaya gadis kecil tersebut suatu saat akan menuruti kemauannya. Toh, di tempat yang diapit oleh pepohonan rindang ini tak seorang pun akan bisa menemukan mereka.

Belantara Kalimantan menjadi tempat terbaik untuk menjalani pelariannya. Lelaki itu merasa sangat berterima kasih pada mantan karyawannya yang saat ini sukses membuka depot masakan Jawa di Kalimantan. Mantan karyawan perusahaan ayahnya itulah yang menyediakan tempat tinggal di tempat transmigrasi ini. Tak seorang pun akan mencarinya sampai ke sini, karena tidak ada yang bisa menghubungkan dirinya dengan Mas Sadi. Mas Sadi mengundurkan diri dari perusahaan saat ayahnya masih hidup, karena ingin mencoba peruntungan di lahan transmigrasi. Keputusannya terbukti tepat. Dia sukses dan saat ini menolong anak dari mantan bosnya.

***

Tahun demi tahun berlalu, tak terasa hampir dua belas tahun mereka berdua tinggal di sana. Orang mengenal mereka sebagai kakak adik tiri yang berbeda jauh usianya. Tidak ada satu orang pun yang mencurigainya. Karena Andri, nama lelaki itu, pandai sekali mencari sebuah alasan bahwa mereka adalah saudara tiri yang sudah yatim piatu.

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Andri yang awalnya bekerja membantu di restoran, mulai merasa bosan. Dia tahu passion-nya adalah bisnis dan tidak suka menjadi pelayan. Dia mulai mencari peluang bisnis di pemotongan kayu.

“Mas, kenapa sekarang makin sering tidak pulang?” tanya gadis muda itu pada Andri. Sore itu mereka sedang bercengkerama di teras rumah sambil menikmati teh dan makanan kecil.

“Iya, Dik. Ada peluang untuk membuat kayu lapis, dan mas ingin menjajakinya. Jadi, untuk beberapa waktu ke depan akan sering tidak pulang,” jawabnya.

Gadis tersebut mengangguk-angguk dan menatap wajah lelaki di hadapannya dengan tatapan memuja.

“Ya, Mas. Jaga kesehatan, ya. Jangan sampai kamu kelelahan dan menjadi sakit.” Gadis itu mengingatkan si lelaki dengan lemah lembut.

“Kamu jangan khawatir. Aku sering meminum vitamin yang diberikan teman, kok,” jawab lelaki itu acuh tak acuh. Dia lebih suka menatap layar ponselnya sambil sesekali tersenyum membaca pesan dan menuliskan sederet kata balasan. Lelaki berusia empat puluh tahun itu bahkan lebih sering menatap layar ponsel dibanding memandang wajah cantik gadis yang duduk di sampingnya. Dia mengabaikan tatapan memuja gadis yang usianya delapan belas tahun lebih muda darinya itu.

“Mas, kenapa, sih, matamu terus melihat ponsel. Kamu itu jarang pulang, tapi mengapa di rumah kamu justru main HP terus! Aku, kan, ingin mengobrol denganmu!” Gadis itu berseru dengan kesal.

“Maaf, Dik. Ada teman yang mengirim WA,” sahut lelaki itu.

“Aku tahu, tapi harusnya kamu letakkan benda itu saat mengobrol denganku!” sungut gadis cantik itu.

“Iya, deh. Iya. Mas akan ngobrol dengan adik mas yang cantik ini,” kata pria itu sambil mencubit dagu gadis di sampingnya.

Gadis itu tersipu malu, tapi matanya sedikit mengerjap saat mendengar sebutan ‘adik mas’.

***

“Dik, rencananya mas akan tinggal beberapa saat di Jawa. Ada proyek besar di sana,” kata Andri pada suatu saat.

“Aku ikut, Mas. Aku tidak mau ditinggal berbulan-bulan sendirian di rumah.”

“Ta-tapi aku akan tinggal di kontrakan kecil lho di sana. Kamu pasti tidak nyaman.” Lelaki itu beralasan untuk mencegah keinginannya.

“Tidak masalah. Aku tetap ingin ikut!”

***

“Kenalkan, Dik. Ini teman mas. Mira, kenalkan ini adikku yang sering kuceritakan.” Lelaki itu memperkenalkan dua gadis yang ada di dekatnya.

“Cantik sekali … seperti boneka barbie. Kulitnya halus dan putih seperti susu, berbeda dengan kakaknya yang berkulit hitam.” Gadis manis bernama Mira itu berkata sambil mengerling pada si lelaki.

“Biar hitam, tapi kamu suka, kan,” balas lelaki itu sambil terbahak yang dibalas cubitan di pinggangnya oleh gadis bernama Mira.

Sepasang mata milik ‘sang adik’ menatap tidak suka pada adegan di depannya itu.

Juga adegan-adegan selanjutnya di hari-hari yang berbeda. Adegan antara lelaki yang menyebutnya adik dengan gadis manis berbau lavender. Gadis yang tinggal tidak jauh dari kontrakan mereka dan bekerja sebagai perawat.

Sudah berapa lama mereka kenal? Ada hubungan apa di antara mereka berdua? Kenapa perawat itu selalu tersipu setiap kali lelaki yang dia panggil mas menggodanya? Kenapa pula lelaki pujaan hatinya suka menggoda perawat itu?

Pertanyaan demi pertanyaan yang kerap melintas di benak gadis cantik itu saat melihat tatapan memuja pada kedua orang itu.

Seperti malam ini, ketika dia mengajak lelaki itu jalan-jalan di alun-alun Sidoarjo, menikmati malam tahun baru, ternyata si perawat yang baru selesai bertugas menyusulnya.

Gadis itu marah kepada mereka berdua! Kepada lelaki yang hanya menganggapnya adik. Juga kepada perempuan yang berani menggoda lelaki pujaannya.

“Ini mas makanan dan minuman pesanannya,” kata gadis cantik itu.

“Kok, lama, Dik,” ujar si lelaki.

“Antri, Mas.”

Lelaki itu meminumnya dan matanya tetap menatap wajah perawat bernama Mira dan mengabaikannya.

Setengah jam kemudian, lelaki itu memegang dadanya dan mengeluh kesakitan. Si perawat kebingungan dan menelepon ambulan dari rumah sakit terdekat tempat dia bekerja.

Sayang, di UGD lelaki itu mengembuskan napas terakhirnya diiringi tangisan pilu kedua gadis di dekatnya. “Gagal jantung,” kata seorang dokter yang memeriksanya.

Perawat itu masih meratap sambil memeluk tubuh si lelaki di samping seorang gadis yang lebih muda.

Gadis muda tersebut pamit pergi ke toilet. Di depan cermin toilet, dengan wajah masih berurai air mata, dia mendesis.

“Aku mencintaimu, Mas. Kenapa kamu tidak melihatnya?”

“Aku begitu mencintaimu, hingga tidak rela kamu menjadi milik orang lain!”

“Pergilah dengan tenang, Mas. Bawalah cintaku bersamamu. Sebentar lagi aku akan menyusulmu.”

***

Keesokan harinya, di sebuah koran ada berita seorang gadis ditemukan meninggal bunuh diri di toilet rumah sakit. Saksi mengatakan gadis itu terlihat depresi setelah seorang lelaki yang dia temani meninggal dunia di UGD. Anehnya lelaki itu memiliki dua KTP. Salah satunya tertulis bernama Andri Baskoro. Sementara si gadis di ktpnya tertulis sebuah nama pendek: Tasya.

“Pa … Pa, coba baca berita ini. Kenapa namanya sama dengan nama penculik Natasha, anak kita, ya,” kata seorang perempuan paruh baya pada suaminya. “Jangan-jangan gadis yang meninggal itu ….” Perempuan itu tidak melanjutkan ucapannya, karena tubuhnya sudah lemas.(*)

Surabaya, 24 April 2021

Ardhya Rahma, penulis berdarah Jawa dan Kalimantan yang masih terus belajar menulis

 

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply