Lagu-Lagu yang Diputar dan Kenangan yang Belum Hilang

Lagu-Lagu yang Diputar dan Kenangan yang Belum Hilang

Lagu-Lagu yang Diputar dan Kenangan yang Belum Hilang

Oleh : Siti Nuraliah

 

Sore itu kamu menaiki angkutan umum. Tujuanmu tidak jelas, kamu hanya ingin pergi jauh menenangkan diri. Namun, bukannya hatimu menjadi tenang, malah semakin gundah lantaran lagu-lagu yang diputar di dalam bus adalah lagu-lagu nostalgia yang memperparah luka batinmu.

Mula-mula kamu biasa saja mendengar lagu pertama. Pura-pura tidak terusik, pura-pura tidak mendengar. Tetapi kemudian, saat lagu dari salah satu band populer tahun 2009 itu diputar, kepalamu yang berisi rekaman masa lalu mulai terlepas kuncinya. Lalu berbagai potongan cerita terurai begitu saja. Kamu tidak bisa menghentikannya selain ikut hanyut dalam potongan-potongan cerita itu.

Tidak terasa hatimu basah, matamu menghangat. Kamu juga menghapus setitik air yang telanjur lolos dari ujung matamu hanya karena satu kedipan saja. Tenggorokanmu menjadi kering, lalu kamu pun meneguk air dari botol plastik yang kamu beli dari pedagang asongan di pertigaan saat lampu merah menyala. Orang-orang melirik ke arahmu dengan tatapan heran, mungkin lebih tepatnya iba. Mereka pasti mengira kamu adalah orang yang ditimpa kemalangan, orang yang sudah lama tidak pulang bertemu keluarganya, atau orang yang sedang menerima berita buruk—lalu buru-buru kembali dari perantauan. Dan yang paling tepat dugaan mereka adalah yang pertama. Kamu, perempuan yang ditimpa kemalangan.

Lagu-lagu masih berputar, berganti judul dan berganti vokal. Sayangnya semua lagu yang diputar semakin menyeretmu pada kisah beberapa tahun lalu yang belum usai. Kisahmu yang menjadi salah satu alasan kakimu melangkah meninggalkan seseorang yang telah satu tahun bergelar suami, tapi kamu tidak pernah mengecap rasa bahagia darinya. Karenanya, kamu jadi mengingat-ingat, jadi berandai-andai. Seandainya begini … seandainya begitu.

Hatimu menjadi perih setelah mengingat pertengkaran hebat dengan suamimu, ditambah lirik lagu yang kamu dengar, semakin membuatmu tidak bisa berkutik dari ingatan masa lalu. Ya, seseorang di masa lalu itu yang kamu tunggu-tunggu namun dia tidak pernah datang. Akhirnya kamu harus ikhlas menerima takdir yang Tuhan gariskan, dengan datangnya laki-laki yang sekarang bergelar suamimu.

“Aku sudah dilamar!” ucapmu pada seseorang itu.

Dia diam, mengumpulkan kepingan-kepingan kata agar menjadi kalimat yang enak didengar dan tidak menyakitkan. Dia tahu, kamu mengucapkan itu dengan ribuan pisau tertancap di hatimu, yang menggores-gores menjadi banyak luka yang menganga.

“Seharusnya kamu yang melamar aku!” ucapmu lagi dengan suara yang sedikit ditekan dan air mata yang menggenang. Untungnya percakapan itu terjadi melalui sambungan telepon. Jika tidak, dia—seseorang di masa lalumu itu—pasti sudah sigap menyeka air matamu.

“Aku sudah ikhlas, maafkan aku telah membuatmu menunggu terlalu lama. Hal yang paling berharga bagi seorang perempuan adalah diberi kepastian untuk dihalalkan. Dariku, kamu tidak mendapat kepastian itu. Lagi pula, tentang studiku, aku belum dapat memastikan kapan akan lulus dan segera kembali ke kampung halaman.” Suara seseorang di masa lalumu bergetar. Kalian sebenarnya adalah dua orang yang sama-sama terluka.

Kamu terisak, tersedu sedan. Tidak ada kalimat yang mampu kamu ucapkan, terlalu sesak, terlalu sakit.

“Kamu sudah terlalu banyak menolak lamaran yang datang karena menungguku. Aku tidak mau menjadi sebab penghalang datangnya kebaikan kepadamu. Tolong, jangan menangis. Aku tidak tega mendengarmu terisak.” Dia mencoba menghiburmu sementara tangismu semakin menderas.

“Rasanya berat. Seandainya nanti aku tidak bisa menghapus namamu di hatiku, bagaimana? Aku akan tersiksa dan aku akan sangat kesulitan untuk menerima apa-apa yang ada pada dia yang sekarang lamarannya telah Bapak terima.” Kata-katamu membuat dia—si masa lalumu—kehilangan kata-kata. Dia tahu kamu sangat mencintainya, kalian saling mencintai, saling mengharapkan.

“Sepuluh tahun, bukan penantian yang sebentar. Mungkin sekaranglah akhir dari penantian itu, Sayang. Hmh … boleh kan, aku memanggilmu ‘sayang’ untuk terakhir kalinya.” Lelaki masa lalumu itu berkata dengan ragu-ragu.

Kamu tidak menjawab, hanya menyeka air mata dengan tisu yang hampir habis setengah. Lalu kamu mencoba bertanya, “Katakan, aku atau kamu yang terluka? Apa justru kita sama-sama merasa terluka?”

Lalu obrolan selesai, tetapi perasaanmu belum usai meski telah sampai hari di mana kamu dirias sedemikian rupa dan dibuat cantik bak permaisuri. Kamu masih menyimpan nomor telepon masa lalumu itu. Dia masih melihat story whatsaap-mu, dan kamu pun begitu. Hingga setelah beberapa hari pasca pernikahanmu, kamu tidak lagi bisa melihat story-nya dan dia tidak pernah lagi melihat story-mu. Pada saat kamu mencoba menghubunginya lagi, yang terlihat hanya centang satu berwarna abu-abu.

Bus yang kamu tumpangi menepi, lagu-lagu pun telah berganti. Kamu tersadar dari lamunan masa lalu. Kamu mengedip-ngedipkan mata yang memerah dan sembab, lalu mengusap sisa-sisa air di pipimu yang hangat. Rupanya bus berhenti di sebuah halte. Kamu turun, duduk sebentar di sebuah bangku berwarna metalik untuk mengajak hatimu berdialog. 

Hari telah gelap, kamu melihat jam di pergelangan tanganmu menunjuk angka setengah tujuh. Itu artinya kamu telah setengah jam duduk dan hanya bengong, bahkan panggilan kewajiban yang sengaja kamu atur dari ponselmu tidak kamu hiraukan. Kamu telah kehilangan setengah kewarasanmu hanya karena kamu tidak bisa berdamai dengan masa lalu. Sehingga yang kamu lihat dari suamimu hanya ketidaksempurnaannya saja. 

Sebuah bus yang arahnya berlawanan berhenti di depanmu. Awalnya kamu ragu untuk naik, tetapi setelah kamu menepuk dada dan menarik nafas, kakimu menjadi ringan. Kamu tidak jadi pergi meninggalkan suamimu, kamu kembali. (*)

Banjarsari, 24 Mei 2021

 

Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca.

Editor : Nuke Soeprijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply