Teruntuk Sang Cinta Pertama 

Teruntuk Sang Cinta Pertama 

Teruntuk Sang Cinta Pertama
Oleh
: Suci Hernika
Cerpen Terbaik ke-2 pada #Tantangan_Lokit_6

Banyak yang mengatakan bahwa cinta pertama tak akan lekang oleh waktu. Aku setuju, sebab aku sendiri salah satu dari sekian orang yang meyakini hal demikian. Bila ditanya kenapa, jawabnya sederhana. Karena aku memang pernah memiliki sosok yang menjadi cinta pertamaku. Pun, hingga detik ini aku masih belum mampu melupakannya, bahkan tak kunjung pudar pula dari ingatan masa-masa sewaktu aku mengaguminya dalam diam. Masa penuh kecanggungan, momen memalukan, dan juga datangnya bermacam perasaan yang mengobrak-abrik isi hati. Semua hanya karena satu alasan bernama cinta pertama.

***

“Wel, si Govan ada di belakang kamu tuh!”

Langkahku terjeda seperkian detik, kemudian buru-buru berlari menjauh, berbelok ke koridor laboratorium sekolah untuk bersembunyi di balik dindingnya. Jantungku berdebar kencang seolah-olah baru selesai dihukum berlari keliling lapangan basket lantaran telat datang ke kelas yang telah dimulai. Tapi sejurus setelah itu, saat suara tawa Endah terdengar kencang, aku sadar bahwa ternyata aku tengah dikerjai olehnya.

“Endah!” sebutku geram. Aku berjalan mendekati gadis bergigi gingsul yang berkawan denganku sejak SD itu, lantas langsung memberikan pukulan pelan ke bahunya. Dia mengaduh pelan, sebab suara tawa yang keluar dari mulutnya masih lebih kencang. “Kamu apa-apaan, sih! Kebiasaan begitu melulu, ih!” Menahan diri untuk tidak menjambak dua kepangan di masing-masing sisi kepalanya.

Endah reda dari tawa. Menatapku dengan sorot geli, bikin wajahku serta-merta panas lantaran jengah. “Kamunya juga. Belum juga nyari tahu apakah yang kubilang itu bener atau nggak, udah main lari aja.”

Aku meringis. Ya, itu memang sudah jadi kebiasaanku. Kalau mendengar nama Govan, apalagi menemukan dia berada di dekatku, refleks diri ini pasti terdorong untuk menjauh. Entahlah. Setiap kali dia ada di sekitarku, debar di dada dan pandangan mataku jadi tak bisa ditenangkan. Sosoknya terlalu menarik perhatian. Di sisi lain, aku tidak mau apabila sampai ketahuan sering memperhatikannya diam-diam. Sebab ….

“Wel, Wel!” Suara Endah membuyarkan lamunanku. “I—Itu, ada Govan di belakang kamu!”

Dia pikir aku akan termakan bualannya untuk kedua kali? “Iya, iya. Terusin aja. Suka-suka kamu mau bilang apa,” balasku tak acuh lalu mendengus.

Endah melotot gemas. “Aku serius, Wel. Dia lagi jalan kemari bareng anggota OSIS lain.”

Mendapati perkataannya yang terdengar lebih meyakinkan, ditambah ekspresi wajah yang terlihat serius, membuat aku menelan ludah susah payah lantaran mendadak gelisah. “Kamu gak bercanda, kan?” responsku bertanya seraya membalikkan badan perlahan. Sejurus kemudian, tubuhku mematung bagai terkena kutukan “menjadi batu” dari Emaknya Malin Kundang. Sebab beberapa meter dari posisiku kini, Govan sungguhan ada. Tengah berjalan dengan langkah tegapnya menuju ke arah tempatku berada.

Tatap mata yang tajam dan menusuk. Alis lebat hitam yang kian menambah pesona di wajah tegasnya. Bibir tipis merah muda, sedang tak menampakkan sedikit pun senyuman. Hidung mancung dengan kumis tipis yang tumbuh di bawahnya. Rambut disisir rapi. Seragam tak berantakan sama sekali. Sepatu berwarna cokelat gelap yang tak bertali agak kotor oleh sebuah noda putih entah apa. Ya Tuhan, tolonglah. Aku memperhatikan sosok Govan tanpa mampu berkedip. Selalu seperti ini.

Ketika akhirnya sosok Govan beserta kawan-kawannya yang lain melewati posisiku berdiri tanpa balas melirik, meninggalkan jejak aroma parfum dari tubuhnya dengan sensasi maskulin, saat itu pula kesadaranku terkumpul. Aku menoleh cepat, memandangi punggung tegap pemuda yang kukagumi sejak bertahun-tahun lalu itu dengan sorot mendamba. Nyatanya, aku tak semata-mata kagum terhadapnya. Ini semua terjadi karena dia merupakan sosok yang kusukai. Lebih dari itu, sesungguhnya Govan adalah cinta pertamaku.

***

Pernah satu waktu kepalaku didatangi sebuah tanya; mengapa begitu sulit melupakan cinta pertama?

Saat ini aku tengah duduk di kursi perpustakaan, di barisan meja ketiga, di mana pada jarak dua meja di depanku, sosok Govan juga terlihat tengah membaca buku. Berbeda denganku yang cuma membuka buku untuk digunakan menutupi muka saat memperhatikan dia diam-diam dan mengagumi wajah tampannya yang putih bersih sambil berharap dapat menangkap senyum di bibirnya walau cuma secuil. Dia justru tampak serius sekali membaca buku entah apa yang diletakkan di bawah dagunya. Bola mata hitamnya bergerak ke kanan dan kiri, membaca kata demi kata yang tercetak di buku. Keren sekali, menurutku. Sedangkan di sini, aku malah lebih seperti orang bodoh.

Maksudku, siapa coba orang yang mau buang-buang waktu berbuat hal sekonyol ini di perpustakaan sekolah cuma demi menonton gebetannnya yang sedang membaca? Semoga bukan aku saja.

Namun, suasana mendebarkan sekaligus memalukan seperti ini selalu sukses menyeretku pada nostalgia. Membawa ingatanku ke masa di mana aku pertama kali dibuat jatuh suka terhadapnya. Govan.

Usiaku 13 tahun waktu itu. Ketika aku tengah sibuk berpikir keras mencari jawaban dari soal matematika yang diberikan oleh guru sebagai tugas sedangkan beliau sementara waktu tak bisa masuk kelas, tiba-tiba seseorang yang suara bass-nya cukup aku kenali memperdengarkan teguran.

“Ngerti jawaban soalnya?”

Aku menoleh. Memandang sosok ketua kelas kelasku itu dengan sorot heran. Apa dia berbicara padaku?

Govan mengernyit sebelum lanjut bertanya, “Maksudku, kamu ngerti cara mecahin rumus soalnya?”

Aku mendadak tak tahu harus bereaksi seperti apa. “Hah?”

Kernyitan di dahi tanpa poninya kian tebal menangkap seruanku. Ia lalu mendekati meja, menilik buku tugas milikku, sesudah itu tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya aku mengakui bahwa dia benar-benar tampan kalau dilihat dari dekat.

“Mana yang belum kamu ngerti?”

Sekali lagi dia bertanya. Dan aku masih tidak tahu harus merespons bagaimana. Membuat dia menggelengkan kepala, lantas berinisiatif memberi penjelasan tanpa diminta.

“Jadi, yang dikurung ini dikalikan ke sini dulu, habis itu baru ….”

Aku tak terlalu fokus pada setiap tutur kata itu sebab malah lebih banyak menaruh perhatian pada wajahnya yang bersih. Mulus. Wangi. Jadi, begitu sorot tajamnya kembali menatapku, refleks saja aku agak terkesiap.

“Gimana? Udah ngerti belum?”

Waduh. Apa yang harus aku mengerti memangnya?

Secara panik aku mengecek soal, memelototinya tanpa tahu harus melakukan apa. Segera mengambil pensil, menggerakkan tanganku ke satu soal lalu menuliskan jawaban asal.

“Bukan begitu caranya.” Govan kembali buka suara. Dan tanpa diduga, jemariku yang memegangi pensil disentuh olehnya untuk bantu diarahkan mengoreksi cara pengerjaan soal. “Ke sini dulu, baru jumlahin yang ini.”

Aku tercekat. Napasku tertahan dan jiwaku seolah-olah tersedot tak tahu ke mana. Menelan ludah kala merasakan debaran-debaran di dada, menyakitkan sekaligus menyenangkan. Ada sesuatu yang kurasakan saat menangkap raut di wajah tegasnya. Suaranya terasa mulai membuatku nyaman. Bahkan caranya menggerakkan bibir terkesan tak biasa.

Tunggu. Apa-apaan ini? Pemikiran konyol macam apa yang tengah menyelimutiku?

Tangan Govan dilepas dari jemariku. “Nah, jadi sekarang kamu udah ngerti, kan?”

Aku masih linglung. Belum sanggup menjawab pertanyaan yang Govan lontarkan. Malah tersenyum bagai orang konyol, membuat dia melotot dan mengernyit heran.

“Govan, bantuin ngerjain soal! Pusing, nih!”

Govan menengok ke sumber suara yang arahnya dari pojokan kelas. “Iya, bentar,” ujarnya lalu kembali memandangku. “Semangat ngerjain soalnya. Aku yakin kamu bisa,” bisiknya sesudah itu meninggalkan mejaku.

Hanya seperti itu, dan wajahku serta-merta menghangat. Detak jantungku jadi lebih berdentum tak keruan. Aku … tidak paham.

Sebelumnya, aku tak pernah menyadari bahwa ketua kelas yang tidak terlalu akrab denganku itu sedemikian menawan. Namun, setelah hari itu berlalu, dia mulai tampak lain di mataku. Segala hal mengenai dirinya terkesan menarik untuk dicari tahu. Apalagi dia merupakan sosok murid teladan. Cerdas, berprestasi, multitalenta, menguasai seni di berbagai bidang, pun ahli di bermacam mata pelajaran. Ketika aku berkata bahwa dia pemuda yang luar biasa, aku sedang tak berdusta. Bukan cuma aku pula yang mengakui. Berbalik sekali denganku yang sama sekali tak mempunyai kelebihan apa-apa.

Aku dan Govan berbeda. Tidak sebanding. Jelas mustahil aku sanggup menarik atensinya, pikirku. Maka dari itu, aku lebih memilih memperhatikannya diam-diam. Berlangsung di sepanjang semester kelas 1 SMP, sampai akhirnya aku dan dia tak lagi satu kelas. Tapi, aku tetap tidak lelah untuk terus diam-diam mengamatinya sampai kami kembali dipertemukan di SMA yang sama. Karena dia berharga.

Aku mencintainya.

***

Satu masa, ketika selama lebih dari dua tahun aku sekadar menyimpan rasa tanpa ada niat mengungkapkan, aku akhirnya menjadikan Endah teman berbagi cerita. Reaksinya tak seberapa heran. Dia tak memungkiri bahwa pemuda seperti Govan akan banyak menarik perhatian orang-orang. Hanya saja tak menyangka tipeku ternyata yang serupa Govan itu, komentarnya yang setelah itu menyuarakan olokan “cie-cie” yang mengganggu. Hasilnya, perasaanku pada Govan sering dimanfaatkan Endah sebagai bahan ledekan. Meski aku tak keberatan, tapi di lain sisi itu cukup mengkhawatirkan.

Khawatir orang lain akan mengetahui perasaanku ini. Lalu terdengar sampai ke telinga Govan, serta-merta membuat dia jijik padaku. Sungguh demi apa pun, aku tak rela bila hal itu terjadi.

“Tenang aja. Mulut aku emang rese, tapi aku gak akan setega itu kok nyebarin rahasia perasaan kamu sembarangan, Wel.”

Kalimat itu aku pegang hingga sekarang. Dan Endah benar-benar terbukti melakukannya. Menjaga rahasiaku dengan baik.

Aku bersyukur memilikinya sebagai sahabatku. Walaupun orangnya sedikit menyebalkan. Ralat. Sangat menyebalkan. Ya, seperti itulah sifat alami seorang sahabat di mana-mana.

***

“Hah? Govan absen? Kenapa?”

Tanpa bisa ditepis, pemikiran berisi berbagai kemungkinan yang tak enak dibayangkan mendatangi kepala. Jelas aku khawatir. Tumben sekali Govan absen masuk sekolah. Apa yang terjadi?

Endah terkikik melihat reaksiku yang berlebihan. “Tenang aja, dia gak kenapa-kenapa, kok. Dia cuma izin karena ayahnya hari ini mau nikah lagi.”

Aku tercenung sesaat. “Ayahnya yang duda itu, ya? Oh. Jadi, Govan mau punya bunda baru dong? Alhamdulillah.”

Ternyata itu alasannya. Kok aku bisa sampai ketinggalan berita? Yang aku tahu memang ayah Govan seorang duda sejak setahun yang lalu. Ibunya meninggal lantaran menderita penyakit diabetes. Aku saja menangis saat mendengar kabar dukanya waktu itu. Turut terpukul dan sedih untuk Govan. Tidak bisa membayangkan kalau aku jadi dia.

“Sayang nih, aku gak bisa hadir di nikahan calon mertua.”

Endah menatapku muak. Dan aku menertawakan ekspresinya. Dipikir cuma dirinya seorang yang bisa bikin kesal?

***

Lalu tiba masa di mana sebuah rasa akhirnya dipertanyakan; apakah kau akan terus memendam ataukah memberanikan diri untuk mengungkapkan? Sebelum semua kesempatan tak lagi tersisa.

Sungguh. Aku tak menyangka hari itu akan datang.

“Nurwela!”

Aku nyaris menjatuhkan buku-buku yang tengah dibawa tatkala seruan heboh Endah terdengar memenuhi koridor. Membuat semua orang yang ada di sekitar sana menjadikan kami pusat perhatian. Kenapa sih sama ini orang?

“Ada apa sih kamu teriak-teriak? Bikin heb—”

“Govan lusa bakalan pindah sekolah.”

Protesku tak selesai dilontarkan begitu mendengar apa yang baru saja Endah beri tahukan. Sudut hatiku berdenyut sakit.

“Apa?” Aku nyaris tak dapat mendengar suaraku sendiri.

Endah menatapku sedih. “Govan mau pindah sekolah. Dia bakalan pindah keluar kota juga. Ikut sama bunda barunya, Wel. Itu yang aku dengar.”

Aku tercekat. Buku-buku di tanganku benar-benar terjatuh akhirnya. Bersamaan dengan menitiknya air mata.

Cinta pertamaku akan pergi jauh. Dan kabar ini jauh lebih menyakitkan ketimbang ketika aku mendengar dia dekat atau bahkan jadian dengan gadis lain.

Maksudku, kalau dia jauh, bagaimana cara aku memperhatikannya? Lagi, bagaimana dengan perasaanku yang belum kunjung tersampaikan padanya?

***

“Kamu yakin mau ngelakuin ini?”

Aku menatap lipatan kertas di tangan dengan perasaan kian kacau. Menoleh pada Endah, menunjukkan raut sedih yang pasti tak sedap dipandang.

“Udah. Jangan sedih terus, Wel.”

Aku menggeleng masygul. “Aku nggak tahu mesti gimana, Ndah. Aku … aku takut.” Kertas kuremas, berusaha keras agar tidak membuatnya lusuh.

Endah mengusap lenganku pelan. “Seenggaknya kamu mau nyoba. Cuma ini kesempatan terakhir kamu, kan? Besok hari Jumat, sekolah kita gak bakalan libur.”

Aku mengangguk kali ini. “Iya, Ndah. Makasih karena kamu mau ngebantu aku.”

Endah tersenyum penuh pengertian. Memegangi aku yang berusaha berdiri, setelah itu mulai menjalankan misi konyol kami. Aku tak bermaksud berlagak seperti pengecut. Hanya saja, aku belum cukup siap pula bertindak bagai ksatria.

Endah mengangguk, memberi tanda aman. Membawa langkahku buru-buru masuk ke kelas Govan, mencari tempat duduknya, sesudah itu memasukkan kertas berisi surat hasil dari tulisan tangan yang aku tulis sambil berpikir keras semalaman ke tasnya. Begitu selesai, aku terpaku seperkian detik sebelum berlari keluar.

Apa pun itu, bagaimanapun nanti tanggapan saat dia menemukannya, aku hanya inginkan dia untuk tahu. Sesederhana itu.

Pada siang hari selepas jam belajar bubar sepenuhnya, secara sembunyi-sembunyi aku melepas kepergian Govan dari sekolah ini dengan perasaan remuk redam. Iri pada orang-orang yang berkesempatan mengucap salam perpisahan, memberi pelukan, bahkan mengucap pesan-pesan untuknya. Andai aku juga seberani itu. Sayangnya, segala apa yang hendak kuungkap sekadar terukir di kertas.

Govan melambaikan tangan ke arah semua orang. Di balik pohon beringin, diam-diam aku membalas lambaian tangannya. Kemudian dia merogoh kantung pakaian seragam, mengeluarkan lipatan kertas dari sana. Kertas berisikan suratku.

Mataku membelalak sekaligus berair. Mengingat baris per baris kata yang kutuliskan di atas kertas berwarna merah muda yang kini ada di tangannya.

Teruntuk Govan Mahendra di mana pun kau berada.

Jaga dirimu baik-baik selama kau jauh dariku. Kalau kau pindah, sudah tentu aku tak lagi dapat memperhatikanmu. Dan mula-mula, aku ingin meminta maaf untuk itu.
Maaf selama ini aku berlagak bagai pengecut.
Mengamatimu terus-menerus dari kejauhan secara diam-diam. Aku yakin, mengetahui hal ini pasti akan membuatmu merasa tak nyaman. Tetapi, aku tak lagi mempunyai pilihan. Aku hanya seorang pemuja yang tak tahu cara ungkapkan rasa di hati. Rasa yang telah kupendam selama tiga tahun ini tak bisa dengan mudah aku ungkapkan apabila kau dan aku saling berhadapan.
Apa kau paham sekarang?
Aku mencintaimu, Govan.
Aku mengagumimu.
Aku menyukai senyumanmu.
Aku senang mendengar suaramu.
Bagiku, segala tentangmu adalah hal yang luar biasa.
Sekarang kau sudah tahu, itu lebih dari cukup bagiku.
Pesanku selaku sosok yang tak penting ini hanya satu, teruslah menjadi pribadi yang seluar
biasa itu. Meskipun kau mungkin tidak menyadari kehadiranku, tapi aku berharap, kau tidak lupa bahwa setidaknya dulu kau dan aku pernah sempat saling bertutur kata.
Semoga suatu hari kau dan aku bisa kembali bertemu, Wahai Cinta Pertamaku. Aku bahagia bisa mengenalmu.

Dariku yang bukan siapa-siapa,
N

Air mataku kian banyak berjatuhan. Membasahi pipi, sampai meninggalkan jejak air pada seragam yang kukenakan. Membungkam mulut tatkala menangkap senyum di bibir Govan seusai melipat suratku yang telah dibacanya. Kepalanya menoleh ke sana-kemari entah mencari apa, lalu menatap sekali lagi surat dariku yang sesudah itu disimpannya lagi ke kantung.

Aku lihat Govan menghela napas panjang. Lantas mulai membalikkan badan, berjalan ke arah gerbang sekolah, dan lenyap di baliknya. Momen itu merupakan pemandangan terakhir yang kutangkap darinya. Setelah hari itu berlalu, aku tak lagi mendapatkan kabar apa-apa. Lebih tepatnya, aku tak ingin mencari tahu. Lantaran takut justru kabar yang tak mengenakkan yang terdengar olehku.

Hingga kini aku berada di semester dua masa kuliah dan aku masih tak dapat melupakan Govan. Cinta pertama memang gila.

Aku mengembuskan napas lalu berdiri. Menutup laptop yang sedari tadi kugunakan untuk numpang menggunakan WiFi dalam upaya mencari tahu tentang Govan di media sosial. Sayangnya, hasil yang kutemukan tak selalu sesuai ekspektasi. Nah, sekarang sudah jelas, kan, kenapa aku masih belum mampu melupakannya?

Padahal berusaha move on sudah. Mencoba pindah ke lain hati juga telah kucoba berkali-kali. Tapi begitu gagal, ingatanku lagi-lagi tertuju pada Govan. Benar-benar mengherankan.

Aku hendak membuka pintu kafe saat melihat ada seseorang yang juga tengah berdiri di baliknya. Alhasil mengalah dengan maksud membiarkannya masuk lebih dulu. Tetapi yang terjadi, dia justru masuk ke kafe untuk kemudian menghadangku di pintu.

Aku mengernyit. Menatap ke depan dan semata-mata dibuat tercekat. Jantungku berdebar keras, menyakitkan sekaligus menyenangkan kala mengetahui siapa sosok yang berdiri di depanku kini.

“Gov—”

“Nurwela?”

Tak dapat dipercaya. Dia yang lebih dulu menyebutkan namaku.

Govan tersenyum. “Maaf baru sempat bilang ini. Tapi, makasih untuk suratnya.” (*)

Suci Hernika, seorang ibu muda yang hobi menulis dan senang bermain-main dengan imajinasi yang mengisi kepalanya. Bukan yang terbaik, tapi tak pernah lelah untuk berusaha. FB: Suci Hernika

Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata