Tak Hendak Makan

Tak Hendak Makan

Tak Hendak Makan
Oleh: Dyah Diputri

Hutan terasa lengang. Tak ada embus angin maupun cengkerama para penghuni dataran hijau di pedalaman Jawa Tengah itu. Barisan pepohonan yang tinggi seolah-olah ikut merasakan kepedihan hati Bujo, seorang pria bertubuh kekar yang tinggal di dalam hutan selama bertahun-tahun. Wanita yang begitu dicintai sedang terbaring sakit, tak berdaya di atas pembaringan. Berbagai cara telah diusahakan Bujo untuk memulihkan kesehatan istrinya, tetapi tak membuahkan hasil sama sekali.

“Ikhlaskan aku. Kehidupan ini memang tak abadi,” lirih si Istri. Paras cantik wanita itu tak luruh walaupun penyakit telah membuat wajahnya memucat pasi.

Bujo hanya bisa menitikkan air mata, tak sanggup lagi bicara. Terlalu besar rasa cinta yang dimiliki hingga ia tak sanggup membayangkan bagaimana kelanjutan hidupnya tanpa sang Istri.

“Aku ingin mati saja bersamamu,” keluh pria itu.

“Jangan. Tetaplah hidup untukku. Nanti pada waktunya, kita akan bertemu lagi.” Si wanita mengucapkan kalimat terakhir dalam helaan napasnya. Sejurus kemudian hutan yang sepi terisi lengkingan suara tangis Bujo yang menderu.

Semenjak hari itu Bujo terlihat murung. Saat tersadar bahwa istrinya sudah tiada, ia menjadi depresi. Menggeram, berteriak, kemudian menangis. Seluruh penghuni hutan tak berani mengusiknya.

Sering kali pria itu mencoba bunuh diri demi bersatu dengan belahan jiwanya. Membenturkan kepala di pohon, memukuli diri sendiri, hingga memakan banyak jamur beracun. Namun, bukannya meninggal, malah Bujo menjadi lebih kuat. Kebal. Terlalu banyak mengkonsumsi jamur itu membuat tubuhnya mengembang lebih besar mirip adonan kue beragi. Belum lagi benjolan di seluruh tubuh mengakibatkan penampakannya menjadi buruk. Warga yang tinggal di hutan yang sama berbondong-bondong berpindah tempat karena menganggap Bujo sudah tak waras, menganut ilmu-ilmu aneh, dan ditakutkan memakan manusia sebagai tumbal.

“Semakin hari tubuhnya membesar, mirip raksasa saja!” ucap seseorang kepada orang lainnya.

Maka, tinggallah Bujo kini sendiri di hutan. Kerinduan terolah rapi bersama hening yang menyelimuti. Anehnya, semakin ia ingin mati, semakin kuatlah tubuhnya.

Hingga suatu malam Bujo bermimpi bertemu dengan mendiang istrinya. Betapa riang hatinya.

“Apa yang harus kulakukan, Ni? Mengapa aku tak mati juga?”

“Bersabarlah. Tolonglah seseorang dan lakukanlah pengorbanan dengan ikhlas hati, Kang.”

Bujo sungguh tak mengerti, apa maksud dari perkataan istrinya. Tiba-tiba ia terbangun dari tidur dan mendapati sebuah biji timun berukuran besar di genggaman tangannya. Lama ia memandangi biji itu sambil mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Menolong? Perngorbanan? Apalah maksud kata-kata itu? tanya Bujo dalam hati.

Beberapa saat kemudian datanglah seorang wanita berparas lembut ke rumahnya. Ia mengetuk pintu perlahan dan memanggil nama Bujo dengan sebutan Pak Raksasa.

Bujo dibuat heran, mengapa masih ada manusia yang mencarinya, sementara orang-orang kebanyakan menjauhi.

“Saya Srini, Pak Raksasa. Semalam saya bermimpi, Anda akan membantu saya untuk mendapatkan seorang anak. Karenanya saya datang kemari.”

Bujo terbahak-bahak, apalagi saat mendengar curahan hati Srini, bahwa ia ingin memiliki seorang anak, padahal suaminya telah meninggal. Tawa si Raksasa menggelegar, terdengar ke seluruh penjuru hutan. Membuat wanita itu mengerut, takut.

“Petunjuk mimpi itu saya percaya benar adanya. Tidak mungkin saya sia-sia datang ke sini, Tuhan pasti sudah merencanakan sesuatu, bukan? Oh, Pak Raksasa … sudilah kiranya membantu saya,” Srini meratap.

Bujo—yang sebenernya hanya manusia biasa—terharu. Suatu hasrat mengetuk pintu hatinya untuk membantu wanita itu, tetapi apalah dayanya. Ia mengingati mimpinya semalam, memutar kembali bait-bait petuah yang disampaikan sang Istri. Kemudian pandangannya mengarah pada kepalan tangan. Sebiji timun yang ia tak mengerti asal muasalnya.

Tiba-tiba, tanpa sadar biji itu disodorkan kepada Srini. Mulut yang tadinya tak banyak kata itu terbuka, lalu keluarlah suara yang tak dikehendaki dari pangkal tenggorokannya. “Biji ini akan memberi apa yang kau mau. Namun, kelak aku akan datang untuk memintanya kembali.”

Srini gemetar menerima pemberian itu. Disahutnya cepat dari tangan Bujo sebab takut raksasa itu akan memakannya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun berlari pulang ke rumah.

Awalnya Bujo tak ambil pusing dengan biji itu, tetapi lama-kelamaan ia penasaran, bagaimana mungkin sebuah biji akan menolong manusia. Meski keajaiban itu memang ada—semisal perubahan besar tubuhnya—tetapi nalar pria itu tak cukup sampai menjangkau seperti apa prosesnya. Maka, diam-diam Bujo mengikuti jejak Srini. Mengendap-endap, mencari tahu perkembangan biji timun itu.

Setelah beberapa bulan, tak ada tanda-tanda keajaiban itu. Bujo hanya melihat sebuah tanaman timun yang terawat oleh Srini di kebun belakang rumah wanita itu. Sialnya lagi, buahnya hanya satu walau ukurannya agak besar.

Hingga tibalah saat mendebarkan itu. Ketika matahari serasa tepat di atas ubun-ubun, puluhan orang berkumpul di ladang Srini untuk menyaksikan bayi ajaib yang berasal dari buah timun itu. Seorang bayi perempuan cantik nan bersinar wajahnya membuat penduduk desa itu terperangah.

“Dia putriku. Keajaiban Tuhan untukku. Kunamakan ia Timun Mas,” ujar Srini bahagia.

Dari kejauhan Bujo menyaksikan pula. Hatinya bergetar hebat. Dari sebuah biji timun yang ia berikan secara tak sadar pada Srini benarlah memberikan seorang anak.

Hari berganti hari, bulan berganti tahun. Tumbuhlah bayi itu menjadi seorang gadis remaja. Sungguh mengejutkan Bujo! Saat semakin besar, paras Timun Mas jadi mirip dengan mendiang istrinya. Sering kali saat raksasa itu secara sembunyi-sembunyi melihat tumbuh kembang si gadis ayu, bersesakan nelangsa di dada kirinya. Rindu kepada sang Istri kembali menghunjam kalbu.

“Aku datang untuk menagih janjimu. Timun Mas sudah besar, kan? Serahkan ia padaku,” keluar juga ucapan itu dari bibir Bujo tatkala rasa rindu semakin menjadi. Pikirnya, dengan menjadikan Timun Mas sebagai putrinya, maka lebih tenanglah jiwanya.

“Berilah tenggang waktu, Pak Raksasa. Timun Mas masih sakit. Aku masih belum bisa melepasnya,” pinta Srini ketakutan.

Bujo mengiyakan. Pernah merasakan beratnya perpisahan membuat pria itu melonggarkan masa barang sebentar. “Seminggu lagi aku akan datang mengambilnya!” hardik Bujo sebelum berlalu, kembali ke hutan.

***

Sementara itu, Srini merasa cemas. Takut bilamana raksasa itu benar-benar akan mengambil dan menyantap Timun Mas. Malam-malam terasa mencekam, janda tua itu tak bisa tidur nyenyak hingga akhirnya jatuh sakit.

“Ibu, mengapa tiba-tiba sakit begini? Apa yang sebenarnya Ibu pikirkan?” Timun Mas memandang sedih pada ibunya.

Srini pun membuka mulut. Menceritakan hal ihwal hadirnya Timun Mas dalam kehidupannya. Juga permintaan Bujo untuk mengambil gadis ajaib itu kembali.

“Besok Ibu akan pergi ke orang sakti di desa sebelah. Siapa tahu dia punya sesuatu untuk menggagalkan rencana Pak Raksasa itu.”

Timun Mas mengangguk. Binar ayunya pun berganti panik seperti ibunya. Rasa sayangnya terlalu dalam pada sang Ibu, hingga tak mau ada perpisahan.

***

Seminggu yang ditunggu itu pun terlewat begitu cepat. Bujo sudah tak tahan lagi untuk menjemput Timun Mas. Sesaat sebelum kakinya akan melangkah ke luar rumah, tiba-tiba ada kabut putih yang menghalangi pandangan. Lalu, muncullah bayangan sang Istri. Begitu cantik parasnya, membuat degup Bujo kembali membuncah.

“Kang, saatnya kamu ikhlas.”

“Apa maksudmu, Ni? Aku tak mengerti. Kau tahu, Ni? Di desa sana, ada gadis yang mirip sepertimu. Akan kujadikan dia anakku, anak kita! Hari-hariku tak akan lagi sepi tanpamu.”

Si Istri hanya melengkungkan segaris senyum. Sorot matanya teduh, penuh arti. Tak ada lagi kalimat terucap, kabut tebal membawanya pergi menjauh dari Bujo.

“Ni! Ni!” teriak Bujo dengan jangkauan tangan yang gagal meraih wanita pujaannya.

Ah, kenapa juga aku harus bersedih? Bukankah masih ada Timun Mas?

Bujo tertawa keras sepanjang perjalanan ke desa. Beberapa orang yang kebetulan lewat pinggir hutan bergidik ngeri mendengar suaranya.

“Hai, Srini! Waktu yang kau minta sudah habis. Serahkanlah Timun Mas padaku!” teriak Bujo begitu sampai di depan rumah Srini.

Lama Bujo menunggu. Namun, baik Srini maupun Timun Mas tak kunjung membuka pintu. Habislah kesabarannya. Kakinya berderap-derap mengentak ke tanah, giginya bergemeletuk. Tanpa permisi ia masuk ke sepetak kecil rumah janda tua itu sambil terus meneriakkan nama Timun Mas.

Nihil. Tidak ada seorang pun di dalam gubuk itu. Bujo marah bukan kepalang, merasa dipermainkan oleh Srini.

Semua pintu yang ada dibanting keras-keras hingga menimbulkan bunyi berdentum. Lalu ketika hampir sampai di pintu belakang, matanya terbelalak memandang punggung Timun Mas yang mulai menjauh dari ladang.

“Timun Mas, Cah Ayu … sini, Nduk!” Langkah seribu Bujo mencoba mengejar.

Si gadis ayu lari sekencang-kencangnya. Di tangannya tergenggam empat bungkusan kecil pemberian sang Ibu. Konon, kata orang sakti yang didatangi Srini, bungkusan-bungkusan itu akan membantu untuk lepas dari kejaran raksasa. Namun, Timun Mas tak paham apakah gerangan isinya. Ibunya hanya berpesan agar menabur satu per satu bungkusan itu jika dalam situasi terjepit.

“Timun Mas, sini, Nduk!” lantang, Bujo kembali memanggil.

Timun Mas mulai kelelahan. Kakinya mulai lelah menapaki sawah. Semburat peluh menghiasi wajah lalu turun ke dagu dan lehernya. Ia berteriak minta tolong, tetapi tak ada satu pun orang mau menolong.

“Aaah!” Pekikan terdengar jelas di telinga Bujo. Timun Mas terantuk batu.

Dalam jarak beberapa meter si Raksasa mempercepat langkah, hendak membantu. Namun, tiba-tiba si gadis melemparkan sebuah bungkusan tepat di hadapannya. Biji-biji timun berhamburan, seketika daratan di hadapan Bujo berubah menjadi ladang timun.

Tak tahanlah Bujo untuk tidak menyicipi. Sedari berangkat hingga terengah-engah melakukan pengejaran, ia belum makan apa-apa. Rupa-rupanya rasa timun melenakan Bujo. Hampir-hampir ia kehilangan jejak Timun Mas karena kekenyangan membuat lajunya melambat.

“Aku harus lebih cepat menemukan gadis itu!”

Tinggal beberapa langkah mendekati Timun Mas, lagi-lagi Bujo dikejutkan sebuah bungkusan yang terjatuh di bawahnya. Jarum isinya. Lalu secara kilat berubah menjadi ladang bambu. Duri bambu berserabut di sana-sini.

“Aaah! Apa lagi ini?” Bujo tampak emosi dengan rintangan yang dilalui.

Ketika ia berhasil melewati puluhan pohon bambu itu, dia kembali mengejar langkah Timun Mas.

Tak kalah cepat, Timun Mas sudah bersiap dengan bungkusan ketiganya. Kata Srini isinya garam, lalu selanjutnya yang keempat ialah terasi.

“Tunggu, Timun Mas! Jangan lagi! Aku tak hendak memakanmu. Percayalah. Aku … aku ….”

Terlambat! Bungkusan garam itu sudah menjelma menjadi lautan. Bujo tak siap. Terapung-apung ia melawan ombak. Berusaha berenang lebih handal untuk sampai ke tepian.

Napas terengah. Daya melemah. Matanya nyalang menyorot Timun Mas yang sempat menoleh kepadanya. Bisa saja ia menjangkau bentang jarak yang tak terlalu jauh. Namun, tak dilakukan. Dadanya naik-turun, sesak. Sejurus kemudian air mata menitik dari cangkirnya. Sejenak ia berpikir, untuk apa sejatinya hal ini dilakukan. Demi memandang paras yang sama dengan istrinya yang telah meninggal, begitukah? Atau hanya untuk membuat gadis ayu itu semakin takut padanya. Bahkan Bujo tak tahu lagi apa isi bungkusan terakhir yang ditenteng si gadis dan halangan apa yang akan dihadapinya.

Satu rasa menyelusup sanubari. Ya … Bujo hanya rindu pada istrinya. Rindu dan selalu rindu. Ah, inikah pengorbanan untuk bertemu denganmu, Ni? Jikalau begitu, bagaimana caranya untuk ikhlas? Bujo membatin seiring derai bulir-bulir hangat membasahi pipi gembulnya.

Bujo benar-benar berhenti mengejar. Tak pelak, Timun Mas menjadi bingung. Ditatapnya wajah sendu Bujo yang berlinang air mata. Rasanya tak tega untuk melempar bungkusan terakhir, takut kalau-kalau Bujo yang sudah menyerah itu semakin terluka.

“Hai, Pak Raksasa. Kenapa kau menangis?” tanya Timun Mas setengah gugup.

“Kenapa pula tak kau lemparkan bungkusan itu, Cah Ayu?”

Timun Mas menggigit bibir bawahnya. Ragu untuk menjawab. Lagi pun, ia masih perlu berjaga-jaga.

“Apa kau akan memakanku?”

“Tidak.”

“Kenapa? Kata Ibu kau akan memakanku,” ucap Timun Mas polos.

“Aku … aku hanya ingin melihat wajahmu, Nduk.”

“Kenapa begitu?”

“Karena kau cantik. Seperti istriku, tapi ia telah meninggal. Maaf, jika aku menakutimu.”

Timun Mas menghela napas. Lega. Ternyata Pak Raksasa itu tidak sejahat yang orang kira.

“Lemparkan bungkusan itu, Cah Ayu … Timun Mas,” pinta Bujo.

Timun Mas menggeleng. Tiba-tiba ia merasa akan jadi perempuan paling kejam kalau menyakiti Bujo hanya karena pria itu ingin menatap wajahnya. “Aku tidak akan menyakitimu.”

“Lakukan saja apa yang kupinta. Mungkin itu bisa membantuku untuk bertemu dengan istriku.”

Timun Mas iba. Terasa ada bongkahan besar berjejal di dadanya yang membuat matanya berkabut. Hari sudah hampir petang. Ia berpikir, pasti ibunya juga sudah menunggunya.

“Izinkan aku pulang, Pak Raksasa. Kasihan Ibu, pasti menungguku kembali.” Timun Mas melangkah maju. Tak hiraukan panggilan dan titah Bujo agar melempar bungkusan terakhir.

Sementara Bujo tak berputus asa. Ia berlari dengan sisa tenaga yang dimiliki untuk mengejar Timun Mas. Saat sudah dekat, tangannya berusaha meraih bungkusan itu. Sempat terjadi tarik-menarik karena gadis itu tidak mau menyerahkan padanya.

“Berikan, Nduk. Berikan saja padaku, lalu pergilah!” Bujo berteriak. Gemas.

Tiba-tiba bungkusan berbau menyengat itu terlepas dari tangan Timun Mas. Jauh tepat di bawah kakinya.

“Aaaah!”

Semburan lumpur seketika terpancar dari berbagai sisi. Semakin deras dan banyak, dalam beberapa detik saja hamparan kebun berubah menjadi lautan lumpur. Timun Mas dan Bujo terbawa arusnya.

Bujo hampir tenggelam. Namun, melihat tangan Timun Mas menggapai-gapai permukaan lumpur, dikuatkannya tenaga penuh untuk tetap mengapung. Tangannya mencari-cari tubuh Timun Mas.

“Dapat!” serunya senang.

Bujo memegangi tubuh kurus itu kemudian mendorongnya ke tepian. Timun Mas selamat walau kemudian tak sadarkan diri. Sementara Bujo, entah memang sudah kehabisan tenaga atau karena sengaja menyerah … ia biarkan tubuh besarnya tenggelam dalam lautan lumpur berwarna cokelat kehitaman itu.

Setelah ini aku akan bersamamu. Selamanya, Ni.(*)

Malang, 29 Januari 2019.

Note: Kisah ini merupakan fanfiction dari Timun Mas

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata