Tak Ada Lagi Permen dan Susu Kocok Coklat

Tak Ada Lagi Permen dan Susu Kocok Coklat

Tak Ada Lagi Permen dan Susu Kocok Cokelat
Oleh: Aisyahir

Namaku Bly. Usiaku masih sembilan tahun. Hari ini—setelah pulang sekolah, aku melihat Paman Joni menarik Ibu masuk ke dalam kamar. Mulut Ibu ditutup dengan tangan kanan Paman. Aku menatap Paman dengan tatapan bingung, apalagi Ibu yang terlihat berusaha melepaskan diri. Paman Joni meneriakiku untuk diam saja, katanya itu permainan orang besar, bukan untuk anak kecil sepertiku. Aku hanya mengangguk menyetujui, sebagai balasannya Paman mengijinkanku untuk pergi membeli permen di warung, nanti dia yang akan membayarnya seperti biasa. Aku mengangguk gembira dan berlari pergi meninggalkan rumah. Lagi pula aku tidak mengerti mereka sedang apa. Tapi aku sedikit heran. Kenapa Paman Joni menarik Ibu ke kamar? Padahal dulu jika Ayah dan Ibu yang ingin masuk kamar, pasti tak perlu ditarik-tarik, langsung digendong atau masuk sendiri.
Ayah sendiri sudah lama dimasukkan ke dalam tanah lalu ditimbun. Kata Ibu, kalau orang sudah tidak mengeluarkan udara lewat hidung, maka akan ditanam dalam tanah. Makanya aku sangat rajin membersihkan lubang hidungku, supaya udaranya gampang keluar dan tak tersumbat hingga berakhir seperti Ayah. Pasti menyeramkan tinggal di bawah sana tanpa permen dan susu kocok cokelat, bahkan harus tinggal bersama hewan menjijikkan bernama cacing—yang biasanya digunakan untuk umpan ikan malah harus dijadikan rekan tidur sepanjang waktu. Menyeramkan.
Entah berapa lama aku bermain boneka dengan anak Bibi May setelah membeli permen, hingga lupa untuk pulang. Aku rasa Ibu akan marah besar karena hal ini, apalagi aku belum makan sejak pulang tadi. Saat hendak memasuki rumah, kulihat Paman yang baru membuka pintu. Paman menghampiriku lalu berlutut untuk menyesuaikan ketinggianku.
“Apa pun yang kamu lihat tadi, lupakan saja. Jika ada yang bertanya jawab saja tidak tahu. Kalau kamu tidak berjanji untuk melakukaannya, maka paman akan melarang Ibumu untuk membuatkan susu kocok cokelat. Paman juga tidak akan memberimu uang untuk membeli permen lagi, bahkan tidak lagi memebelikanmu boneka seperti punya anak Bibi May. Mau?”
“Tidak, Paman. Bly akan menuruti permintaan, Paman. Dan akan berjanji supaya tidak bocor,” jawabku cepat. Selama Ayah ditanam, hanya Paman Jonilah yang selalu memberiku uang untuk membeli permen. Ibu sangat pelit untuk yang satu ini. Untunglah ada Paman Joni selaku Pamanku yang merupakan saudara Ayah. Dia belum punya istri dan anak. Katanya, dulu dia pernah mencintai seorang wanita, tapi wanita itu malah menikah dengan pria lain. Tapi sekarang dia mulai mendekatinya lagi, karena suami wanita itu sudah ditanam juga. Itulah yang pernah diceritakan Paman Joni padaku.
“Anak pintar. Ini uang tambahan untukmu,” puji Paman Joni lalu memberiku dua lembar uang hijau, dengan sangat senang hati aku menerimanya. Paman pun telah melenggang pergi tanpa menunggu ucapan terima kasih dariku. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah, berlari masuk mencari Ibu.
“Ibu! Ibu!” Aku mulai berteriak karena tak mendapati sosok ibu yang biasanya menyambutku dengan wajah kesal karena terlambat pulang. Sesaat terdengar suara tangisan dari arah kamar. Aku berlari dengan segera. Di sana, kulihat Ibu sedang menangis. Pakaiannya berserakan di lantai bahkan ada bagian yang robek, dan Ibu tampak bersembunyi di balik selimut. Aku bingung dengan apa yang terjadi. Atau barangkali Ibu habis dipijit oleh Paman, sama seperti yang sering Ayah lakukan pada Ibu? Kenapa orang besar sungguh sulit dimengerti oleh anak-anak sepertiku? Bahkan Ibu tak ingin aku mendekatinya. Dengan tangan kanan terangkat ke udara mengisyaratkan untuk berhenti bergerak. Aku bingung, benar-benar bingung. Hingga kuputuskan saja untuk masuk ke dalam kamarku.
Sejak hari itu Ibu sedikit berubah, jarang bicara dan suka marah-marah. Apalagi saat aku membahas tentang Paman Joni yang selalu memberiku permen ataupun uang hijau setiap hari. Bahkan, Ibu tidak pernah lagi membuatkanku susu kocok cokelat, dan aku kesal akan hal itu. Padahal aku sudah tutup mulut, sesuai perkataan Paman Joni. Ibu juga jarang keluar rumah, lebih suka mengurung diri di kamar. Aku jadi Semakin tak mengerti. Dan setiap kali ada yang menayakan tentang Ibu, aku pasti mengatakan: “tidak tahu” sesuai perintah paman waktu itu. Ibu juga tidak cerita apa-apa, hanya menangis terus serta menyuruhku untuk menjauhi Paman Joni. Katanya Paman Joni jahat, padahalkan Paman sangat baik karena sering membelikanku permen tusuk rasa cokelat dan stroberi. Malahan Ibu yang jahat karena tak pernah membuatkanku susu kocok cokelat, hanya ada air putih dan nasi goreng yang ada hitam-hitamnya serta pahit saat ditelan.
Hari ini aku pulang cepat karena habis mengikuti ujian kenaikan kelas. Karena Ibu sedikit berbeda, nilaiku pasti menurun karena tak pernah diajari Ibu. Ibu hanya sibuk menangis di kamar, bahkan lupa untuk mencuci pakaian yang menumpuk. Aku bahkan harus memakai seragam putih di hari kamis, karena baju yang harusnya aku kenakan hari ini sangat kotor dan belum dicuci Ibu.
Aku berjinjit menggapai ganggang pintu. Sejak tadi Ibu tidak membukanya. Saat masuk, aku mencium sesuatu yang kurang sedap, tapi ini bukan berasal dari tumpukan pakaian kotor yang sudah hampir tiga hari tak dicuci, baunya berbeda. Aku berjalan sambil menutup hidung. Masuk ke kamar Ibu yang pintunya tidak terkunci.
Mulutku sontak terbuka lebar-lebar, mataku melotot saat mendapati Ibu yang sedang memegang pisau dapur. Tangannya berwarna merah, Ibu juga sedang menangis. Aku lebih terkejut lagi saat melihat badan Paman Joni terkapar di lantai. Ada cairan merah yang keluar dari bagian perut, dada, dan juga lehernya. Tapi Paman Joni tidak menangis seperti ibu. Aku jadi teringat dengan luka Ayah saat hendak ditanam, lukanya sama. Ibu berjalan medekat ke arahku. Aku berjalan mundur, jangan sampai dilukai juga seperti Paman Joni. Pasti sakit.
“Dengar, Nak. Ibu tidak melakukan hal keji kok, tidak. Ibu Cuma melakukan apa yang Pamanmu telah lakukan pada Ayahmu, persis. Sekaligus sebagai wujud pembalasan karena telah menghancurkan kehormatan ibu sebagai seorang wanita. Sebentar lagi, polisi akan datang membawa ibu pergi jauh. Ibu hanya ingin kamu menjaga diri, dan jangan dekati orang yang sama seperti Pamanmu. Oke?” ungkap Ibu masih menangis.

Aku hanya mengangguk, kalau Paman mendapatkam sesuatu seperti Ayah, berarti Paman juga akan ditanam dan tak akan ada lagi yang akan memberiku permen. Dan jika Ibu sudah pergi juga, bagaimana denganku sekarang? Tidak akan ada lagi permen dan susu kocok cokelat.

Ibu benar. Tak lama kemudian ada pak polisi datang. Ada banyak orang juga yang datang. Aku sendiri langsung ditarik oleh Bibi May keluar. Aku tidak melawan, dan kulihat Ibu ditarik-tarik dengan pasrah oleh pak polisi, persis seperti di televisi saat orang jahat ditangkap. Kenapa sekarang orang jadi suka main tarik-tarik? Bahkan  aku sama sekali tak paham dengan apa yang terjadi. Apakah iIbu habis melakukan hal yang keren?
***
Entah beberapa hari setelahnya, aku juga dipanggil ke kantor polisi. Aku pergi bersama Bibi May, katanya untuk menemui Ibu. Tapi semuanya bohong. Di sana aku hanya ditanya-tanya. Pak polisi sungguh cerewet, pertanyaanya sangat banyak. Tapi karena Bibi May berjanji akan memberiku boneka mirip seperti punya anak Bibi May jika selesai menjawab, akhirnya kuceritakan saja apa yang pernah kulihat. Termasuk cerita saat kulihat Paman Joni menarik Ibu. Setelahnya baru aku boleh pulang. Padahal aku belum bertemu dengan Ibu. Bibi May hanya berkata, jika Ibu baik-baik saja. Karena Ibu membuat orang yang membuat ayah ditanam juga ikut ditanam.(*)

Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang saat ini sedang menekuni dunia literasi. Sangat menyukai kucing, namun sejak tiga bulan yang lalu kucingnya menghilang entah ke mana. Ig: Aisyahir_25.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply