Suatu Hari di Malam Buta

Suatu Hari di Malam Buta

Suatu Hari di Malam Buta

Oleh : Vianda Alshafaq

 

Kamu ingat bagaimana kamu selalu bercerita padaku setiap malam? Kamu menceritakan kisah-kisah apa pun yang kamu mau sembari memelukku dan mengelus rambutku dengan pelan, seolah-olah kamu berharap aku segera terlelap. Sesekali kamu menghadiahiku kecupan di kening. Kadang-kadang kamu mengecup puncak kepalaku. Tak jarang juga kamu mengelus pipiku dengan lembut. Meski sudah lebih dari dua tahun kita bersama, kamu masih sama seperti pertama kali berjumpa. Selalu manis dan membuat pipiku merah merona karena malu. Kadang kala kamu menghadiahiku pujian-pujian yang sebenarnya terlalu berlebihan dan jelas sekali kamu membual, tapi tetap saja pipiku terasa panas.

“Besok kita akan pergi jalan-jalan. Tidurlah, Sayang.”

Kamu mengucapkan kalimat itu penuh kelembutan. Dan, aku hanya menurut. Aku mulai memejamkan mataku dan memasuki alam mimpi dengan harapan aku tetap melihatmu dalam mimpi-mimpiku.

Keesokan harinya, seperti katamu tadi malam, kita pergi jalan-jalan. Kita jalan-jalan ke banyak tempat. Dan, dari semua tempat yang kita kunjungi hari itu, aku paling menyukai taman kota. Di sana, tepatnya di antara bunga-bunga yang kebetulan sedang mekar, kamu memberiku sebuah benda bulat yang entah apa namanya itu. Di dalamnya terlihat seperti laut, hanya saja versi buatan manusia. Air di dalamnya bergerak-gerak seperti halnya ombak. Ah, mungkinkah itu semacam miniatur?

“Aku tahu kamu menyukai laut. Aku ingin kamu menyimpannya dengan baik.”

Tiba-tiba seseorang berjalan mendekati kita. Dia bilang, aku tidak boleh menyimpannya. Katanya, air dalam bola ini akan berubah menjadi musibah di malam purnama.

Kita tidak percaya, tentu saja. Rasanya tidak mungkin sekali bola kecil tersebut akan berubah semenakutkan itu. Aku tertawa kecil mendengar penuturan orang itu. Dan, kamu. Sepertinya kamu malah memikirkannya. Setelah kutanya, kamu bilang itu ide yang bagus untuk dijadikan sebuah karya tulis.

Ketika matahari akan tergelincir, kita memutuskan untuk pulang, mengistirahatkan diri setelah seharian berkeliling. Sebenarnya aku cukup heran ketika kamu memberiku bola itu. Bagaimana aku tidak akan heran ketika kamu dengan tiba-tiba memberiku hadiah. Biasanya kamu hanya memberiku hadiah di hari-hari tertentu. Hari ulang tahun pernikahan kita, misalnya.

Kamu ingat bagaimana kita mengakhiri kelelahan hari itu? Seperti biasa, kamu menceritakanku sebuah kisah sebelum tidur.

***

Kamu ingat ceritamu tentang bunga mawar malam itu? Kamu bilang, bunga mawar itu bicara padamu bahwa ia ingin kamu memetiknya, dan membawanya pulang ke rumah. Kala itu, aku mengernyit, bingung. Bagaimana mungkin setangkai bunga berbicara padamu dan ingin dibawa pulang. Kupikir waktu itu kamu sedang berhalusinasi. Kamu kadang terlalu tenggelam dalam pikiran-pikiran liarmu sebelum kamu menulis. Jadi, aku tak memercayai apa yang kamu ceritakan hari itu karena mungkin saja itu adalah sebuah ide yang akan kamu tulis, hanya saja terlalu kamu hayati sehingga kamu menceritakannya padaku seolah-olah semua itu benar-benar terjadi.

Aku tidak mengerti sama sekali apa tujuanmu membawa bunga mawar itu pulang. Kamu meletakkannya di sebuah vas kaca kecil dengan diisi air setengahnya. Ingin sekali aku bertanya untuk apa kamu melakukannya, tapi aku sudah tak sanggup menahan kantuk yang sudah menyerangku sejak tadi.

Kamu mulai berbaring di sampingku, matamu masih menatap langit-langit kamar. Aku menatapmu dari samping. Kamu masih memegang sebuah pensil kayu yang sudah pendek sekali. Aku sudah pernah memintamu membeli pensil yang baru. Tapi kamu bilang tidak perlu, hanya akan sia-sia saja. Kamu memutar-mutar pensil itu dengan jarimu—seperti yang kulakukan saat ulangan dulu ketika aku tak tahu harus menjawab apa.

“Tidurlah. Ini sudah larut. Kamu bisa menulis lagi besok.”

Itu kalimatku malam itu. Kupikir kamu akan manut saja seperti malam-malam sebelumnya.

“Kamu, tidurlah. Aku tak punya waktu untuk menulisnya esok hari.”

Itu kalimatmu, yang membuatku bergidik membayangkan sesuatu.

Aku masih tidak mengerti mengapa kamu begitu kekeuh untuk menulis malam itu. Apa karena kamu akan menulis tentang mawar aneh itu? Apa istimewanya kembang merah tersebut sehingga membuat kamu tak melakukan apa yang biasanya kamu lakukan padaku?

Malam itu bulan sudah bulat seutuhnya. Sesekali pikiranku kembali pada kejadian di taman kota waktu itu. Entah kenapa aku sedikit mengkhawatirkan kalimat orang itu. Apa aku percaya padanya? Tapi, bukankah tidak masuk akal sekali apa yang dia katakan seperti halnya perkataanmu perihal mawar itu?

Mataku sudah berat sekali. Ingin rasanya menunggumu, dan memejamkan mata bersama. Tapi, entah kenapa aku benar-benar tidak kuat menahan kantuk.

Dalam tidurku, aku merasakan sesuatu tengah terjadi. Tubuhku terasa terombang-ambing di atas air. Tak jarang tubuhku terbentur, entah ke benda apa. Aku ingin membuka mata, tapi tak bisa barang sedikit pun. Aku rasanya seperti hanyut dalam genangan air. Terbawa arus. Terbentur ke batu-batu. Entah ada apa dengan mataku, aku masih tak bisa membukanya. Aku sudah berteriak sekencang yang aku bisa, tapi suaraku tak keluar sama sekali. Aku memanggil namamu berkali-kali, berharap kamu datang dan memelukku. Tapi, nihil. Aku tak tahu kamu di mana.

Aku menangis meski tak ada air mata yang keluar. Aku sadar apa yang terjadi. Tapi, aku tidak bisa bergerak. Tidak tahu apa yang menyelimuti tubuhku. Aku tidak merasakan air menyentuh tubuhku. Tetapi dengan merasakan tubuhku yang terombang-ambing, aku yakin betul ada arus air yang deras. Apa mungkin … banjir? Tapi kita tinggal di daerah ketinggian dan tak ada hujan hari itu

Lagi-lagi aku mencoba melepaskan apa yang mengikatku. Aku tak bisa. Aku tak sekuat itu. Entah mata, tangan, kaki, semuanya tak bisa digerakkan. Aku lumpuh. Dan, setelahnya aku sudah tidak tahu apa yang terjadi.

Kamu tahu mengapa aku tak bisa menggerakkan seluruh tubuhku malam itu? Mawar yang kamu bawa pulang waktu itu, membungkusku dengan mahkotanya. Tidak masuk akal, memang. Tapi begitulah adanya. Sama halnya dengan kamu yang mengatakan bahwa mawar itu berbicara, tak masuk akal. Tapi setelah semua ini, aku percaya bahwa mawar itu berbicara padamu. Setelah peristiwa itu berakhir—entah seberapa lama, mawar itu melonggar dengan sendirinya. Seperti memberiku ruang untuk keluar.

***

Apa kamu sudah lelah menceritakanku kisah-kisah indah ketika hari sudah malam dan mata mengantuk? Kamu selalu berkata bahwa kamu menyukainya, kan? Kamu mengatakannya padaku, setiap hari, setiap malam, bahwa bercerita padaku adalah satu dari banyak hal yang tidak ingin kamu hentikan. Tapi, kenapa akhir-akhir ini aku tidak mendengar kisahmu. Kenapa kamu pergi tanpa kabar? Kamu hilang seperti debu yang ditiup angin, entah sampai di mana. [*]

 

Vianda Alshafaq, gadis remaja penyuka senja. Bisa dihubungi melalui facebook: Vianda Alshafaq.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply