Suamiku Bukan Suamiku (episode 5)

Suamiku Bukan Suamiku (episode 5)

Suamiku Bukan Suamiku 5

Oleh: Tutukz Nury Firdaus

“Apa nanti Aya juga punya Papa Baru sama Mama Baru?” tanya Aya polos.

Pertanyaan Aya terasa menghujam ulu hatiku, membuat cuaca siang yang panas terasa semakin panas, sedangkan aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku harus memutar otak untuk mengalihkan perhatian Aya sementara waktu, sebelum aku menemukan jawaban yang tepat.

“Mama… Mama, kok malah diem?” Aku tersadar dari lamunanku.

“Eh, enggak kok, Sayang. Tadi Mama cuma lagi mikir.” Aku berusaha mengulur waktu, mencari sesuatu yang sekiranya dapat membuat Aya lupa pertanyaanya.

“Terus?”

“Mama pikir… kayaknya Mama butuh yang seger-seger, deh. Gimana kalau kita makan puding mangga dulu?”

“Oh ya? Mama punya puding mangga. Kenapa gak bilang dari tadi. Aya mau! Aya mau, Ma!” Aya terlihat sangat senang saat tahu ada puding mangga kesukaannya.

“Sebentar, Mama ambilin dulu, ya.” Aku mencubit pipinya. Gemas. Akhirnya aku bisa mengalihkan perhatian Aya.

Ya, Allah… bagaimana nanti aku bisa menjelaskan tentang arti sebuah perceraian pada anak-anakku. Saat papa dan mamanya harus berpisah. Mereka harus memilih salah satu dari kami. Hatinya pasti akan terluka. Dan luka itu akan dia bawa seumur hidupnya.

Apalagi tentang Papa dan Mama Baru yang barusan ia tanyakan. Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Ini akan menjadi sesuatu yang sangat rumit bagi anak usia tujuh tahun seperti Aya.

Berilah hamba-Mu ketabahan dalam menghadapi ini semua.

***

Aku tersungkur di atas hamparan sajadah, tenggelam dalam doa di sepertiga malamku. Mengadukan segala keluh kesah di hati pada Sang Pencipta. Badai pasti berlalu. Ada rencana Tuhan yang indah untukku dan keluargaku. Karena aku yakin semua yang terjadi di alam semesta ini tak akan terjadi tanpa izin-Nya. Aku masih berharap keluargaku masih bisa diselamatkan, berharap ada mukjizat yang akan membuat hati Mas Pras mencintaiku, walau mungkin semuanya sudah terlambat.

Aku tidak tahu, sudah berapa lama dia memperhatikan aku. Karena khusyuk berdoa, aku sampai tak menyadari kehadirannya di sampingku. Dia menatapku lembut, aku rasakan dadaku berdesir. Dia menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Entah apa maksudnya.

Apakah dia merasa iba padaku? Atau apakah dia merasa bersalah?

Diraihnya kepalaku dan didepaknya. Erat dan hangat. Aku merasakan detak jantung dan aroma tubuhnya. Ini kali kedua Mas Pras memelukku seperti ini. Pertama, saat ayahku meninggal secara mendadak karena serangan jantung. Dan yang ini, aku tidak tahu alasannya. Tapi berada dalam dekapannya seperti ini membuatku merasa tenang.

“Ratih, maafkan aku,” bisiknya di telingaku.

“Aku juga minta maaf, telah membuatmu terjebak dalam pernikahan ini.”

“Tidak, Ratih. Tidak. Semua ini terjadi karena takdir Tuhan.” Kali ini dia memelukku lebih erat.

“Maafkan aku, jika selama ini aku belum bisa menjadi istri dan ibu yang bagimu dan anak-anak kita.” Aku melepaskan pelukannya. Kami bertatapan, lama. Kedua tangannya memegang lembut pipiku.

“Mas, sebelum kita berce—” Dia meletakkan jari telunjuknya di bibirku, bermaksud menghentikan kata-kataku, tapi aku menepis lembut tangannya.

“Sebelum kita resmi bercerai, aku ingin bertemu dengan Lily.” Mas Pras menggeleng tanda tak setuju.

“Aku mohon …,” pintaku setengah berbisik.

Mas Pras tertunduk lesu. Aku segera beranjak dan meninggalkan dia. Keputusanku sudah bulat, jika dia tetap ingin menikahi wanitanya, aku yang akan mengalah. Walaupun sebenarnya dalam hati ini sangat tidak ingin berpisah. Aku tidak bisa merelakan Mas Pras pergi dari hidupku.

***

Pagi ini berjalan seperti biasa. Aku menyiapkan keperluan sekolah Aya, mengurus Alya dan menyajikan sarapan. Mas Pras sedang mandi saat aku menyuapi Alya bubur di depan televisi sambil menonton kartun kesukaannya.

Aku lihat handphone Mas Pras tergeletak di meja saat ada panggilan masuk dari Miko, begitulah nama yang tertera di layar itu. Aku mengangkat telepon. Belum sempat aku bicara, tapi seseorang di seberang sana sudah langsung nyerocos.

“Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku. Keburu aku pake ke kantor, nih.”

“Jilbab?” tanyaku.

“Eh, eum… anu, Bu. Mas Pras mana?” suaranya yang tadi begitu bersemangat kini terdengar gugup.

“Mandi,” jawabku pendek, mungkin terkesan sinis.

“Ya sudah, Bu.” Sambungan terputus.

Aku tersenyum geli setelah menerima telepon tadi. Namanya Miko, suaranya cewek. Nampaknya Mas Pras mulai pintar bermain kucing-kucingan. Dia memberi nama Miko, padahal aku yakin kalau itu Lily. Aku pernah bicara dan mendengar suara wanita itu sebelumnya.

Baiklah kalau begitu, akan aku ikuti permainan ini. Entah kenapa sekarang aku tak merasa sakit hati.

Mas Pras sudah keluar dari kamar mandi. Sambil memasang dasi di depan cermin dia bertanya padaku, “Bicara sama siapa?”

“Miko.” Mas Pras yang tadinya santai menjadi salah tingkah.

“Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku. Keburu aku pake ke kantor, nih,” aku bicara menirukan nada Miko di telepon. Mas Pras tidak berkata apa-apa. Dia hanya bergaya sok sibuk dengan dasinya yang dari tadi tidak selesai-selesai, pura-pura tidak mendengarku.

Aku mencolek lengannya. “Sejak kapan Miko pake jilbab? Haha ….”

Lagi-lagi dia tak menjawab. Dia hanya mendengus kesal. Kemudian pergi meninggalkanku yang terkekeh melihat raut wajahnya—yang menurutku lucu.

Mas Pras berangkat dengan tergesa, tak sempat sarapan, Ada tugas mendesak katanya. Tugas dari Lily. Eh, bukan. Tuga dari Miko, mungkin.

Aku khawatir jika ia tidak sarapan, Mas Pras punya penyakit maag yang parah. Jadi aku berencana untuk menyusulnya ke kantor, membawakan bekal makan siang.

***

Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang. Sengaja aku berangkat ke kantor Mas Pras tiga puluh menit lebih awal sebelum jam istirahat, agar bisa sampai di sana tepat waktu. Namun sial, ban motorku kempes. Aku harus mencari tambal ban terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Sayangnya sesampai di sana aku lihat mobil Mas Pras sudah tidak ada.

Aku masuk melalui pintu nasabah, tidak melalui pintu samping yang diperuntukkan khusus pegawai bank.

“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya satpam itu ramah sambil membukakan pintu. Aku hanya tersenyum, tidak segera menjawab. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

“Ibu mau setor atau mau menarik uang?” tanyanya lagi. Aku menggeleng.

“Saya mencari Pak Prasetyo Wijadmiko. Saya istrinya.”

“Pak Pras sedang keluar, Bu. Ini ‘kan, jam makan siang,” jelasnya padaku.

“Makanya saya kemari. Kalau jam kantor ‘kan, ga boleh, Pak.”

“Ibu telepon Bapak aja, biar cepat pulang.”

“Lupa, saya gak bawa handphone, Pak.”

“Mari saya antarkan ke ruangan Bapak.”

“Oh, gak usah. Saya mau nunggu di sini aja. Kalau di ruangan Bapak, nanti saya sendiri. Bosen. Kalau di sini ‘kan, bisa lihat-lihat.”

“Baiklah, Ibu silakan duduk di sini,” ucap satpam itu sambil mempersilakanku duduk.

Aku duduk di kursi tamu dekat pintu masuk. Kulihat di bagian teller ada dua orang yang tidak ada dengan tanda sedang istirahat di mejanya. Dan dua orang lagi masih melayani nasabah.

Setengah jam aku menunggu, tapi Mas Pras belum datang juga. Lelah menunggu sejak tadi sehingga aku berpikir untuk pulang saja, khawatir Alya yang sedang aku titipkan di rumah Ibu Mertua mencariku. Lagi pula Mas Pras pasti sudah makan di luar.

Baru saja aku hendak beranjak dari kursi, kulihat mobil Mas Pras masuk parkiran. Mas Pras keluar dari mobil, tapi tidak sendiri. Dia bersama seorang wanita cantik. Tubuhnya tinggi semampai khas pegawai bank. Dia juga ramping tapi berisi. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Dari jauh senyumnya terlihat manis sekali.

Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor sambil mengobrol akrab. Saking asyiknya mereka, sampai-sampai tidak mengetahui kalau aku mengikuti di belakangnya.

“Menurutku, sambalnya kurang pedes, deh,” wanita itu beceloteh riang.

“Ih, kayak gitu kurang pedes? Bibirku aja rasanya jontor karena kepedesan,” ucap Mas Pras menimpali.

“Jangan makan pedes-pedes, Mas. Nanti asam lambungnya naik, lho,” sengaja aku menyela pembicaraan mereka.

Mas Pras dan wanita itu menoleh serempak ke arahku. Mas Pras tampak begitu terkejut, berbeda dengan ekspresi wanita cantik di sebelahnya yang tampak bertanya-tanya. Aku melangkah dengan santai dan tak lupa menyunggingkan senyum manis di bibirku.

“Ratih. Kamu…?” Mas Pras bertanya, masih dengan ekspresi kaget.

“Ih… awas! Minggir-minggir.” Aku melangkah ke arah mereka, dan berdiri tepat di tengah-tengah.

“Sanaan dikit!” karena merasa sempit aku meminta Mas untuk bergeser ke belakang agar aku bisa leluasa berbicara dengan wanita itu.

“Kenalin, Ratih. Istri sah Pak Prasetyo.” Aku mengulurkan tangan pada wanita itu dengan penuh percaya diri, tak lupa juga dengan senyum manis yang kubuat sedemikian rupa agar terkesan sinis.

Ragu-ragu dia menyambut uluran tanganku. “Apriliya Pratidina,” ucapnya terbata.

“Udah tahu. Tuh, di tanda pengenal sudah tertera. Maksudnya, nama panggilannya siapa?” tanyaku.

“Lily,” jawabnya pendek.

Deg! Wanita ini yang bernama Lily. Akhirnya aku bertemu dengannya.

Kuakui Lily memang wanita yang sempurna. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, matanya bulat dengan bulu mata yang lentik, alisnya melengkung indah seperti ulat bulu. Pantas saja Mas Pras tertarik padanya.

Sekilas menurutku dia mirip dengan Mas Pras. Banyak orang yang bilang, kalau sepasang kekasih wajahnya mirip, itu tandanya mereka berjodoh. Apa iya dia berjodoh dengan suamiku? Lalu aku apanya?

“Ratih… Ratih,” Mas Pras menyadarkanku dari lamunan.

Ternyata tanpa sadar aku meremas tangan Lily terlalu kuat sehingga dia meringis kesakitan. Aku terkekeh kemudian melepaskan tangannya.

“Santai aja,” ucapku pada Mas Pras sambil mengedipkan mata.

“Maaf, saya permisi,” pamit Lily sambil berlalu dengan wajah yang cemberut.

“Cemberut aja masih cantik,” aku membatin.

Aku menyusul dan menjajari langkahnya, kemudian menghadang jalannya. “Eh… kok buru-buru, sih. Padahal saya mau mengucapkan terima kasih, lho, udah mau menemani suami saya ngobrol tiap malam sampai larut,” ucapku dengan nada bicara sok akrab dan wajah tulus yang kubuat-buat.

“Maaf, saya buru-buru.” Dia pergi dan kali ini aku tak mencegahnya.

“Apa-apaan sih kamu?” Mas Pras menghampiriku.

“Cuma bilang terima kasih aja. Salah?” tanyaku dengan nada tak berdosa.

“Kamu gila, Ratih,” ucapanya setengah berbisik. Aku tahu ada kemarahan yang tertahan, terselip dalam kata-kata itu.

“Oh, ya? Untung aku masih sabar, kalau enggak, sudah aku bunuh kalian berdua,” ucapku dengan nada mengancam dan sorot mata yang tajam. Mas Pras bergidik. Aku terkekeh melihatnya.

By the way… cantik,” ucapku sambil berlalu meninggalkan Mas Pras yang masih berdiri mematung di koridor.

Aku memberikan makanan yang aku bawa dari rumah kepada Pak Satpam. Panas udara siang ini tak sepanas suasana hatiku. Di balik helm yang aku kenakan air mata ini mengalir tanpa bisa kutahan. Karena tidak konsentrasi menyetir, tiba-tiba ….

Braaak!!!

Aku merasa tubuhku terhempas. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku tak sanggup menggerakkan badanku. Mataku juga terasa berat dan semuanya terlihat gelap.

(Bersambung)

Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita