Sepasang Mata yang Memenjarakan

Sepasang Mata yang Memenjarakan

Sepasang Mata yang Memenjarakan
Oleh: Dhilaziya

Tujuanku berkata bahwa aku hendak duduk di kursi teras adalah memberi kesempatan kepada mereka bicara. Sepasang orangtua menjelang renta dengan putri sulungnya. Telah hampir dua tahun mereka berpisah. Sang anak merantau di ibukota, menjadi tukang cuci piring di sebuah warung makan. Tahun ini si anak tak bisa mudik karena corona, sedang tahun sebelumnya juga tak bisa menengok kampung halaman karena uang yang terkumpul habis untuk biaya sunatan keponakan.

Maka aku tertegun ketika Mbah Salamah, perempuan yang masih amat ayu di usianya yang menjelang tujuh puluh itu malah menyusulku duduk di bangku panjang emperan rumahnya. Lalu dia sibuk bertanya soal ibu, saudara-saudaraku, keponakanku, juga perihal ayam dan keadaan sawah.  Mengajakku bicara tentang hama wereng yang merajalela musim kemarin, hingga nyaris tak ada yang bisa dibawa pulang oleh petani, juga masalah harga pupuk dan mekanisme pembeliannya yang membuat petani kerepotan.

Tentu saja aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan ramah. Mbah Salamah menyenangkan diajak berbincang. Matanya berbinar-binar, berkedip-kedip seolah meningkahi turun naik nada bicaranya. Bibirnya tak henti tersenyum, sesekali tertawa menanggapi percakapan kami. Tawanya lembut, sehalus sentuhan tangannya padaku.

Sementara di dalam sana, aku mendengar percakapan dalam gumam-guman rendah antara ayah dan putri sulungnya. Perlahan lalu tak terdengar apa-apa dari ruang tamu yang kutinggalkan beberapa waktu lalu. Kemudian ujung mataku menangkap bayangan Soimah, sang anak yang entah sejak kapan sudah berdiri menyandarkan tubuhnya di tembok, dekat dengan ibunya yang duduk di ujung bangku.

Aku merenggangkan posisiku yang sebelumnya amat dekat dengan Mbak Salamah. Memberi ruang kosong di antara kami agar Soimah dapat menyempil berdekatan dengan ibunya. Agak heran ketika Soimah melangkah ragu mengikuti isyaratku, senyumnya gugup dan enggan. Kedua tangannya saling meremas.

Bengongku kian menjadi ketika belum sempurna bokong Soimah duduk, Mbah Salamah justru bangkit sambil berkata dia hendak menyeduh teh untuk kami.

“Jangan terlalu manis, atau lebih baik tawar saja untukku, Mbah. Aku merasa lidahku penuh lendir jika minum yang terlampau manis.”

Mbah Salamah tertawa sambil berlalu. Tanpa sapa kepada anaknya, tanpa sentuhan juga. Entahlah. Aku merasa ini aneh. Seorang ibu dan putri sulungnya, telah lama tak bersua, tidakkah dia ingin memeluk anaknya? Bertanya apakah dia baik-baik saja? Apakah dia cukup makan mengingat Soimah bercerita telah empat bulan tak bekerja. Warung makan tempatnya bekerja gulung tikar. Tidakkah dia rindu pada anak perempuannya? Tidakkah ingin memeluk dan membelainya? Tidakkah …?

Sementara duduk bersebelahan dengan Soimah, kepalaku tak berhenti melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak juga berjawab. Pun tak berani berpraduga.

***

Kepada ibukulah akhirnya seluruh keingintahuanku tertumpah. Beliau menyimak lantas menarikku agar duduk di sebelahnya. Aku kira ibuku melakukan itu agar Soimah tak mendengar percakapan kami. Bagaimana pun juga tentu amat tak nyaman baginya jika tahu dirinya menjadi topik perbincangan yang tak mengenakkan.

Soimah sudah sebulan tinggal bersama kami. Setelah tak punya uang lagi untuk menyewa kontrakan dan nyaris habis barang untuk dijual sebagai penukar makanan. Soimah bilang tak punya tempat lain sebagai tujuan menumpang, meski orangtua dan adiknya hidup lumayan senang. Sedang dengan ibu, Soimah terhitung kemenakan dari saudara sepupu berbeda kakek maupun nenek, karena kebiasaan mudahnya bercerai dan beristri banyak pada jaman dulu.

Tadi aku disuruh ibu mengantar Soimah berkunjung ke rumah orangtuanya, sebab tak pantas jika dia belum juga bersambang. Demikian kata ibu. Awalnya Soimah enggan datang, merasa tak diundang meski keluarganya tahu dia tinggal di rumah kami. Tapi ibu memaksa, “jadiah anak yang berbakti,” begitu kata ibu. Soimah tak bisa lagi membangkang, terlebih melihat ibu menyiapkan aneka penganan sebagai buah tangan. Sekarang saatnya aku tahu, alasan Soimah merasa sebagai anak yang dibuang.

“Dulu Mbah Salamah kan dipaksa menikah. Dia masih pingin sekolah. Namanya anak perempuan pada masa itu, jadi ya begitulah. Lagipula waktu itu suaminya kaya raya.”

“Terus, hubungannya dengan ga suka sama Soimah itu apa? Anaknya sendiri kan?”

“Justru karena itu. Hamil dan melahirkan Soimah terasa sangat menyebalkan bagi Salamah. Dia merasa Soimah membuat keinginannya bercerai tak bisa diteruskan. Apalagi setelah suaminya kalah judi dan mereka jatuh miskin. Kebenciannya kepada Soimah makin menjadi.”

“Itu juga yang membuat Soimah tak boleh sekolah? Ibu pernah cerita kalo aku tak salah ingat.”

“Iya. Dia disuruh bekerja dan seluruh hasil keringatnya diminta Salamah. Kamu tahu apa yang paling dibenci Salamah dari Soimah?”

Aku menggeleng. Ingin kutebak karena Soimah tidak cantik, karena Soimah bodoh, atau karena Soimah gagap tiap kali bicara. Tapi aku memilih diam dan menunggu.

“Matanya. Salamah membenci mata Soimah.”

“Matanya cantik.”

“Justru karena itu. Salamah pernah berniat menceburkan Soimah ke dalam sumur, tapi saat dia melihat mata anaknya, dia urung.”(*)

DZ. 09102020

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply