Pulang Sejenak (Cermin Terbaik Ke-3 LCL)

Pulang Sejenak (Cermin Terbaik Ke-3 LCL)

Pulang Sejenak 

Oleh: Saira Shanin

Terbaik ke-3 pada Lomba Cermin Lokit

 

Sewaktu kecil, saya dididik untuk tetap diam tatkala orang tua berbicara dan menyahut ketika dipinta belaka. Sebab, konon ucapan orang tua setingkat di bawah firman Tuhan. Maka, mahabenar mereka dengan rotan yang siap memecut tiap anak yang membangkang.

Hal itu berlangsung hingga kini. Nyaris dua jam sudah, saya duduk mendengarkan ocehan Mbah Sarmijan tanpa menyela sedikit pun. Meski sebetulnya saya ingin sekali menginterupsi. Akan tetapi—seperti ketika belia pula, saya diam belaka. Kendati Mbah Sarmijan tak menggenggam rotan juga sama sekali bukan mbah saya.

Saya mengenal Mbah Sarmijan dua tahun silam tatkala saya pindah kost-an. Beliau adalah tukang becak yang membantu saya mengangkut barang dari kost lama ke kost baru yang kebetulan ia tempati juga. Ia pernah menyebutkan usianya sekitar lima puluh tahun, tetapi sinar matahari yang menyengat kulitnya sepanjang waktu membuat Mbah Sarmijan terlihat lebih tua.

Matanya yang kuyu kini menerawang ke segumpal awan di langit, menjeda sejenak kegusaran yang tadi ia tumpahkan ke telinga saya. Entah apa yang dipikirkannya. Barangkali tentang anak-istrinya di kampung yang kemungkinan tak dapat ia temui lebaran nanti sebab kebijakan pemerintah yang melarang rakyatnya mudik.

Ketika saya akhirnya ikut-ikutan memandangi langit, suara serak Mbah Sarmijan kembali mengisi udara di teras kost-an siang itu. “Pemerentah pikir kita goblok, mau menakut-nakuti dengan virus karangan.”

Ini bukan kali pertama Mbah Sarmijan berpikir bahwa situasi yang tengah melanda seluruh penjuru bumi saat ini adalah rekayasa “kaum atas” belaka. Seperti lalu-lalu, saya hendak menyela. Namun selayak yang lalu-lalu pula, saya lagi-lagi dengan lekas menelan kembali kalimat yang nyaris saya ucapkan.

Saya kemudian teringat kalimat bijak dari seorang filsuf yang tak lagi saya ingat namanya, bahwa semua pendapat adalah benar; hanya tergantung dari perspektif mana kita memandang. Kenyataan saya tak mampu mengingat nama sang filsuf juga sekonyong-konyong membikin saya menginsyafi betapa saya tidak lebih banyak tahu ketimbang orang lain, dan betapa congkaknya saya tadi sebab merasa lebih paham dibanding Mbah Sarmijan.

“Tahun lalu dilarang pulang kampung. Yo wis, saya ngikut anjuran pemerentah. Tapi tahun ini dilarang lagi, saya ndak peduli,” gerutu Mbah Sarmijan.

“Tapi kalo nekat mudik bisa didenda loh, Mbah.”

“Pulang kampung didenda, ngumpul-ngumpul pas nikahan artis malah ikut ngumpul. Pemerentah edan!” Mbah Sarmijan mendengkus kasar.

Sekali lagi, saya diam saja. Namun kali ini, saya memang tak tahu mesti merespons seperti apa. Mbah Sarmijan, saya pikir—seperti halnya orang kebanyakan, menilai sesuatu berdasarkan apa yang disuguhkan di hadapan mereka. Saya bisa saja berseru bahwa pandemi saat ini bukan rekaan seperti yang banyak dituduhkan orang. Namun bagaimana mereka akan percaya, jika mereka justru menyaksikan hal-hal yang membuat fakta ini semakin buram.

“Memangnya kamu ndak mau mudik. Betah puasa sendirian?” tanya Mbah Sarmijan.

Saya menoleh, memandang sekilas wajah dengan kulit legam dan keriput Mbah Sarmijan, sebelum mengendikkan bahu. “Entah, Mbah. Belum kepikiran.”

Perihal pulang kampung memang belum saya pikirkan betul, kendati ramadan tersisa sepuluh hari lagi. Jika ditanya apakah betah melewatkan ramadan seorang diri, saya pun sama tak yakinnya. Jauh sebelum pandemi menghantam bumi, saya sudah terlebih dahulu tak pernah menginjakkan kaki di kampung halaman. Kesendirian saya bukan lagi perihal ramadan semata. Akan tetapi, juga pada hari lain. Dan kesendirian ini barangkali telah membuat saya kebal sehingga saya tak lagi pusing memikirkannya atau meratap atasnya.

“Orang tuamu pasti rindu, Bay,” ujar Mbah Sarmijan memandangi saya yang termangu untuk beberapa saat.

Sekilas bayangan Bapak di beranda rumah mengacungkan tinju tebersit dalam benak, juga suaranya yang menggelegar berteriak tak pernah ingin melihat wajah saya lagi. Kilasan berganti pada sosok Ibu yang merosot di lantai, menangis memeluk kaki Bapak; memohon agar putranya tak diusir dari rumah.

“Saya nggak yakin, Mbah.” Hanya itu yang bisa saya ucapkan.

Namun Mbah Sarmijan tersenyum, seakan-akan paham gejolak batin yang saya rasakan.

“Kamu ndak bakalan tau sampai mencoba, Le,” sahut Mbah Sarmijan sebelum bangkit tatkala azan Asar berkumandang.

***

Malam selepas salat Tarawih, saya duduk di teras kost-an. Sendirian. Saya tidak tahu Mbah Sarmijan ke mana. Cuaca panas sekali malam ini, barangkali Mbah Sarmijan keluar cari angin.

Saya melepas kopiah, menjadikannya kipas yang tidak berguna sebab tetap saja saya merasa gerah. Saya teringat malam di kampung yang dingin. Saya teringat dua cangkir kopi di beranda yang mengebulkan uap keperakan. Saya teringat Bapak yang duduk bercengkerama bersama saya di sana. Saya terkenang Ibu yang membawa camilan sebelum bergabung bersama kami.

Sekonyong-konyong dada saya sesak, diikuti sebersit hangat yang merambati mata saya hingga akhirnya basah. Saya mengusap wajah, terisak, seolah-olah anak kecil yang kehilangan mainan.

Tak berselang lama, saya meraih ponsel dan menekan deretan angka, lantas menempelkannya ke telinga. Ketika akhirnya terhubung, saya mendengar suara berat di ujung telepon. Saya mengambil napas panjang sebelum berujar, “Ini Bayu, Pak.”

Ada keheningan panjang yang terasa lama sebelum dipecahkan oleh suara tangis. Mata saya kembali basah, sayup-sayup suara berat tadi berujar di sela isaknya, “Pulanglah, Nak. Bapak dan Ibu rindu.”(*)

Bumi, 01 Mei 2021

Saira Shanin, gemar membaca sejak kecil dan memulai hobi menulisnya sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Baginya, menulis adalah caranya dalam menjaga pikiran tetap waras dan sebagai sarana pengekspresian diri kepada dunia.

Komentar juri:

Apa yang terjadi saat dua kepala beda generasi dan pandangan terhadap pandemi bertukar pikiran tentang sebuah kerinduan? Rindu pulang, rindu berlebaran, setelah sebulan berpuasa sendirian. Adalah hal yang menarik untuk membuat percakapan tetap bisa dinikmati meski kedua tokoh tidak satu pendapat. Penulis berhasil melakukannya. Tentu ada alasan dan waktu untuk diam mendengarkan, sebab di sanalah letak sebuah pencerahan.

—Dyah—

Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply