Perbedaan Sudut Pandang

Perbedaan Sudut Pandang

Perbedaan Sudut Pandang

Oleh : Alena Winker

 

Teriakan Bunda pagi ini membuatku terpaksa bangun. Padahal, aku baru saja tertidur sejam yang lalu. Di ruang makan semua telah berkumpul, ada Ayah sebagai kepala keluarga di tengah, di sisi kanan ada Bunda dan Mbak Adhel, kakak iparku. Sementara di sisi kiri ada aku dan Ayu, istriku. Menu sarapan kali ini adalah roti, beraneka ragam selai dan telur goreng telah tersedia di atas meja tak lupa sepoci jus bayam jeruk.

Seperti biasa, jika aku terlambat bangun Bunda akan memberikan ceramah yang aku sudah hapal isinya. Ceramah tentang bagaimana seorang suami harus bertanggung jawab terhadap istrinya, baik secara batin maupun lahiriah.

Ayah sudah memberikan kode agar Bunda berhenti. Mungkin Ayah juga sudah bosan mendengar hal yang intinya selalu sama. Namun, sayangnya Bunda tak mengerti kode yang diberikan Ayah, beliau malah mengucapkan sesuatu yang membuatku terpancing emosi. Bunda menyinggung masalah bapakku yang menjadi pasien di rumah sakit Sumber Waras, sebuah rumah sakit yang khusus menangani masalah kejiwaan. Menurut Bunda, Bapak menjadi pasien itu karena terlalu banyak berimajinasi dalam menulis karyanya.

Aku memukul meja makan, seketika Bunda berhenti berceramah, yang lainnya pun tampak kaget. Mukaku merasakan panas, tanganku terkepal, mencoba meredam amarah yang sudah memuncak. Napasku tak beraturan, dadaku sesak. Semua menatapku, saat kuembuskan napas dengan kasar. Dan untuk pertama kalinya setelah pernikahanku dengan Ayu, aku membentak Bunda.

“Cukup, Bunda! Bunda boleh menghinaku, tapi jangan menghina bapakku! Aku memang belum bisa membahagiakan Ayu secara materi, tapi bukan berarti Bunda terus menerus menghinaku. Selama ini aku juga berusaha mencari uang dari hasil menulis!” ungkapku dengan penuh kekesalan. 

Aku berlalu dari ruang makan menuju taman untuk menenangkan diriku.  Aku tak mengerti apa sebenarnya yang membuat Bunda selalu merendahkan pekerjaanku. Memangnya salah, jika aku bekerja sebagai seorang penulis? Memang pendapatannya tidak sekonsisten mereka yang bekerja sebagai karyawan swasta. Namun bukan berarti itu semua tidak dapat menjamin kehidupan. Semua sudah digariskan oleh Tuhan, bukan? Bahkan sebelum kita menjalani kehidupan ini. Apa karena aku yang berasal dari keluarga yang berekonomi kurang sehingga dapat diremehkan oleh Bunda yang berekonomi lebih? Sudah kuputuskan aku akan membawa Ayu keluar dari rumah ini secepatnya.

Sore itu aku menemui Ayah di teras belakang. Sudah menjadi rutinitas Ayah menikmati senja sambil menikmati secangkir kopi khas Gayo di teras belakang setiap sore. Aku menceritakan niatku untuk pindah dari rumah ini, karena aku sudah tidak tahan lagi dengan Bunda yang sering mencampuri hubunganku dengan Ayu. Ayah tersenyum mendengarnya, lalu menyeruput kopinya dan membuang napas panjang.

Ayah memandangku agak lama, hingga akhirnya dia menceritakan sebuah rahasia yang membuatku sedikit terkejut. Menurut Ayah, semasa mudanya Bunda merupakan penulis yang cukup terkenal. Aku sedikit bertanya-tanya, kalau begitu mengapa Bunda seperti tidak menyukai pekerjaan penulis padahal dulu dia seorang penulis? Seolah tahu apa yang aku pikirkan, Ayah melanjutkan ceritanya. Dulu Bunda, Bapak, dan seorang kawan mereka sering kali menerbitkan buku antologi hasil karya mereka, bahkan hubungan mereka sudah seperti saudara.  Beberapa waktu kemudian Bunda mengalami keberuntungan, ia memenangkan perlombaan menulis dan karyanya diterbitkan.

Perlahan-lahan karier Bunda mulai naik. Nama Bunda semakin terkenal dan memiliki banyak penggemar. Namun, seperti pepatah semakin tinggi sebuah pohon semakin tinggi angin yang menerpanya, demikian juga dengan Bunda.

Seminggu sebelum Bunda menerbitkan buku solo terbarunya, sebuah buku dengan judul dan cerita yang sama persis dengan nama penulis yaitu nama sahabat Bunda. Bunda dituduh sebagai pelaku plagiarisme. Padahal justru sahabat Bundalah yang memplagiat karya Bunda. Buruknya lagi banyak penggemar Bunda yang percaya akan hal tersebut. Oleh sebab itu Bunda kecewa lalu memutuskan untuk berhenti menulis sejak kejadian itu. Plagiarisme juga dilakukan kepada karya Bapak sehingga mengakibatkan Bapak stres dan berujung menjadi pasien rumah sakit jiwa. Bunda sebenarnya bertujuan baik kepadaku hanya saja caranya menyampaikan hal tersebut salah. Bunda takut aku mengalami hal yang sama seperti Bunda dan Bapak. Dan dari cerita Ayah, Bunda itu selalu membeli semua karyaku begitu terbit. Semua buku hasil karyaku dia sembunyikan di lemari khusus. Aku menjadi terharu dan merasa tidak enak karena telah membentak Bunda tadi pagi. Setelah ini aku akan meminta maaf kepada Bunda. (*)

Bandung, Juli 2021

 

Alena Winker merupakan nama pena dari gadis kelahiran kota Kembang ini, ia sedang mencoba meningkatkan selera bacanya agar dapat menulis dengan lebih baik dan benar kedepannya. Ia tidak menyukai makanan yang terlalu keras dan terlalu lembek ataupun makanan yang memiliki bau menyengat. Ia pernah menulis untuk beberapa antologi.

Editor : Nuke Soeprijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply