Napas yang Tergadai 

Napas yang Tergadai 

Napas yang Tergadai
Oleh: Erlyna

Ini detik kesekian kamu menangisi kebahagiaan. Ini hari kesekian kamu menertawakan kesedihan. Akan tetapi, inilah pertama kalinya kamu merasakan kehidupan. Kehidupan normal, seperti yang selama ini kamu impikan di bawah bayang-bayang bulan, sepanjang aroma tajam selokan. Bernapas dengan layak, tertawa dengan benar, bicara tanpa harus lebih dulu mengeluarkan darah. Nikmatilah! Perlahan-lahan kamu akan tahu, rasanya menjadi manusia sesungguhnya, meski untuk terakhir kali.

* * *

Bekas-bekas luka di tubuhmu itu, bukan sekali dua kali bercerita. Mereka terasa menusuk tiap kali kamu merabanya. Seolah-olah, menghujani kepalamu dengan kenangan-kenangan menyesakkan sepanjang napas tersisa. Masa kecil yang diselimuti aroma busuk. Berkelindan dengan belatung-belatung kelaparan, tertawa di antara remahan roti berjamur, bertahan di tengah panas matahari yang mencium ubun-ubun. Masa kecil yang akan selalu kamu ingat dengan penuh kebahagiaan. Bagimu, bisa bertahan hingga hari esok adalah sebuah keajaiban.

Jika malam menyapa, kamu dan kawan-kawan bertubuh kurus kehitaman lainnya, akan berkerumun di sekitar api unggun, tidak ubahnya laron-laron yang mencumbu cahaya lilin di kegelapan. Penuh gairah untuk sekadar berbagi cerita, tawa, air mata dan doa. Tidak ada kesedihan di sana. Kamu dan penghuni Kampung Ki Semar yang lain, saling menguatkan dengan berbagi napas-napas berselimut asa.

“Buaya! Ada buaya!”

Suatu malam, di awal April yang dingin dan diselimuti ribuan nyamuk, Kampung Ki Semar dibuat geger oleh teriakan seorang pemuda. Kamu yang saat itu sedang duduk sambil memegang pensil peninggalan Bapak, tersadar dari lamunan. Raut wajah hitammu berubah kacau, terlebih lagi saat teriakan penghuni kampung semakin memekakkan telinga.

“Awas! Buayanya menuju selatan, mendekati palang pembatas!”

Seruan itu semakin meyakinkan dirimu, bahwa hewan bergigi tajam dengan muka buruk rupa itu sedang mendekat ke arah gubukmu berada. Tanpa menunggu lama, kamu dengan sigap berlari menuju gubuk yang berjarak seratus meter dari tempatmu melamun.

Terlambat!

Binatang sialan itu, sudah terlanjur membuka mulutnya lebar-lebar, bersiap menelan ibu dan Ara, adik kecilmu yang berusia 1 tahun.

“Pergi!”

Seperti tidak punya waktu untuk berpikir, kamu memukulkan tubuh dari sisi kiri. Buaya itu menutup mulutnya. Namun, sebagai gantinya kini pandangan hewan predator itu terfokus ke arahmu.

“Bagus. Lihat aku, kadal besar sialan!”

Buaya itu kembali membuka mulutnya. Kamu yang sudah memastikan bahwa ibu dan adik kesayanganmu berlari menjauh, kembali menatap tajam ke arah depan. Menantang hewan yang berani-beraninya mengganggu acara lamunan yang sakral.

“Mati kau!”

Kamu kembali menjatuhkan tubuh ke wajah buaya, hewan itu mengerang sesaat, membuat keadaan gubuk hancur berantakan. Dengan keberanian yang dikumpulkan susah payah, kamu menghajar hewan itu dengan apa saja yang bisa diraih. Di sebuah kesempatan, kamu menyadari adanya peluang besar. Tanpa ragu kamu menyerang dari depan, dan tepat! Golok tajam yang sejak tadi disiapkan, kini menancap dengan sempurna di perut buaya itu.

Namun kenyataannya, masa-masa kemenangan hanya berlangsung sekian detik. Detik berikutnya, buaya yang murka kembali membuka mulut dan melahap sepasang kaki yang berdiri angkuh di sampingnya. Sepasang kaki berharga milikmu.

“Arghhh!”

Jeritan panjang itu tak terelakan. Seluruh kampung membisu, pikiran mereka seperti terbang tidak bisa dijangkau. Akan tetapi itu hanya sebentar, karena detik berikutnya puluhan penghuni kampung bergerak di luar kendali. Tanpa komando, mereka menyerbu buaya keparat itu dengan ganas. Tanpa ampun dan belas kasihan.

***

Beberapa tahun setelah kejadian malam nahas itu, untuk pertama kalinya kamu kembali bergelut di antara gunungan sampah yang hampir menyentuh langit. Kamu terlihat baik-baik saja. Bahkan sepasang tanganmu jauh lebih cekatan dibanding terakhir kali kamu menggunakannya untuk menghajar predator terkutuk itu.

Siang hari, kamu habiskan waktu untuk mencari kardus bekas dari rumah ke rumah. Ditemani matahari yang menjilat-jilat aspal berlubang di balik kaus lusuhmu. Sambil menahan perih karena kulit perut mengelupas dan payudara yang tak ubahnya papan penggilas, kamu tetap bertahan menyeret tubuh berhargamu dengan penuh semangat.

“Oi! Berhenti kau, Maling!”

Di depan sebuah rumah mewah, seorang pemuda menatapmu yang sedang mengangkat kardus dari tempat sampah, dengan pandangan seolah-olah ingin mengeluarkan bola matanya. Kamu yang tidak tahu apa-apa hanya menatap bodoh.

“Ikut saya ke kantor polisi! Kau mencuri laptopku, sialan!”

Wajahmu seketika panik. Teringat akan perut-perut yang harus kamu isi bagaimanapun caranya. Kamu bersujud di atas aspal yang mengilat. Membenamkan dahi sedalam yang kamu bisa. Memohon ampun atas masalah yang belum juga kamu mengerti.

“Kardus ini, kardus berisi laptop. Dari mana kamu mendapatkannya? Bagaimana orang cacat sepertimu bisa mencurinya?”

Kamu menggeleng cepat. Menjelaskan dengan bahasa sesopan mungkin bahwa kamu sama sekali tidak tahu menahu perihal laptop di dalam kardus tersebut.

“Bohong! Jika ada maling yang mengaku, penjara sudah penuh. Pergi kau!”

Kamu terpaksa berbalik arah dengan dada membara. Bukan karena terlalu lama bergesekan dengan aspal, tapi karena harga diri yang diinjak-injak layaknya sampah. Sambil mengelus dada berkali-kali, kamu kembali mendatangi tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Sesekali, raut wajahmu terlihat melamun dan berpikir, barangkali kejadian ini sedikit banyak harus disyukuri. Masih untung laki-laki tadi tidak memperpanjang masalah dan membawamu ke kantor polisi. Padahal, kalau saja kamu sedikit berani, laki-laki yang tadi menginjak-injak harga dirimu itu bukanlah pemilik kardus itu.

Musim berganti begitu tergesa. Ini masih bulan Juni, tapi hujan tidak pernah berhenti mengguyur Kampung Ki Semar sejak tetes pertamanya di awal bulan. Genangan-genangan hitam itu, perlahan menyelimuti sebagian tanah yang susah payah kamu dan warga lain perjuangkan untuk sekadar dikatakan layak huni. Kini kampung tempatmu melangitkan harapan untuk kehidupan yang normal, tidak ubahnya sekumpulan jamban darurat yang terombang-ambing di lautan sampah. Gunungan berbau busuk yang setiap hari dikurangi dengan penuh perjuangan, kini kembali menggenangi gubuk-gubuk berisi manusia-manusia yang mengemis kehidupan.

Masih di tengah musim penghujan, suatu hari kamu berenang keluar dari kepungan sampah. Susah payah bertahan hidup demi bisa mencapai ujung palang pembatas yang bebas dari genangan berisi belatung dan cacing. Setelah membersihkan diri, kamu bergegas menuju ke kota, mencari pekerjaan lain yang barangkali bisa kamu dapatkan demi sesuap nasi yang begitu keluargamu butuhkan.

“Pergi kau pengemis! Badanmu busuk sekali. Sedang apa di depan toko?” Seorang lelaki paruh baya melotot sambil mengangkat gagang sapu ijuk berdebu, mengacung-acungkannya tepat di atas kepalamu.

“Hei! Apa yang kamu lakukan? Beras-beras yang berjatuhan ini bukan milikmu. Pergi sana! Jangan lagi datang di hadapanku!” Seorang wanita yang terlihat baik hati itu tampak memukul-mukulkan sapu lidi ke lantai, mengusir kamu dan sekawanan lalat yang mendekati sisa-sisa beras dan potongan kaki kepiting yang berserakan di lantai.

Tidak lama hujan turun dengan sangat deras. Untuk pertama kalinya, kamu menangis sambil membiarkan tetes-tetes hujan menyakiti wajah buruk rupamu. Ketabahan setebal baja yang kamu punya habis digerogoti ego-ego berkarat. Kamu yang begitu bersinar dengan kesabaran tidak terhingga, sedikit demi sedikit mulai menyalahkan keadaan. Kamu mengelus tubuh bagian bawah. Membelai sepasang kaki yang tidak lagi ada di sana. Sepasang kaki yang telah kamu korbankan demi nyawa orang lain itu pelan-pelan kamu kutuk dengan sumpah serapah.

“Hidup ini memang kejam, Nak. Tajam dan menyayat. Namun, dari situlah kamu akan menjadi kuat.” Seorang wanita tua dengan rambut acak-acakan tiba-tiba sudah duduk di sampingmu. Bersama-sama menikmati guyuran hujan tanpa basah sedikit pun. Entah sejak kapan wanita tua itu ada di sana.

“Jangan menyesali apa yang sudah tidak ada. Akan tetapi syukurilah apa-apa yang masih Tuhan sisakan untukmu. Gunakanlah sebaik mungkin.” Kamu terdiam cukup lama. Kata-kata wanita tua itu seperti menghipnosis pikiran tanpa ampun. Potongan-potongan kehidupan yang tadi raib, kini menghujani kepalamu tanpa bisa dicegah.

“Jika hanya sepasang kaki, kamu bisa mendapatkannya kembali dari dunia lain,” ucap wanita tua itu dengan suara serak.

“Du … dunia lain?” Kamu mengerutkan dahi, membiarkan otakmu melawan kedunguannya sendiri.

“Ha … ha … ha! Kamu tahu anak muda? Dunia lain itu ada di sini … di dada ini.”

Kamu menoleh sambil melotot. Namun, sosok wanita tua itu menghilang begitu saja. Berkali-kali kamu memukul kepala, mencoba menemukan kesadaran di antara halusinasi-halusinasi yang datang.

“Di sini …?” Kamu berganti memukul-mukulkan kepalan tangan ke dada yang penuh bekas goresan aspal. Entah berapa lama kamu melakukan hal konyol itu, memukul-mukul dada dan berharap keajaiban akan datang dari sana.

Menjelang malam kamu baru tersadar, saat sepasang tanganmu berhasil memindahkan sebuah dompet dari saku pemiliknya dan menyimpannya dengan hati-hati di balik senyummu. Keyakinan. Akhirnya kamu menemukan sebuah keyakinan kembali. Jika ingin memiliki sepasang kaki, kamu memutuskan untuk mempercayainya bahwa kaki itu ada di sana, di tempat seharusnya.

* * *

Ini detik kesekian kamu menertawakan kehidupan. Ini tahun kesekian kamu menangisi hilangnya kejujuran. Namun, di musim kesekian, akhirnya kamu bisa melihat aura kehidupan perlahan-lahan memancar dari gubuk yang kini tidak lagi bertuan. Kamu telah mengorbankan segalanya. Membiarkan apa-apa yang tersisa dan menukarnya atas nama keadilan.(*)

Purworejo, 02 April 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang jatuh cinta pada dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata