Mamak, oh Mamak (Cermin Favorit LCL)

Mamak, oh Mamak (Cermin Favorit LCL)

Mamak, oh Mamak

Oleh: Imas Hanifah N

Naskah Favorit pada Lomba Menulis Cermin Lokit

 

Sama seperti kebanyakan Mamak yang lain, Mamak kami juga memiliki sebuah kemampuan yang tak terbantahkan lagi. Kemampuan marah-marah. Ya, aku dan Abang sudah tahu betul kemampuan Mamak yang satu itu.

Sejak kecil, sampai aku sudah remaja seperti sekarang, dan Abang sudah kuliah juga, Mamak masih jadi orang nomor satu yang suka marah-marah. Meskipun banyak kelebihan lain, tapi kelebihan itulah yang paling menonjol.

Sebenarnya, marah-marahnya Mamak bukanlah tanpa alasan. Mamak sering marah kepada kami, karena tentu kami melakukan kesalahan. Misalnya: menaruh handuk basah di kasur, lupa mematikan keran air, membiarkan baju yang sedang dijemur kehujanan, dan masih banyak alasan kemarahan Mamak lainnya yang tak bisa disebutkan satu demi satu.

Datangnya bulan suci Ramadan, biasanya jadi angin segar bagi kami. Kadar kemarahan Mamak akan sedikit berkurang, meskipun tidak hilang sepenuhnya.

Biasanya, kalau Mamak sudah memunculkan tanda-tanda akan marah, Abang akan segera berbicara beberapa kalimat yang membuat marah Mamak tak jadi meletus.

“Di bulan Ramadan, setan diikat. Hawa nafsu mesti dikendalikan, begitulah kata Ustaz Romli. Betul, Dek?”

Aku mengacungkan jempol. Setelahnya, Mamak hanya mendengkus kesal dan kami pun tertawa tertahan. Takut kalau-kalau Mamak akan marah karena kami mentertawakannya.

Begitulah, hari demi hari di bulan Ramadan kadang-kadang terasa penuh kesejukan. Mamak tak terlalu sering marah-marah. Aku dan Abang cukup merasa senang.

Namun, itu tak lama. Bukan, bukan karena marahnya Mamak kembali seperti semula. Justru sebaliknya. Sejak ada telepon dari Kak Mayang, Mamak jadi pemurung dan kemarahan Mamak jadi tak bersisa sama sekali. Nol.

“Mayang tak bisa pulang. Nanti, pulangnya kalau setelah lebaran. Itu pun selang dua minggu atau tiga mingguan baru bisa pulang. Mamak, kan, tahu ini aturan pemerintah.”

Kalimat Kak Mayang tempo hari di telepon kembali kuingat. Abang juga tahu itu, tetapi ia berusaha bersikap biasa-biasa saja.

“Ini tak akan lama. Besok, Mamak pasti akan marah-marah lagi.”

Aku tidak yakin dengan kata-kata Abang.

“Abang yakin? Melihat Mamak lesu seperti itu, aku jadi sedih dan kangen dengan marahnya Mamak.”

“Ehm ….”

Sepertinya, kalimatku barusan menghancurkan keyakinan Abang yang tipis itu. Tidak akan mudah mengembalikan marah Mamak karena ketidakpulangan Kak Mayang lebaran kali ini.

Keesokan harinya juga sama. Masih tak ada tanda-tanda Mamak marah. Mamak mengerjakan segala sesuatunya seperti tak berselera. Aku pikir, lama-lama, kalau seperti ini terus, rumah kami akan jadi rumah hantu. Senyap dan memiliki aura yang sulit dijelaskan.

Sebagai dua anak laki-laki yang sulit mengucapkan kalimat-kalimat penghiburan di depan Mamak, kami bingung. Kecanggungan kami sulit dienyahkan. Aku dan Abang hanya bisa melakukan hal-hal seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal, hati kami tersayat setiap melihat wajah Mamak yang murung.

“Abang tidak tahan, Dek!”

Abang memukul meja, tetapi sejurus kemudian mengelus tangannya. Mungkin terlalu keras ia memukul meja itu.

“Mau bagaimana lagi? Mamak masih sedih. Ini karena pandemi, Kak Mayang gak bisa pulang.”

“Iya, tapi sampai kapan Mamak sedih?”

Aku menggeleng. Tidak tahu.

“Sudah, kita lakukan saja hal-hal yang memancing emosi Mamak.”

Aku berpikir. Itu bukan ide yang bagus, tapi bukan ide yang buruk juga.

“Baiklah.”

Jadilah semenjak itu, aku dan Abang berlomba-lomba membuat Mamak marah. Ini cukup menyenangkan. Seperti sedang kembali ke masa lalu, saat aku masih kecil dan dengan entengnya melakukan hal-hal jahil penuh keberanian.

Menaruh handuk basah di kasur, menyalakan keran air sampai bak mandi meluap, tidur di tumpukan baju yang baru selesai dilipat. Semua sudah dilakukan dengan penuh pertimbangan yang matang dan rapi. Sempurna, kalau kata Bang Demian.

Aku dan Abang harap-harap cemas menunggu reaksi Mamak. Semoga Mamak betul-betul marah setelah semua usaha yang telah kami lakukan.

Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit berlalu.

“Ucok! Banu! Kemari kalian!”

Ah, good. Missioncomplete.(*)

Tasikmalaya, 2021

Imas Hanifah N, bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun Facebook-nya: Imas Hanifah N atau akun Instagram @hani_hanifahn. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.

Komentar juri:

Membicarakan Mamak/Ibu, selalu menarik setidaknya bagi saya pribadi. Wanita yang sangat berharga bagi kita itu selalu identik dengan omelannya. Saya sendiri bahkan tipe yang akan berusaha keras sebisa mungkin menghindari omelan Mamak. Akan tetapi, cerita mini ini justru sebaliknya. Didasari sebuah latar kisah yang sendu karena gagalnya acara kumpul keluarga saat lebaran karena pandemi, sepasang kakak beradik ini justru berusaha keras memancing omelan yang sudah lama tidak keluar dari mulut Mamak. Ringan, santai, kocak dan sedikit satire.

—Erlyna—

Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply