Kotak Nomor 213

Kotak Nomor 213

Kotak Nomor 213

Oleh : Dewi Sartika

 

Albert Hamann tertatih menyusuri tangga. Tangannya terus berpegangan pada hand rail. Sepasang mata rentanya terpaku pada pintu yang sedikit terbuka. Desir angin membelai wajah yang mulai dipenuhi keriput. Ia terdiam sesaat. Hingga, tak sampai hitungan kesepuluh, Albert meneruskan langkah.  Sepasang kakinya yang memakai pantalon hitam mengilat terus bergerak menuju tepi atap gedung seolah ada magnet tak kasatmata yang menariknya. Kembali, ia mematung sembari memandang kerlap-kerlip lampu dari bangunan di sekitar.

Sesaat, jiwanya merasa sedikit tenang seiring semilir angin yang berembus. Ia memejamkan mata. Kini, Albert telah yakin dengan pilihannya. Pilihan yang ia percayai akan membuat lelaki itu tenang seusai bertahun-tahun dihantui perbuatan di masa lalunya, tak peduli telah berapa kali ia berusaha mencari pengampunan di dalam bilik pengakuan dosa.

Albert tersenyum kecil. Kakinya menaiki dinding pembatas. Pada hitungan ketiga, tubuhnya mulai melayang dan menjadi ringan. Sekarang, ia tidak perlu tersiksa dengan kesalahannya itu. Tak berselang lama tubuh itu jatuh tertelungkup dari bangunan berlantai 170.  Sebuah kamera pengawas di pojok gedung merekam detik-detk peristiwa itu.

***

Cedric menyesap kopinya yang tersisa seperempat cangkir sambil berdiri.  Pandangannya masih terpusat pada lukisan di dinding. Sosok Albert Hamann muda tampak berwibawa dengan setelan jas hitam, seolah-olah sedang menatap balik lelaki berusia tiga puluh tahun itu. 

Cedric menggeleng. Hampir satu jam lelaki itu berada di perpustakaan merangkap ruang kerja sang kakek. Sepasang mata hazel-nya lalu menyisir ruangan sebelum berakhir pada meja di hadapannya. Lembar kertas berserakan di meja. Dokumen-dokumen penting peninggalan Albert. Kini ia adalah ahli waris tunggal keluarga Hamann karena itu mau tak mau Cedric harus mengurus berbagai perjanjian kerja sama maupun usaha-usaha peninggalan Albert. Lelaki berambut kecokelatan itu menghampiri meja yang terbuat dari kayu mahoni itu. Tangannya meletakkan cangkir, bermaksud membereskan kekacauan yang ia buat beberapa saat lalu.

Pintu berderit memunculkan sesosok lelaki tua berkemeja abu-abu. Ia melempar senyum kepada Cedric yang memandangnya sebentar sebelum beralih ke meja. 

“Dua hari ini sepertinya Tuan Cedric bekerja keras.” Damien, nama lelaki itu, mengulurkan tangan meraih selembar kertas seusai berjalan menuju Cedric.

Cedric mengangguk kecil tanpa menoleh. “Kematian Kakek benar-benar membuatku harus bekerja keras, Damien. Apalagi setelah pembacaan surat wasiat kemarin. Bahkan, aku tak punya waktu untuk berkabung,” keluhnya dengan tatapan sayu.

“Apa yang dilakukan Tuan Rolland adalah wasiat kakekmu, mengertilah.”

Kembali Cedric mengangguk. Ia mengingat peristiwa kemarin saat Andre Rolland—pengacara Albert Hamann—mulai menjejalinya dengan dokumen-dokumen yang harus ia pelajari. Cedric menghela napas panjang. Kematian sang kakek akibat bunuh diri benar-benar menghempaskan jiwanya ke dasar palung. Lelaki yang mengepalai jaringan bank milik Albert di Amerika Serikat itu tertegun seusai menerima kabar meninggalnya sang kakek. Setelah itu, perlahan air mata mulai menggenangi pipinya.

“Aku permisi dulu, Tuan Cedric,” ucap pelayan kepercayaan Albert Hamann itu sesudah melihat Cedric hanya diam membisu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Belum sempat Damien mencapai ambang pintu, suara Cedric membuatnya berpaling. 

“Kemarin Tuan Rolland membacakan surat wasiat Kakek, bahwa ada satu rumah di pinggiran Paris dan sejumlah uang yang harus diberikan kepada Alain Scheid. Apa kau mengenal lelaki itu?” 

Seketika pertanyaan Cedric membuat dada Damien bergemuruh begitu mendengar nama itu disebut. Namun, dengan sikap yang coba ia buat setenang mungkin, Damien hanya membalas dengan seulas senyum lalu menggeleng. Seakan diburu waktu, ia langsung melanjutkan langkahnya keluar dari ruang kerja Albert Hamann. Meninggalkan Cedric yang masih membeku di tempat.

Dahi Cedric berkernyit. Dalam hati ia hanya menduga-duga jika Damien mengetahui tentang Alain Scheid dan menyembunyikan sesuatu. Hampir 35 tahun lelaki itu melayani Albert Hamann dan mengenal hampir semua teman Albert Hamann. Tak mungkin ia tak mengenal lelaki yang juga menjadi ahli waris dari kakeknya itu. ‘Alain Scheid pasti orang penting dalam hidup Kakek.’

Keingintahuan Cedric tentang lelaki misterius bernama Alain Scheid, membuat ia berupaya mencari tahu. Namun, tiga hari berlalu, dan usahanya berakhir tanpa hasil meski semua dokumen maupun catatan penting peninggalan sang kakek telah ia periksa. Bertanya langsung kepada Damien juga akan sia-sia karena ia mengenal betul pelayan itu. Sekali Albert Hamann menitahkan Damien untuk mengunci rapat bibirnya maka Damien akan melakukannya.

Disergap penasaran yang menyelimuti hatinya, Cedric memutuskan untuk menemui Andre Rolland. Pagi ini, ia mengendarai Renault melewati Champs Elysees. Sesekali matanya menoleh ketika toko-toko mewah yang berjejer sepanjang hampir dua kilometer itu ia lewati. Kini, di balik kaca kendaraan roda empat yang dikendarainya, mata Cedric menangkap Arc de Triomphe. Cedric mencoba mengingat kapan terakhir kalinya ia melihat monumen itu, berhubung tiap kali ia pulang ke kota ini ia lebih banyak berdiam di rumah. 

Mobil Cedric keluar dari area Champ Elysees. Siang ini, jalanan tak begitu macet sehingga tak sampai dua puluh menit ia telah sampai di tempat yang ia tuju. Saat membalikkan tubuh setelah keluar dari Renault. Kedua bola matanya tertuju pada bangunan di depannya. Bergegas Cedric memasuki gedung kemudian menaiki lift.

Begitu pintu lift terbuka, Cedric menjejakkan kaki di lantai 25 yang menjadi kantor firma hukum Andre Rolland. Setelah mengutarakan keperluannya, seorang perempuan berambut lurus sebahu memandunya menuju ruangan sang pengacara. 

Cedric mendaratkan tubuhnya pada sebuah kursi setelah Andre Rolland menyambut kedatangannya. 

“Apa kau membutuhkan sesuatu, Cedric?” Andre Rolland langsung bertanya. Lelaki itu tahu jika Cedric Hamann adalah orang yang tak suka basa-basi.

Cedric mengangguk. “Aku ingin tahu tentang Alain Scheid,” ucapnya sembari menatap lurus lawan bicaranya.

Andre Rolland tertawa kecil. Ia berdiri sambil menunjuk Cedric dengan telunjuknya, “Sudah kuduga kau pasti akan bertanta tentang hal ini. Tapi sayang, wasiat kakekmu tidak menuliskan jika aku diperintah untuk menjawab pertanyaanmu.” 

Raut muka Cedric perlahan mengeras. Jemarinya terkepal di atas sandaran tangan pada kursi. 

“Kakekku memang tak salah pilih orang. Namun, kali ini, aku benar-benar membutuhkan kerjasamamu, Tuan Rolland.”

Andre Rolland memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya menatap lekat Cedric. Hening sesaat hingga Cedric sengaja berdeham untuk memecah kesunyian. Pengacara itu menangkap keseriusan pada wajah Cedric. Helaan napas berat ia keluarkan. Ia kemudian meraih pena di saku kemeja lalu menulis di selembar kartu nama yang ada di meja.

“Alain Scheid tinggal di luar Kota Paris di sebuah panti jompo.” Andre Rolland memberitahu sambil menyerahkan kertas berisi alamat.

Merci …,” ujar Cedric.

Ia lalu bersigegas meninggalkan gedung kemudian memacu mobilnya keluar dari Kota Paris. Cedric mengurangi kecepatan kendaraan sebelum meminta izin kepada penjaga gerbang. Sebuah rumah tua yang masih terawat dengan halaman cukup luas ia  masuki. Cedric menghampiri tukang kebun yang sedang memangkas tanaman dekat pintu masuk. Tukang kebun itu lantas memanggil perawat yang kebetulan melewati mereka.

Cedric dan perawat itu saling berbicara. Tak berselang lama, mereka berdua berjalan beriringan menuju bagian belakang rumah. Setengah berbisik, perawat tersebut memberitahu mengenai orang yang hendak Cedric temui sebelum meninggalkannya.  Sekarang, di depannya ada lelaki tua yang duduk di kursi roda dengan menunduk.

“Monsieur Scheid.”

Lelaki tua itu mendongak. Dahinya yang berkeriput tampak mengerut disertai tatapan penuh tanda tanya.  “Siapa?” tanyanya dengan suara lirih.

Cedric yang berdiri di hadapan Alain Scheid berusaha menyembunyikan rasa kasihannya terhadap lelaki tua tersebut. Ia melempar senyum, “Saya Cedric Hamann.”

Mendengar jawabn Cedricic, raut muka Alain Scheid mendadak keruh. Gurat sinis muncul dari bibirnya diikuti senyum menyeringai. “Oh, jadi kau cucu kesayangan Albert?” timpalnya. 

Cedric terdiam. Ada gejolak yang ia rasakan sesudah lelaki tua itu berucap, semacam nada mengejek. Kemudian ia setengah jongkok menghadap Alain Scheid. Sejujurnya, melihat reaksi yang baru saja diperlihatkan lelaki tersebut membuat Cedric sedikit ragu. Namun, ia memutuskan untuk berbicara dengan Alain Scheid.

“Apa Tuan mengenal kakekku, Albert Hamann?” 

Kali ini, derai tawa langsung keluar dari mulut Alain Scheid. Memperlihatkan deretan giginya yang tak utuh lagi. Sumpah serapah pun ia keluarkan untuk Albert Hamann, membuat Cedric harus menahan amarah yang seketika membakar sekujur tubuhnya. Kembali, Alain Scheid tertawa mengejek, membuat Cedric memalingkan wajahnya kemudian menjauhi lelaki itu.

“Albert Hamann adalah iblis berwujud Sinterklas! Ia boleh saja menipu orang-orang dengan kebaikan yang terus dilakukannya tetapi bagiku ia tetap menjadi iblis. Lihatlah apa yang dilakukannya terhadapku! Ia melakukan ini semua karena ingin menguasai La Banque Nationale. Aku tak pernah melupakan wajahnya ketika ia datang kemari beberapa hari sebelum bunuh diri. Aku senang karena mimpi-mimpi buruk itu terus mendatanginya.” 

Alain Scheid terkekeh seusai mengatakannya. Sementara hati Cedric makin perih seperti luka yang ditaburi garam. Ia sama sekali tak paham masalah apa yang terjadi antara mereka berdua hingga Alain menyimpan bara terhadap kakeknya selama bertahun-tahun.  

“Tunggu!” 

Suara Alain Scheid menghentikan langkah Cedric saat ia hendak pergi tanpa pamit. Cedric memutar tubuhnya. Mereka saling berpandangan.

“Kotak simpanan nomor 213 di La Banque Nationale.”

Cedric lalu meneruskan langkahnya menuju mobil, bermaksud kembali ke rumah. Selama perjalanan, benaknya selalu terbayang ucapan Alain tentang kotak nomor 213. Matanya melirik sekilas Rolex yang dikenakannya. La Banque Nationale sudah tutup. Ia mempercepat laju kendaraan menuju kawasan Bougival.

Keesokan pagi, dengan tergesa-gesa Cedric menuju garasi. Tak dihiraukannya suara Damien yang memanggilnya berkali-kali. Semalam, ia tak bisa tidur memikirkan rahasia Kakeknya yang tersimpan di La Banque Nationale. Apa isi kotak itu?

Bayangan Albert menyeruak memenuhi pikiran Cedric. Kematian mantan bankir ternama Prancis itu menjadi berita utama pada sejumlah surat kabar di Paris. Misteri menyelimuti kematian lelaki yang bunuh diri dari atas gedung La Banque Nationale itu. Sosok sang kakek memang dikenal luas publik Prancis karena menjadi filantropi di dalam maupun luar negeri. Di sisa hidupnya, Albert memang gemar berderma. 

Cedric sengaja memarkir mobilnya agak jauh dari gedung bank. Ia mengulangi hal serupa yang pernah dilakukan Albert. Dulu, mereka berdua berjalan menyusuri trotoar untuk mencapai gedung yang dituju. Saat Cedric bertanya mengapa mereka tidak berhenti di area parkir bank, Albert menjawab jika ia sengaja melakukannya agar mereka bisa memiliki waktu bersama.

“Aku sibuk, Nak. Biarlah kebersamaan kita yang beberapa menit ini makin mendekatkan hubungan kita. Kakek harap kau tidak kecewa,” ujar Albert kepada Cedric yang masih berusia delapan tahun kala itu.

Sepasang mata Cedric hampir berkaca-kaca. Ia merogoh saku mantelnya, bermaksud mengambil kacamata hitam kemudian memakainya. Ia masih sulit menerima hal-hal buruk tentang sang kakek. Sepeninggal orang tuanya, Albertlah yang merawat Cedric. 

Begitu memasuki gedung La Banque Nationale, Cedric langsung disambut pria muda berambut klimis yang memandunya ke sebuah ruangan. Benjamin Petit—Direktur La Banque Nationale—telah menunggunya. Sesuai nama belakangnya yang berarti ‘kecil’, lelaki bertubuh pendek itu langsung bermuka masam saat Cedric mengutarakan keinginannya untuk membuka kotak simpana nomor 213. Terjadi ketegangan di antara mereka. Cedric memutuskan menggunakan kuasanya dengan mengancam posisi Benjamin sebagai direktur.

Cedric dan Benjamin berjalan ke tempat penyimpanan kotak deposit. 

“Berikan kuncinya kepadaku,” kata Cedric kepada Benjamin. 

Dengan terpaksa, Benjamin menyerahkan kunci kotak milik Albert Hamann kepada Cedric. “Dengar Tuan Hamann, saya tahu kau sekarang menjadi pemilik jaringan bank ini. Tindakanmu tadi dengan mengancamku sungguh tak dibenarkan. Aku berusaha menjaga reputasi bank ini sebaik mungkin. Kuharap ini terakhir kalinya kau melakukan tindakan seperti tadi,” ucap Benjamin sebelum menghilang dari hadapan Cedric.

Cedric tersenyum tipis. Ia menatap kotak bernomor 213. Jantungnya berdebur tak terkendali. Tangannya terulur memasukkan kunci kemudian menarik kotak tersebut. Kembali bibirnya tersungging mendapati benda yang ada di dalam kotak. Bukan barang berharga. Hanya selembar foto usang, buku dengan kertas yang menguning, dan … sebutir berlian. 

Kembali Cedric melepas senyum kecil karena hatinya terlalu berharap akan menemukan sesuatu yang mampu mengubah pandangannya terhadap Albert Hamann. Cedric mendesah panjang dan memutuskan untuk duduk di lantai, membaca beberapa lembar buku yang ternyata catatan harian kakeknya itu. Tanpa sadar Cedric telah membaca sekitar dua puluh lembar dan ia masih berniat untuk meneruskan bacaannya. Kali ini, ia tak dapat lagi menahan air mata yang mulai menggantung di pelupuk mata. Cedric meletakkan buku itu di lantai.

Tangan Cedric meraih foto yang berada di sampingnya. Ia mengamati dengan saksama empat lelaki yang ada di foto. Dua pria muda berseragam militer mengapit seorang lelaki tua dan muda yang memakai baju bermotif garis vertikal. Dua lelaki berseragam itu dengan mudah dikenali Cedric, Albert dan Alain. Sementara dua tahanan yang berada ditengah, ia tak mengenal mereka.

Cedric meletakkan kembali foto tersebut. Ia menangis terisak-isak dengan tubuh meringkuk mirip bayi dalam perut. Dunianya terasa runtuh. Albert Hamann yang selalu menjadi panutannya seketika berubah menjadi iblis di matanya. Dalam keheningan, suara isakan Cedric menggema memenuhi ruang penyimpanan.

***

Sirine meraung-raung memenuhi kamp konsentrasi di sebuah kota kecil berjarak dua ratus meter dari Berlin. Para tahanan berbaju motif garis yang tersisa berhamburan keluar. Mereka mengoyak pagar pembatas yang terbuat dari kawat berduri. Sementara para penjaga kamp setali tiga uang dengan tahanan, berusaha melarikan diri seusai pesawat-pesawat musuh menjatuhkan lembaran-lembaran berisi pengumuman jatuhnya Berlin ke tangan pasukan Sekutu.

Dua lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun masih berada di kamp konsentrasi, tepatnya di ruang tidur tahanan. Tangan mereka bergerak menyingkirkan barang-barang dari tempat tidur dan lemari.

“Cepat, Albert! Kita harus pergi secepatnya.”

“Tunggu, aku masih mencarinya!” 

Tangan Albert menjelajahi sebuah ranjang lalu beralih ke ranjang disampingnya. Matanya seketika berbinar saat melihat kantung kain hitam yang terselip di antara baju-baju yang telah bertebaran di lantai.

“Aku telah menemukannya, Al.” Tangan Albert memegang kantung itu dan menunjukkan kepada Alain.

Alain lekas mendekati Albert. Ia  tersenyum lebar dengan mata tak berkedip ketika melihat isi kantung itu. Berlian. “Kita akan kaya,” katanya kepada Albert dengan napas menderu.

“Sudah kubilang, si tua Abraham dan anaknya itu menyimpan berlian. Tak sengaja aku mendengar pembicaraan mereka hingga aku mengusulkan kepada kepala kamp ini untuk memasukkan nama mereka untuk eksekusi di kamar gas kemarin lusa.” Albert menepuk pundak sahabatnya itu.

Albert dan Alain segera keluar dari kamp. Bergerak ke selatan. Dengan napas terengah-engah, mereka berupaya meneruskan perjalanan menuju kota terdekat. Mereka sadar, sebelum mencapai Paris, kota impian mereka, perjalanan panjang telah menanti. Tak hanya itu, dua lelaki itu pun harus menyamar agar tidak tertangkap.

“Apa yang ingin kau lakukan setibanya di Paris, Albert?” tanya Alain ketika mereka beristirahat sejenak di dekat sungai.

“Impianku masih sama, aku ingin seperti keluarga Rothschilds, Al. Aku ingin mempunyai bank.”

Alain mengangguk pelan. Menyadari jika mimpi sahabat dekatnya ini tak pernah berubah. Ia berandai-andai jika saja perang tidak terjadi, bisa jadi Albert yang memang pintar ini sudah bekerja di salah satu bank milik keluarga Rothschilds.

“Tapi kau bukan orang Yahudi,” ejeknya diiringi senyum.

Albert tak marah. Ia justru mengeluarkan kantung hitam dari tas dan mengangkatnya, “Tapi aku mempunyai barang milik mereka.” Senyum menyeringai menghiasi wajah Albert. (*)

 

Dewi Sartika. Seorang ibu rumah tangga sekaligus penyuka hal-hal yang berhubungan dengan sejarah.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Gambar: https://pin.it/49BZTdb


Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply