Daki di Kaki Mbahti serta Cerita tentang Darah dan Luka

Daki di Kaki Mbahti serta Cerita tentang Darah dan Luka

Daki di Kaki Mbahti serta Cerita tentang Darah dan Luka  
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Rama suka membersihkan daki pada kaki Mbahti sebagaimana ia gemar mendengarkan cerita Mbahti. Keduanya adalah item yang tidak dapat dipisahkan dari sosok renta tersebut, bahkan setelah beliau tidak dapat lagi berbicara maupun berjalan lantaran stroke, Rama selalu menyempatkan diri untuk membersihkan kaki Mbahti sampai bersih, sampai wangi.

Ketika ditanya kenapa, Rama menjawab bahwa Mbahti telah melakukan perjalanan jauh hingga sampai pada titik ini. Perjalanan itu sama purbanya dengan cerita yang Rama dengar tiap fajar atau senja, sama sakralnya dengan segala yang tertulis dalam buku sejarah Rama. Jadi, menuruti perkataan para guru untuk menghargai tiap bagian kecil dari sejarah, ia menjaga kaki Mbahti tetap bersih sebagaimana ia menghargai memoar nyata dalam ingatan Mbahti.

Oleh karena itu, ketika sanak-keluarga dari Bojonegoro mengabarkan kepulangan Mbahti, Rama lekas mengabari pimpinannya di Badan Statistika Surabaya, meminta izin tidak masuk kerja serta mengurus ini itu, dan bertolak ke kampung halamannya. Dalihnya satu: membersihkan daki di kaki Mbahti sebelum beliau memulai perjalanan baru—perjalanan panjang, mirip yang Rama dengar di teras rumah Joglo mereka.

***

Perjalanan yang dimaksud Mbahti adalah kisah tentang darah dan luka—cerita tanpa sisi baik—persis seperti yang tertulis dalam buku-buku sejarah. Rama bukan tipe anak kalem yang bersembunyi di ketiak ibunya bila bertengkar dengan teman sebaya, bukan pula anak yang dapat dengan mudah manut pada orang lain, tetapi setelah menemukan tas berwarna gading dengan bercak darah di sana-sini—yang selanjutnya diketahui sebagai ‘barang bersejarah’ Mbahti—Rama pun mulai duduk di atas lincak, mendengarkan tiap detail masa lalu Mbahti.

Rama ingat cerita Mbahti tentang kepanikan warga bila mendengar sirine tanda serangan udara dari Belanda. Rama ingat kisah Mbahti tentang guru yang disetrum hingga tewas karena melawan Nippon serta anak yang dipenggal lantaran mengambil botol minyak angin di jalanan. Rama ingat pada gadis yang disembunyikan di ruangan bawah tanah rumah mereka alih-alih dibawa Nippon untuk dijadikan ianfu[1]. Rama ingat serta merasakan semua kengerian itu, bagaimana keputusasaan bercampur dengan bau amis darah serta keringat, membuat muak, mendorong buat muntah hingga semua bayangan itu keluar, tidak bersisa.

“Waktu itu, sore seperti apa pun, pasti dianggap sebagai candikala [2]. Ya, mau gimana lagi? Lha, wong, setiap hari sudah berasa seperti malapetaka.”

Ketika Gubernur Suryo membawa berita proklamasi ke provinsi mereka yang kemudian disampaikan ulang ke tiap-tiap daerah melalui utusan dari Surabaya, perasaan muntah itu berangsur-angsur reda, dan Rama melihat senyum terbit di wajah Mbahti ketika sampai pada bagian ini. Mau tidak mau ia pun ikut tersenyum … sampai roman bahagia itu luruh dan cerita kembali pada darah serta luka—asal muasal tas dengan bercak darah yang dahulu dilihat Rama.

“Sebelum proklamasi, masing-masing kabupaten membentuk sebuah organisasi, namanya Pemuda Putri. Mbahti ikut serta di sana. Belajar pengobatan. Sebelumnya dijelaskan bahwa kami akan dipersiapkan untuk segala keadaan genting dan Mbahti memahami itu. Awalnya.”

27 Oktober 1945, meletus Pertempuran Surabaya. Segala kekuatan dikerahkan untuk mengusir Inggris dari tanah Surabaya: relawan perang, persenjataan, makanan, dan obat-obatan. Sedangkan, sebagaimana yang telah disebutkan pada awal pembentukannya, Pemuda Putri—yang berubah nama menjadi PPRI pada September 1945—ikut diturunkan dalam perlawanan tersebut. Orang-orang berjalan dari Bojonegoro—menembus hutan jati, meniti jalan yang jauh dari kata bagus—secepat mungkin. Saking cepatnya, barangkali kaki-kaki mereka sampai mati rasa, sampai tidak lagi merasakan payah, dan akhirnya bergerak otomatis ke Surabaya.

Mbahti, 15 tahun, ditempatkan di garis terdepan bersama tiga sejawatnya, menyaksikan detail dari pertempuran dahsyat itu: bombardir peluru, pesawat terbang yang dengingnya memekakkan telinga, dan orang-orang yang bergerak seumpama semut, melafalkan kata “merdeka” berulang kali. Ada banyak yang terluka. Ada banyak yang mati dalam doa, air mata, serta darah. Mbahti berkata bahwa ia bahkan tidak bisa berdiri dengan benar; tangannya gemetar tiap membawa serta membuka verband[3]—tas gading itu—untuk mengambil sneevlerband[4] atau mitela[5].

“Kami bergerak secepat mungkin. Kami mengobati secepat mungkin. Kami berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa. Kami berusaha sebaik yang kami bisa. Tapi, perang tetap perang, dan nyawa adalah hal yang biasa ditumbalkan dalam perang.” Rama terdiam cukup lama ketika Mbahti menghela napas, menetralisir suaranya yang bergetar. “Ada yang terinjak. Ada yang berseru ‘Allahu Akbar’. Ada yang bersujud. Ada banyak … banyak sekali ‘orang’ di sana.”

Ada banyak kisah tentang darah dan luka yang serta merta turun, bersamaan pertempuran yang meletus di berbagai tempat. Tidak habis-habis. Bahkan setelah perjalanan itu purna, Rama masih merasakan kengerian cerita tersebut, dan ia membayangkan seberapa keras Mbahti bertahan dari mimpi buruk itu; bagaimana beliau bisa tidur nyenyak tanpa memimpikan darah yang menggenang di tiap medan pertempuran?

“Mbahti sudah melewati banyak hal,” ungkap Rama akhirnya, sambil membersihkan daki di kaki Mbahti untuk kali pertama, “sekarang, Mbahti sudah baik-baik saja. Semua sudah baik-baik saja.”

Mbahti mengiyakan. Akan tetapi, ia berkata pelan, amat pelan, “Tapi mungkin … itu semua tidak akan pernah berakhir, Le.”

***

Rama ingat, kadang, ketika enggan membicarakan darah serta atmosfer kelam yang dijumpai saat muda, Mbahti akan menyanyikan beberapa tembang Jawa. Suara Mbahti tidak terlalu bagus, tetapi beliau bernyanyi amat tulus, jadi Rama dengarkan saja sambil memperhatikan berkas cahaya kuning dari langit kotanya. Pernah juga Mbahti menunjukkan beberapa geguritan [6] yang ditulis dalam berlembar kertas kekuningan selepas baktinya sebagai anggota PPRI.

Tulisan-tulisan tersebut tidak lepas dari darah dan luka, memang, tetapi Rama paling ingat sepotong geguritan Mbahti yang ia baca saat SD.

Tan ana crita tuntas/ Mring lelananing manungsa/ Anane miwiti/ Lelana anyar ing loka punika [7]

“Mbahti sering capek, Le, apalagi harus melihat mayat setiap hari. Teman Mbahti bahkan ada yang pernah mengumpulkan dan menguburkan ceceran otak dari korban ledakan ranjau,” ungkap Mbahti sambil menitikkan air mata. “Tapi Mbahti selalu menguatkan diri. Mbahti selalu menanamkan bahwa pejuang-pejuang itu, yang pulang dengan posisi sujud, yang tergantung di atap Hotel Yamato, sebenarnya tidak mati, tetapi memulai sebuah perjalanan baru. Mereka berubah menjadi semangat agar kita yang masih hidup berjuang, mempertahankan apa yang mereka percayai sampai mati, dan karena itulah Mbahti bisa bertahan, bercerita padamu, pada waktu ini.”

***

Suatu waktu—ketika Rama sudah kuliah dan hanya pulang sebulan sekali ke Bojonegoro—sambil membersihkan daki di kaki Mbahti, Mbahti berkata, “Anak-anak zaman sekarang berkata bahwa merdeka cuma nama, karena akhirnya kita pun tidak bisa bebas, dikekang aturan ini-itu, diminta melakukan ini-itu. Kalau menurut Mbahti, Le, tidak ada sesuatu yang benar-benar merdeka di dunia ini—penjajahan selalu ada di mana-mana, dalam bentuk apa saja.” Langit berwarna oranye terang kala Mbahti melanjutkan, “Tapi sama seperti kematian: merdeka adalah awal perjalanan baru. Perjalanan yang sangat panjang, tidak habis-habis, sama seperti kehidupan manusia yang abadi dalam diri manusia lainnya.”

Seorang rekan kerjanya pernah berkata bahwa hidup manusia amatlah singkat. “Butuh waktu ribuan tahun untuk menciptakan manusia dan hanya butuh sedetik untuk mati,” katanya mengutip salah satu novel terkenal dari penulis Norwegia. “Sesingkat itulah kehidupan kita.”

Rama tengah mengambil jatah kopi pahit siang itu dan seketika atensinya teralihkan ke pembicaraan sang kawan. “Kita hidup dalam keabadian,” ia menyanggah, “sebab nyatanya, perjalanan kita tidak berakhir ketika kita mati. Seperti yang kaubaca, kita hidup dalam tanah gembur, tanaman subur, binatang yang siap disembelih, dalam DNA kita … bahkan lebih jauh, kita hidup dalam tiap nilai, teladan, dan semangat yang dibawa seseorang. Kita adalah pewaris sekaligus yang mewariskan.”

Temannya itu balik memandang Rama aneh, sedangkan Rama menghela napas, mengingat perkataan Mbahti beberapa tahun silam, “Sebab ketika seseorang mati, sebenarnya mereka sedang memulai perjalanan baru.”

***

Pagi itu, setelah sanak-keluarga dari Bojonegoro mengabarkan kepulangan Mbahti, Rama datang tergesa, meminta sedikit waktu pada untuknya berganti baju, lantas ikut serta membersihkan tubuh Mbahti—yang entah kenapa masih terasa hangat. Sambil menahan air mata, Rama basuh kaki Mbahti dan menggosoknya dengan sabun batangan—berkali-kali, sampai seluruh daki hilang; sebersih mungkin, sewangi mungkin, sampai Mbahti dapat memulai perjalanan dengan kondisi benar-benar baru.

Lantas, setelah selesai dimandikan dan setiap sanak-keluarga diizinkan melihat Mbahti untuk terakhir kali, Rama berbisik pada wajah yang kini tersenyum itu, “Selamat memulai perjalanan baru, Mbahti.” (*)

 

Ponorogo, 3 April 2019

[1]sebutan pekerja seks pada masa penjajahan Jepang
[2]warna jingga, merah, dan hitam berurut pada langit sore hari yang kerap diasosiasikan sebagai tanda
Malapetaka
[3]tas kecil berisi peralatan medis sederhana
[4]perban dengan gundukan tebal di dalamnya
[5]perban segitiga
[6]puisi Jawa
[7]Tidak ada cerita yang tuntas/Dari perjalanan manusia/Yang ada hanya mengawali/Perjalanan baru di dunia ini

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata