Bukan Kisah Terakhir Tentang Hujan dan Kita

Bukan Kisah Terakhir Tentang Hujan dan Kita

Bukan Kisah Terakhir Tentang Hujan dan Kita

Oleh: Erien

 

Aku masih bocah, saat pertama kali kamu mengajakku bermain di tengah guyuran hujan. Hari masih siang, tapi mendung yang datang tiba-tiba dan angin dingin yang sedikit kencang, membuat suasana berubah sejuk. Tak lama hujan pun turun. Beruntung aku sudah sampai di rumah, sepulang sekolah. Lalu tangan ini kamu raih, sedikit memaksa untuk ikut bermain hujan.

“Ayo, kita main hujan-hujanan. Nggak usah bilang sama ibumu. Mumpung dia lagi asik di dapur. Ayo, dong!” ajakmu.

Antara ragu dan mau, seperti buah simalakama. Boleh, tidak, ya?

Mata jenaka milikmu membuatku menganggukkan kepala. Berdua kita berlari-lari di halaman rumah, menikmati rintik hujan yang jatuh mengenai kulit. Terasa geli. Kaki kecilku melompat kegirangan. Genangan air di beberapa tempat seperti membentuk pola polkadot tak beraturan. Menggoda kita menjejakkan kaki di sana, lalu airnya terciprat ke mana-mana. Tak sadar, tawa kita terurai bersama. Seiring semakin lebatnya hujan, dan basah yang merata di tubuh. Seru!

Tiba-tiba kamu terdiam dengan tubuh berdiri tegak. Aku yang keheranan, mendekatimu. Matamu mengerjap cepat seakan ingin memberitahu sesuatu. Tangan kananmu menunjuk ke belakangku, membuat tubuh ini spontan berbalik ke belakang.

“Bagus, ya. Main hujan-hujanan nggak ijin dulu sama Ibu.” Wanita ayu itu berdiri di teras rumah sambil melipat tangan di dada dan menggeleng-geleng. Meski kata-katanya seperti orang yang sedang marah, aku tahu itu hanya pura-pura.

“Maaf, Bu.” Kita bahkan meminta maaf berbarengan. Ibu lalu menyuruhku masuk, dan mandi air hangat yang sudah siap. Ternyata, sedari tadi kita sudah diawasi.

Saat melewati pintu, kudengar Ibu berkata padamu. “Awas, ya. Jangan lagi-lagi mengajak Kiara hujan-hujanan.”

Sekilas kulirik, kamu memberi hormat pada Ibu, sambil berkata, “Siap!” Air hujan yang masih mengaliri wajahmu muncrat dari bibir yang bergerak. Kilat usil di matamu membuat Ibu tertawa. Sebelum kembali dimarahi, kamu berlalu.

Kenangan tak berhenti, berjalan melewati masa kecil, menuju masa putih abu-abu.

Hari itu jam sekolah sudah berlalu. Begitu pula kegiatan PMR yang kuikuti. Baru saja berniat pulang, hujan turun dengan deras. Jarak ke rumah yang tidak terlalu jauh, membuatku memutuskan menunggu hujan reda. Rasanya sayang jika seragam putih abu-abu ini basah. Apalagi tas ranselku terbuat dari kain. Bisa-bisa, rusak semua buku di dalamnya.

Sudah setengah jam berlalu. Jam di dinding sekolah menunjukkan waktu setengah lima sore. Melalui pesan WA, Ibu menyuruhku menunggu hujan reda. Namun, tidak ada tanda-tanda hujan ini akan berhenti. Titik airnya masih sederas setengah jam lalu. Beberapa sudut halaman sekolah sudah mulai tergenang.

“Tunggu di sekolah. Ibu jemput, ya.” Ibu mengirimiku pesan lagi.

Aku mengiakan. Sebenarnya aku memang ingin dijemput. Namun, bukan dijemput Ibu, tapi kamu. Sayangnya, tidak mungkin aku menghubungimu hanya untuk menjemputku yang terjebak hujan di sekolah. Aku tahu banyak hal penting lain yang harus kamu kerjakan. Lagipula, aku merasa tidak cukup penting untuk jadi nomor satu dalam skala prioritasmu.

Daripada bengong, kuputuskan mendengarkan lagu kesayangan lewat ponsel. Kutemukan lagu yang kudengarkan saat rindu padamu di hari hujan. Liriknya menyelusup di hati, membuat senyum melebar tiap kali mendengarnya. Kebetulan yang aneh.

“Kiara!”

Belum juga lagu itu selesai, kudengar seseorang memanggil. Kepalaku berputar mencari sumber suara. Lalu ….

Sosokmu berdiri di tengah deras rinai hujan, di dekat pagar sekolah. Dengan payung besar di tangan kanan, kamu berjalan menghampiriku. Dengan kasar, kamu menyugar rambut yang setengah basah. Lengan kemeja berwarna biru muda terlipat sampai siku, sedangkan celana panjang berwarna krem sudah basah mendekati lutut. Sepertinya kamu baru pulang bekerja, dan belum sempat berganti pakaian. Senyumku berubah menjadi kekeh geli, melihat kakimu berbalut sandal jepit warna biru, yang dulu pernah kuberikan padamu.

“Ayo, kita pulang!” Payung berpindah ke tangan kirimu. Tangan kananmu terulur padaku, dan kusambut dengan senang. Sepayung berdua, jelas tidak cukup. Kamu merengkuh bahuku agar mendekat. Reflek, aku memeluk pinggangmu. Aroma segar yang khas menguar dari tubuhmu, saat aku mendekat ke bahu tegap itu.

“Ganteng,” pujiku sambil menunjukkan jempol kanan padamu.

“Jelas, dong. Sapa dulu …,” sahutmu sambil menepuk dada.

Aku tertawa.

Kamu membalas dengan mengacak rambutku penuh sayang.

Suhu udara lumayan dingin saat itu, tapi hatiku terasa hangat. Bak putri yang dijemput pangeran berpayung dan bersandal jepit, senyum tak lepas dari bibirku. Sempat terlintas rasa kasihan saat melihat bahu kirimu basah terkena tetesan hujan. Namun, senyum teduh di wajahmu membuatku sadar, bahwa kamu rela melakukan apa pun untukku.

Benar kata orang, bahwa hujan membawa kebahagiaan, seperti yang dibawanya kepadaku saat bersamamu. Aku tahu, kebahagiaan lain masih mengantre untuk dihantarkan lewat tetes  bening lain yang dijatuhkan ke bumi, yang kini jadi favoritku. Kemudian, lelehannya seperti cinta istimewa kita, yang mengalir seperti air hujan.

Aku tahu, ini bukanlah kisah terakhir tentang hujan dan kita. (*)

Kotabaru, 13 Mei 2022

Erien. Sibuk dengan anak bukan berarti melupakan olah otak. Menulis adalah salah satunya.

Editor: Evamuzy

Sumber gambar: pinterest.com

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply