Bagimu Surga

Bagimu Surga

Bagimu Surga
Oleh : Ika Mulyani

Suara berdecit dan berdebam keras–yang diiringi seruan dan juga jeritan beberapa orang–dari arah jalanan di depan rumah tempatku bekerja, membuatku menghentikan pekerjaan. Dengan kain lap tersampir di bahu dan sapu ijuk yang masih berada di genggaman, aku bergegas menuju keributan itu, meninggalkan pintu depan terbuka lebar.

Aku terkesiap. Alif–anakku satu-satunya–tergeletak bersimbah darah di hadapan sebuah sedan putih. Hampir setengah bagian tubuh bocah enam tahun itu, berada di bagian bawah kendaraan tersebut. Seseorang menarik tubuh Alif ke dekatku.

Sapu di tanganku terjatuh. Segera kupeluk ia, tidak peduli dengan darah yang bersimbah. Seseorang tadi berseru memintaku untuk menutup luka di kepala Alif dengan lap yang tersampir di bahuku.

Tiba-tiba anak majikanku menghampiri kami dan berseru marah, “Sepeda baruku! Kenapa bisa sampai hancur begitu?!”

Aku mengernyit. Sepeda? Sepeda yang mana? Aku membatin dan lantas pandanganku tertumbuk pada benda yang dimaksud, tergeletak di seberang jalan. Tampaknya roda sepeda itu sedikit penyok.

“Pasti anak Bibik yang bego dan tolol itu yang pakai. Sembarangan! Apa dia enggak tahu kalau itu sepeda mahal?! Pokoknya aku enggak mau tahu! Bibik harus ganti sepeda aku!”

Kata-kata kasar yang terucap dari bibir bocah tanggung itu, membuat tanganku bergetar cukup hebat. Ingin sekali kutampar mulut laki-laki mentah itu.

Aku menatap bocah itu dan juga ibunya–yang datang menyusul serta diam saja mendengar ucapan sang anak–dengan amarah menggelegak. Jemariku terkepal. Materi saja yang ada di pikiran mereka. Tidak adakah empati di hati mereka melihat anakku berdarah-darah?

Sekuat tenaga, kutahan keinginan untuk menyuarakan segala umpatan yang terlintas di kepalaku yang panas. Logika memenangkan peperangan melawan emosi negatif yang membuncah di dalam dadaku. Aku harus sabar dan meredam amarah, jika tidak ingin kehilangan sumber mata pencaharian.

“Tolong maafkan Alif, ya, Den Bagus.” Aku berucap lirih sambil menunduk, tidak ingin amarah kembali meluap bila memandang wajah mereka.

“Nyonya boleh mengambil setengah gaji saya bulan ini untuk memperbaiki sepeda yang rusak itu,” lanjutku sambil bertanya-tanya dalam hati, cukupkah tiga ratus ribu rupiah untuk menutup biaya perbaikan benda yang menurut Den Bagus mahal itu?

Semahal-mahalnya harga sepeda roda dua, tidak akan melebihi harga sepeda motor, bukan? Biaya perbaikan roda penyok, tidak akan terlalu mahal kurasa. Bisa jadi … masih akan ada uang yang tersisa, ya, kan?

“Dasar orang miskin udik! Hancur gitu, udah enggak bakal bisa dibenerin, Bik! Bisanya diloakin! Memang anak Bibik tolol! Bego!” sergah Den Bagus sambil mendelik.

Bocah lima belas tahun itu lalu berbalik dan berjalan kembali ke rumah dengan langkah menghentak. Terlihat ia membanting pintu depan, sekeras nafsu amarah mengijinkannya. Kaca jendela besar di kiri kanan pintu itu, terdengar bergetar hebat karenanya.

Aku tersentak. Lap kain yang kupakai untuk menahan arus darah yang menderas dari luka di kepala anakku, hampir saja terlepas.

Meskipun kami memang hanya bagian dari ‘kaum dhuafa’. Namun, salah jika ada yang menyebut kami bodoh, dan menyematkan kata tolol pada anakku.

Aku bukan bodoh, hanya terpaksa harus putus sekolah, ketika baru satu semester masa SMA kujalani. Nyawa kedua orang tuaku terenggut paksa, setelah sebuah truk gandeng–yang pengendaranya mabuk–menyeruduk sepeda motor yang tengah Bapak dan Ibu naiki. Aku terpaksa berhenti sekolah dan tinggal bersama Nenek yang sudah renta.

Anakku yang sangat ingin memiliki sepeda itu, juga bukan tolol. Ia hanya belum bisa mengendalikan rasa penasaran dan keinginannya. Mungkin bocah itu mengira, pemilik sepeda yang ada di halaman rumah tempat ibunya bekerja ini, sama seperti teman-teman sepermainannya, yang tidak pernah keberatan sepedanya ia pinjam untuk berkeliling lapangan dua-tiga putaran.

Namun kuakui, apa yang dikatakan anak laki-laki itu sebagian ada benarnya. Kami memang hanya orang miskin yang udik. Tidak ada barang berharga di rumah kontrakan kami yang catnya sudah banyak mengelupas, serta bocor di sana-sini bila hujan turun terlalu deras. Pemilik rumah seolah buta dan tuli menghadapi keluhanku.

Jodohku pun hanya seorang guru honorer di sebuah SMP negeri, yang penghasilannya dalam sebulan hanya cukup untuk membayar uang kontrakan. Entah, apa yang membuat guru muda itu tertarik padaku. Ia bukan tipe pria romantis, dan tidak pandai mengungkapkan perasaan, tapi hidup kami bahagia. Dua bulan lalu, suamiku berpulang. Penyakit liver yang parah menjadi penyebabnya. Sekujur tubuhnya yang menguning sudah tinggal tulang berbalut kulit.

Sempurnalah sudah kemiskinan kami. Namun, kemiskinan–senyata apapun–bukan untuk dijadikan bahan hinaan, bukan? Orang miskin pun masih punya harga diri!

Aku sudah akan melontarkan kecaman balasan pada si bocah juragan. Akan tetapi, seketika aku teringat priaku tercinta–ayah anakku–yang telah tiada. Di benakku tergambar jelas wajah teduhnya yang selalu dihiasi senyum, setiap kali aku mengeluhkan kehidupan kami yang papa. Senyum yang sama juga ia suguhkan pada kami, sesaat sebelum Malaikat Maut sempurna mengambil nyawanya. Tidak ada kata terakhir, hanya seulas senyum itu.

Semasa hidupnya–yang begitu singkat–suamiku tidak pernah mengeluh, sepahit dan seberat apapun masalah kami. Nasihatnya selalu, “Enggak perlu dibuat pusing. Dunia ini hanya tempat persinggahan sementara, tempat kita mengumpulkan bekal untuk kehidupan yang sesungguhnya di akhirat kelak.”

Selain itu, aku juga teringat pada kalimat yang selalu disampaikan oleh Alif dengan gayanya yang lucu, bila emosi ibunya ini mulai naik. “Kata Nabi, jangan marah, maka bagimu surga. Gitu kata Bu Guru, Bu.”

Seketika bara api kemarahanku meredup. Aku menghela napas, dan mengucap ‘Istighfar’. Tiga kali.

“B-benarkah sepeda itu tidak bisa diperbaiki lagi, Nyonya?”

Nyonya Marlina hanya mengangkat bahu. “Harusnya, sih, bisa, ya. Sudahlah, lain kali saja kita bahas. Ini bukan perkara murah, mendengarnya saja bisa buat kamu pingsan nanti. Lebih baik, segera bawa anakmu ke puskesmas, biar cepat diobati,” ucapnya seraya berlalu dari hadapanku.

Aku termangu. Semahal apakah harga sepeda itu? Rintihan Alif menyadarkanku. Kain penutup luka sudah kuyup oleh darah, membuat tubuhku mendadak lemas.

Ya Allah. Kuatkanlah aku, tolong anakku. Benakku merintih pilu.

“Pak, tolong antar kami ke puskesmas, ya!” pintaku pada pengendara sedan yang–kata Mang Ujang si tukang kebun–menabrak Alif tadi.

Kerumunan orang di sekitar kami–yang sedari tadi hening, melihat bagaimana Den Bagus malah meributkan sepedanya yang rusak–seolah baru menyadari banyaknya darah yang tergenang di sekitar kepala anakku.

Bergegas beberapa orang membantu menaikkan Alif ke dalam sedan putih itu. Sesaat kemudian, kami melaju ke puskesmas terdekat.

***

Terlambat.

Puskesmas menolak Alif. Fasilitas yang ada tidak cukup memadai untuk menangani. Mereka meminta kami untuk segera membawa anakku ke rumah sakit. Kami pun bergegas. Tubuh kecilnya yang kini tidak sadarkan diri, dibawa ke ruang IGD. Dokter yang memeriksa menggelengkan kepalanya.

Terlambat. Lagi.

Anakku terlalu banyak kehabisan darah.

Waktu Alif untuk membersamai hidupku, telah sampai di ujungnya. Senyum damai seperti milik ayahnya saat sakaratul maut, tercetak pula di wajah mungil putraku. Satu-satunya yang berharga dalam hidupku, hilang sudah.

Dada ini begitu sesak. Hidupku yang papa terasa semakin hampa. Aku seolah buta. Ruang dan waktu yang terbentang di hadapanku terlihat gelap. Kosong. Sanggupkah aku melewatinya hingga waktuku di dunia fana ini tiba pada batasnya?

Seharusnya aku mengabaikan ocehan Den Bagus soal kerusakan sepeda mahalnya. Seharusnya aku segera meminta si penabrak untuk langsung membawa Alif ke rumah sakit. Seharusnya ….

***

Kini, jenazah Alif tengah kumandikan, dengan dituntun oleh ibu guru ngajinya semasa hidup. Air mataku tiada henti menganak-sungai. Kukecup pipinya yang dingin, berkali-kali, tanpa menghiraukan larangan sang guru ngaji.

Di kali ketujuh, tiba-tiba pipi yang kukecup terasa hangat. Aku tersentak dan menegakkan tubuh. Ragu, kuusap bekas kecupanku. Masih terasa hangat!

Ibu guru ngaji dan dua orang rekannya menghentikan guyuran air. Kami saling berpandangan.

“Ada apa?” tanya salah seorang dari mereka.

Aku tidak menjawab, dan kembali memerhatikan jenazah Alif, lalu tergemap saat melihat dada anakku mulai naik turun berirama. Dengan jemari bergetar, kuraba dada itu, dan terasa ada degup jantung di sana, meskipun lemah.

Pandanganku beralih pada wajah menggemaskannya. Kedua kelopak mata Alif tampak bergetar, dan perlahan membuka. Irisnya yang cokelat gelap, terarah langsung ke dalam mataku.

“I-ibu ….” lirih terdengar dari bibirnya yang membiru.

Gayung di tanganku terjatuh, juga dari tangan-tangan yang lain. Ketiga pemandi jenazah terhuyung mundur dengan wajah ketakutan.

Kutatap mata itu, yang memandangku lekat-lekat. Sinarnya aku kenal. Anakku … hidup lagi?

“S-sayang? I-ibu di sini, Nak,” sahutku terbata, merengkuh pipinya dan mengusap rambut hitamnya.

Bibir mungil yang membiru itu menyunggingkan senyum. Aku menyentuhnya. Hangat terasa. Air mataku kembali menderas. Senyum terkembang di bibirku.

Ya Allah. Terima kasih. Kau kembalikan anakku.

“M-maafin … Alif, ya.” Kembali anakku berucap lirih. Mata bulat bocah itu tidak melepaskan pandangannya dariku.

Aku mengangguk.

“J-jangan m-marah … b-bagimu ….”

“Surga,” bisikku menuntaskan.

Alif kembali tersenyum, dan perlahan pula mata itu kembali menutup. Rasa hangat bibir dan pipinya di jemariku mulai memudar. Mataku beralih ke dada Alif. Gerakan halusnya tadi telah terhenti.

“Alif!” Aku berseru panik dan menepuk-nepuk pipinya yang sudah kembali dingin.

Oh, tidak! Ya Allah, jangan ambil lagi anakku! Tolong ….

Ibu guru ngaji maju dan meletakkan telunjuknya di bawah telinga Alif. Ia lalu menggeleng, dan menatapku dengan sedih. Setitik air mata jatuh di pipinya.

Anakku telah pergi. Lagi. Menghancurkan harap yang sedetik tadi sempat merajai hati.

***

Ciawi, 6 September 2020

***

Ika Mulyani, emak beranak dua yang lahir dan tinggal di Bogor. Salah satu mimpinya adalah menulis buku tentang cara belajar matematika yang menyenangkan bagi anak-anak

 

Editor: Freky Mudjiono

Leave a Reply