Ambruk

Ambruk

Ambruk

Oleh: Ketut Eka Kanatam

 

“Aku telah membunuhnya, Mas! Aku tidak bisa menjaga dirinya.” Lastri terus mengatakan hal seperti itu sepanjang proses pemakaman Ima. Kudekap tubuhnya yang limbung dengan sekuat tenaga. Semua kata-kata yang bisa menenangkan dan menghibur kubisikkan ke telinganya.

Keadaanku tidak lebih baik dari dirinya. Meskipun begitu, aku berharap, dia bisa menguasai diri. Setiap Lastri menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian anak kami, saat itu juga perasaan bersalah menderaku. Aku hanya berusaha terlihat tegar di hadapannya dan di hadapan semua orang. Berulang kali kukuatkan hati ini dengan mengatakan aku harus kuat. Aku harus tetap waras dalam keadaan seperti ini.

Sepertinya, usahaku untuk menenangkan dirinya sia-sia saja. Ketika tukang kuburan mulai menyerokkan tanah untuk mengubur anak kami, tiba-tiba saja dia menjerit kemudian tidak sadarkan diri. Semua yang hadir di tempat itu panik melhat kejadian itu. Mereka membantuku membopong Lastri menjauhi tempat peristirahatan terakhir anak kami. Dengan pikiran campur aduk aku memasrahkan dia di bawah pengawasan para pelayat demi menyelesaikan proses pemakaman Ima.

Malam semakin larut, pelayat satu per satu mulai meninggalkan rumah kami. Aku kembali ke kamar untuk menemani Lastri yang kini terbaring lemah di kasur. Sepertinya, pengaruh obat yang diberikan oleh dokter belum bekerja dengan maksimal. Dengan memunggungiku, dia kembali meracau. Lastri kembali mengulang-ulang kalimat tadi sambil terisak-isak. Aku hanya bisa mendekap tubuhnya yang bergetar itu dengan erat. Tidak ada lagi kata-kata penghiburan yang sanggup kukatakan kepadanya.

Waktu terasa begitu lambat bergerak, keheningan menyergap kami. Perlahan-lahan kubalikkan tubuhnya. Kutatap matanya yang kini tertutup rapat. Kuhapus perlahan air mata yang masih membekas di pipinya yang pucat pasi.

Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang, berusaha melepaskan semua beban yang terasa begitu menyesakkan dada. Lastriku telah banyak berubah. Gadis ceria yang kukenal sejak SMA itu berubah menjadi gadis yang rapuh dan mudah patah hati.

Pernikahan kami tidak lagi terisi gelak tawanya. Semua bermula dari keadaan dia yang tidak biasa. Ketika dia mulai mengalami masalah kehamilan. Segala usaha kami coba. Sampai pada akhirnya sebuah kabar gembira kembali membuat kehidupan rumah tangga kami bergairah. Penantian panjang kami atas kehadiran buah hati segera berakhir. Dia dinyatakan positif mengandung. Kami bersama-sama menantikan kehadirannya dengan harap-harap cemas. Kondisi fisik Lastri yang mudah sakit menjadi kekhawatiranku tersendiri.

Demi menjaga kondisinya, Ibu akhirnya menemani kami. Kekhawatiran itu akhirnya menjadi kenyataan. Dia mengalami keguguran. Saat itu, aku berusaha terlihat tegar dan mengatakan kepadanya agar mau menerima kenyataan dan kembali berusaha.

Namun, dia tidak mendengarkanku. Perlahan dia terseret dalam kesedihan berkepanjangan. Sering sekali kutemui dia berbaring di kamar yang kami siapkan untuk si buah hati. Aku berangkat sampai pulang dari kerja keadaannya masih tetap seperti itu. Kondisinya semakin lama semakin parah dengan mulai menghindariku. Dia tidak mau lagi melayaniku.

Seperti apa pun upayaku, tetap saja dia hidup dalam dunianya sendiri. Dia tidak bisa pulih seperti sedia kala. Begitu banyak perubahan terjadi pada dirinya. Dia tidak lagi mau kumpul-kumpul dengan ibu-ibu di perumahan kami, lebih memilih mengurung diri di kamar.

Atas saran Ibu dan teman-temanku, akhirnya aku mengambil sebuah keputusan. Aku memenuhi keinginannya dengan mengangkat anak dari keluarga di kampung. Sepertinya, usahaku kali ini berhasil. Kehadiran Ima mulai bisa mengisi kekosongan jiwanya. Lastri mengasuh anak itu layaknya seperti anaknya sendiri.

Suasana rumahku tidak lagi muram. Begitu aku membuka gerbang rumah sepulang dari kerja, ada yang datang berlari menyambutku. Kulihat Lastri tersenyum lebar begitu melihat aku sibuk melayani keinginan Ima agar melambung-lambungkan badannya ke udara.

Semua rasa lelah setelah seharian bekerja menjadi hilang seketika begitu Lastri mengajakku berbaring dan mulai mendekapku dengan hangat.

Semua kenangan itu melintas di pikiranku begitu melihat keadaannya. Kuusap perlahan air mata yang kembali mengalir di sudut matanya. Aku merasa sesak di kamar ini.

“Maafkan aku, Las.”

Perlahan aku meninggalkan kamar kami menuju ke ruangan di sebelahnya. Kamar Ima masih tetap sama seperti dulu, sewaktu kami mempersiapkan untuk si buah hati. Aku dan Lastri yang mengecat dindingnya dengan warna merah muda. Ranjangnya juga kami hias dengan sprai dengan warna senada. Boneka-boneka berjajar rapi di rak etalase yang diterangi lampu. Aku menghirup udara di kamar Ima yang begitu harum. Aku berharap aroma yang kuhirup bisa sedikit melegakan dada ini.

Sesekali kami akan tidur di sini. Kami menghabiskan waktu bersama putri kecil kami. Buku cerita yang berderet di meja Ima kusentuh perlahan-lahan. Tidak ada tenagaku untuk membuka lembar demi lembar buku cerita itu. Kembali terngiang-ngiang celoteh riang Ima yang selalu menyelingi setiap perkataanku saat bercerita. Kupeluk boneka beruang kesayangannya. Ada bau keringatnya di sana.

Air mata yang kutahan dengan sekuat tenaga akhirnya keluar juga. Kesedihan menyergapku. Kenapa kami harus kembali merasakan kehilangan seperti ini? Luka kali ini begitu tidak tertahankan. Setiap Lastri mengeluarkan kata-kata menyalahkan dirinya, detik itu juga aku merasa seperti perut ini ditendang dengan keras oleh seseorang. Sakitnya sampai ke ulu hati.

Bukan Lastri penyebab kepergian Ima. Akulah yang salah! Aku lalai. Begitu banyak pekerjaan di kantor sehingga aku selalu pulang larut malam. Aku pergi ketika Ima masih tidur dan aku datang ketika dia sudah terlelap.

“Aku lelah.”

Permintaan Lastri pun tidak sanggup kupenuhi. Aku hanya ingin segera memejamkan mata agar semua rasa penat seharian bekerja hilang seketika.

“Kalian mau jalan-jalan? Pergilah duluan. Nanti Mas menyusul ke sana, ya, Las.”

“Tunggu Bapak di sana, ya, Nak.”

Ketika Lastri mengatakan akan mengajak Ima jalan-jalan aku segera menyetujuinya. Dia memintaku untuk tidak lembur. Ima juga memohon agar aku menemaninya. Aku langsung berjanji seperti itu.

Malang tidak dapat ditolak, untung tidak bisa diraih. Bukan kesenangan yang kudengar dari mereka yang sedang pergi wisata. Janji yang coba kutepati sudah tidak berarti lagi. Kabar mereka mengalami kecelakaan saat naik boat ketika mengelilingi danau yang menyambut kedatanganku.

Ketukan di pintu menyadarkanku. Cepat kuhapus air mata ini, Ibu tidak boleh melihatku terpuruk seperti ini. Ibu tidak akan tega meninggalkan kami padahal dia harus segera pergi untuk mengurus adiknya Lastri.

“Maaf, sudah mau tidur ya, Bu?”

Aku segera meletakkan boneka itu. Bergegas merapikan tempat tidur sambil berharap Ibu tidak melihat apa yang barusan kulakukan.

“Jangan tutupi kesedihanmu itu dari Ibu.”

Sentuhannya begitu lembut, membuatku ambruk seketika. Aku tersedu di pangkuannya.

Bali, 15 Juni 2022

Ketut Eka Kanatam, lahir di Bali. Ibu rumah tangga dan guru TK. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya akan dibaca oleh anak didiknya.

Editor: Lutfi Rosidah

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply