Aku, Si Titik Hitam Penembus Ruang dan Waktu

Aku, Si Titik Hitam Penembus Ruang dan Waktu

Aku, Si Titik Hitam Penembus Ruang dan Waktu

Oleh: Evamuzy

Cerpen favorit juri Tantangan Lokit 13

Aku bukan burung, juga bukan bintang-bintang yang bersembunyi di siang hari. Aku hanya kulminasi bawah, titik hitam yang tercipta oleh ulah penghuni bumi yang mulai bosan, atau bisa disebut tak lagi pantas menjadi tempat titipan. Aku juga bukan sebuah pertanda akan turun hujan. Akuhanya titik saksi yang tidak bisa bersuara, tetapi sangat pandai bercerita tentang sebuah kejujuran kepada semesta.Maka, tak ada salahnya mendengarkan ceritaku.

Masa ini, fakta bahwa sinar ultraviolet B di bawah jam 9 pagi baik untuk berjemur, membantu tubuh manusia menghasilkan vitamin D, menjadi mitos belaka.Atau sebut saja itu sejarah, realitas yang hanya pernah diceritakan oleh orang-orang tua yang sudah mati.Yang justru terjadi adalah bayi-bayi terbakar kulitnya, atau berita paling terbaru; sel kanker tumbuh secepat manuver pembalap F1.Cahaya matahari sendiri yang menjadi penyebabnya, berkolaborasi bersama radiasi benda-benda elektronik.

Virus-virus berevolusi, melesat jauh dari akal pikiran cerdas manusia.Alhasil, penyakit-penyakit ganas gencar menyerang.Tak ada pencegah, sukar ditemukan obatnya.Orang-orang cepat menua, angka kematian semakin menggila.Segila saat aku menyaksikannya.Namun, tugasku bukan untuk melaporkan kabar virus-virus maupun keadaan cuaca macam ini, melainkan sebuah kisah di masa ini.

Di sebuah ruangan, di lantai 27 gedung berdinding kaca.

“Sepakat?” Marc menjabat tangan lawan bicaranya, seorang pria tua pemilik lahan taman bermain di tengah kota. Delapan tahun lalu, pria tua itu sengaja membuat sebuah taman bermain di atas lahan miliknya. Namun, rupanya kini dia berubah pikiran.Hilang jiwa kedermawanannya.

“Tentu, Tuan Marc.Untuk harga fantastis yang Anda berikan, saya tidak punya alasan untuk menolaknya,” jawab si pria tua, lalu tersenyum bangga. Di sampingnya, sang tangan kanan telah menerima notifikasi pemasukan saldo yang sangat besar di rekeningnya. “Kalau boleh tahu, akan Anda gunakan untuk apa lahan itu?Tempat itu tempat favorit warga kota, sepertinya sebuah pusat perbelanjaan akan sangat menjanjikan.”

“Tidak.”Marc tersenyum miring, menatap puncak gedung di sejauh pandangannya.“Orang-orang sekarang lebih suka berbelanja di pasar daring. Aku akan membangun sebuah apartemen mewah di sana.”

“Ide bagus, Tuan Marc. Meski kukira, Anda akan tetap mempertahankan lahan itu sesuai fungsi sebelumnya. Karena dari berbagai pemberitaan media, kudengar Anda adalah seorang familyman.”

“Bukan urusanmu, Pak Tua! Lagipula, masih ada satu lagi lahan bermain di tepi sungai di perbatasan kota. Anak-anak juga sepertinya sudah tak lagi butuh tempat macam itu.” Lalu Marc diam, mungkin tengah memantapkan waktu kapan akan memulai proyek pembangunan apartemen itu. 

Sementara di ruangan lain, seorang developergame online telah sepakat bekerjasama dengan sebuah perusahaan publisher ternama. Permainan baru yang diyakini akan digilai pecandu game–terutama anak-anak menuju dewasa–segera diluncurkan akhir pekan ini.

“Teknik dan fokus permainannya adalah menembak. Tembak orang-orang yang ditemui di pusat perbelanjaan, sekolah, taman bermain, kantor pos, atau di mana saja. Semakin banyak yang tertembak, maka akan semakin banyak poin yang dikumpulkan untuk bisa naik ke level selanjutnya. Untuk mendapatkan poin utama dan memenangkan permainan, di level tertinggi si pemain akan bertemu seorang penguasa yang lincah bergerak dan harus dikalahkan dengan sekali tembak saja. Jika pemain gagal dalam sekali tembak, maka dia harus mengulang dari awal dan semua poin yang telah dikumpulkan otomatis hangus.”Sang developer menjelaskan.

Perfect!” jawab si pemimpin perusahaan publisher dengan mantap. Berbanding terbalik dengan perusahaan-perusahaan skuter atau sepeda di luar sana, yang mulai menjual mesin-mesin produksi kepada pengumpul besi rongsokan.

***

Di sebuah rumah nomor 39.

“Kalian sudah siap?”

Anne, ibu berusia setengah baya dengan tiga anak itu menjinjing keranjang rotan berisi lembaran roti, selai aneka rasa, jus buah peach, juga potongan buah alpukat–yang kata anak-anaknya, rasanya sangat tidak enak, entah tidak matang atau malah busuk. Anne memilih dress warna cerah berbahan katun yang mudah menyerap keringat. Tak lupa,floppy hat menutup kepala dan sebagian rambut pirang yang hampir semuanya memutih. Dia berdiri di depan ketiga anaknya: Flo, Dave dan Zain–yang duduk di sofa. 

“Memangnya mau ke mana kita, Ibu?” tanya Dave si sulung. Matanya fokus menatap ponsel yang jaraknya tak sampai tujuh sentimeter.Ujung kedua ibu jari bocah laki-laki enam belas tahun itu memipih dan mengeras.Bahkan dia pernah menggigitnya kuat-kuat ketika saraf di jari-jarinya mati rasa. Atau keadaan lain yang lebih memprihatikan: rasa sakit yang teramat sangat. Itu bisa terjadi tiga sampai empat kali dalam sebulan.

“Kita akan pergi liburan musim panas, Nak.Kebun binatang sepertinya menyenangkan.”

Musim panas? Oh, rupanya keluarga ini tak berbeda dengan rumah-rumah yang telah aku telisik dari tempatku. Tak sadar jika sepanjang tahun yang mereka lewati adalah musim panas.Mereka sibuk berpedoman kepada kumpulan angka, hari, dan bulan yang terpasang di dinding ruang keluarga.Luput dengan cat-cat rumah yang sudah memudar karena terbakar sinar matahari.Padahal baru saja dipoles warna baru tiga hari lalu.

Pabrik-pabrik krim pelembab kulit kehabisan stok bahan.Bahkan populasi sapi dan babi sebentar lagi punah, sebab kolagennya–yang dipercaya dapat meregenerasi kulit dan baik untuk kesehatan tulang–laris di pasaran.Digunakan oleh tubuh-tubuh yang tetap ingin menikmati kehidupan layaknya zaman sebelum mereka.Seperti itu pula yang dilakukan Anne dan anak-anaknya.

“Asyiiik!” teriak Flo beranjak dari duduknya.Si bungsu itu mengolah selama dua puluh tujuh menit percakapan sekilas ibu dan kakaknya, dan barulah akalnya mengerti.Bocah perempuan berusia tujuh tahun itu meloncat-loncat kegirangan di atas sofa berbahan kulit sapi.Celemek merah muda di dadanya sampai melambai-lambai ringan.

“Bersihkan dulu air liurmu, Sayang,” ucap Anne menasehati. Namun, bocah itu tetap saja tak cepat paham ibunya bicara apa. Anne juga telah menyiapkan beberapa lembar celemek kering di keranjang sebagai bekal liburan bocah perempuan itu.

“Zain, bagaimana denganmu?Jangan katakan kau tak ingin ikut dengan kami seperti dua minggu lalu.”Kini fokus Anne berpindah kepada putra keduanya.Bocah laki-laki berkacamata tebal itu seperti tuli.

“Zain!” Anne memanggilnya lagi. Yang dipanggil tetap tenang dengan mata menyatu di tengah–di balik kacamata–menatap layar monitor komputer lipat kesayangan di pangkuan.

“Zain!”Anne masih berusaha, Zain diam.

“Zain!” Sama saja, si pemilik nama tak merespons. Anne kesal, dihampirinya bocah berusia dua belas tahun itu, lalu menyentuh bahunya.“Zain!” panggilnya pasrah dengan suara rendah.Barulah Zain mendongak menatap ibunya.

“Hah? Ibu memanggilku? Ada apa, Bu?”

Ketiga anak itu lantas bersiap-siap.Tak lama kemudian, mereka pun berangkat menuju kebun binatang.

“Apa yang kau lakukan, Zain?”Anne memperhatikan putranya yang tengah sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel.Mereka telah berdiri di pintu utama kebun binatang yang loket pembayaran tiket masuknya sepi. Tidak ada satu petugas pun yang biasa duduk di sana.

“Aku akan menjadi pemburu di sini, Bu. Seperti dalam game yang baru saja aku menangkan. Sudah kusiapkan senapan hadiah dari Ayah,” jawab Zain enteng.Sebuah senapan angin sudah siap di tangan.

Stop, Zain! Itu bukan ide bagus.Kau hanya akan membuat binatang-binatang itu ketakutan,” teriak Anne.

Zain lagi-lagi seperti tuli.Ocehan ibunya sungguh dianggapnya angin lalu.Hingga mereka memasuki area kebun binatang, Zain terbengong-bengong.Rupanya dia kalah cepat dengan teman-temannya.Kebun binatang kosong.Hanya tersisa seekor burung unta tua yang sedang sekarat, menunggu mati.Aku sendiri yang menyaksikannya.Bagaimana saat bocah-bocah sialan itu menembak satu per satu binatang-binatang dengan senapan angin.Mereka terbahak-bahak setiap kali peluru mengenai sasaran.

***

Zain marah-marah. Untuk meredam kesal karena aksinya di kebun binatang gagal, Anne berjanji akan membuatkan brownies alpukat kesukaannya selama seminggu. Seperti siang ini, dia terlihat menggandeng Flo melewati trotoar menuju supermarket—yang jaraknya tak sampai satu kilometer dari rumah mereka—untuk membeli buah alpukat.

Aku tak perlu repot-repot mendekat untuk melihat apa yang terjadi. Flo melepas genggaman tangan ibunya, lalu berlari menghampiri seekor kucing berbulu putih di depan toko roti. Dia berjongkok di sana. Anne segera ikut berlari mendatangi putrinya.

“Apa kau menyukainya, Sayang?” tanya Anne setelah ikut berjongkok di samping Flo.

Flo tak menjawab.Gerakannya memainkan kaki-kaki kucing yang semula lembut berubah kasar.Menarik-nariknya sampai si kucing menjerit.Setelah puas, Flo mengangkatnya dengan tangan mencekik leher si kucing kuat-kuat. Si kucing kurus itu memekik, begitupun Anne. Dia yang syok dengan tindakan putrinya, segera merebut binatang malang itu. 

Flo jadi marah-marah. Dia mengeluarkan ponsel Anne yang dititipkan di dalam tas gendong merah jambu miliknya. Mengusap layarnya, lalu dengan jari lihai, dia membuka aplikasi game bergambar kucing kesayangannya.

Jari-jari Flo sibuk bermain dengan kucing virtual itu.Dia terbahak-bahak mendengar jeritan kucing saat dipukul ekor atau kakinya.Dan paling senang lagi ketika melihat si kucing tertimpa piano besar, lalu dengan ajaibnya bisa bangun lagi.Flo menarik-narik baju ibunya lalu menunjuk-nunjuk layar ponsel. Anne yang paham maksud Flo–ingin melakukan hal yang sama dengan yang dia lihat–hanya menggelengkan kepala. Dia segera memutuskan membawa pulang putrinya cepat-cepat.Tak lagi teringat dengan supermarket atau buah alpukat.

Sesampainya di rumah, baru saja membuka gerbang, Anne dikejutkan oleh dua orang petugas kepolisian yang berjalan dari pintu utama dengan … menyeret putranya.Dave diapit oleh dua petugas bertubuh tinggi besar.Tangannya diborgol, dengan wajah menunduk menyembunyikan lebam di pelipis.

“Ada apa ini?”Anne sungguh kebingungan.

“Putra Nyonya telah menembak dua temannya dari atap sekolah.Katanya, dia ingin tahu rasanya benar-benar membunuh orang, bukan hanya dari permainan di ponselnya.”

Anne bertambah syok.Saat ini, dia benar-benar butuh menghubungi suaminya.

“Ayolah, angkat teleponnya.Aku hampir gila, Marc!” bisik Anne menunggu panggilannya tersambung. Sementara di tempatnya, sang suami tengah sibuk bernegosiasi harga lahan taman bermain di samping sungai di perbatasan kota, yang rencananya akan dibangun sebuah restoran bintang lima.

Di tempat lain juga, sang developer game online dan pemilik perusahaan publisher, tengah mempersiapkan peluncuran game andalan mereka esok hari.

Sementara aku, tetap di tempatku.Menjadi saksi dan bercerita tentang sebuah kejujuran kepada semesta. Semesta yang mungkin akan baik-baik saja, atau … ah, bahkan engkau telah tahu sendiri akhir ceritanya dalam kitab-kitab. (*)

Brebes, 22 November 2019

Evamuzy, penyuka warna cokelat muda yang tidak makan protein tinggi.

 

Komentar juri:

Diksi manis yang dikemas cantik dengan tema yang luar biasa. Mengambil kasus yang marak saat ini dan dikembangkan menjadi kemungkinan yang bisa saja terjadi di masa depan, seperti kecanduan games yang ekstrem. Banyak pesan moral tersirat dalam cerita ini. Jangan sampai melewatkannya, ya 😀

-Veronica

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply