Aku Hanya Ingin Tahu Kebenaran

Aku Hanya Ingin Tahu Kebenaran

Aku Hanya Ingin Tahu Kebenaran

Oleh : Nining Kurniati

Pantulanku mirip dengan laki-laki itu. Mirip sekali. Postur tubuh yang pendek dengan kulit hitam. Cara berjalan yang seperti mengangkang. Bentuk wajah yang tirus dengan mata sipit. Bila orang tidak mengenal struktur keluarga kami bahwa sudah kerabat jauh, lalu melihat kami jalan berdua atau berada dalam ruangan yang sama, mereka mungkin berpikir aku adalah anaknya. Kebetulan umur kami terpaut layaknya orang tua dan anak. Aku menyunggingkan senyum, menelengkan wajah ke kanan atau ke kiri. Wah, kurasa gigi-gigiku juga mirip dengannya.

“Sudah jam lima, cepat pergi!” Itu suara Nenek. Nenek yang merawatku sejak aku berhenti menyusu. Dengan alasan apa Mama menyerahkanku kepadanya, aku tidak tahu dan tidak pernah mau tahu tentang hal ini.

Nenek adalah saudara ayah mamaku. kami tinggal berdua, sebut saja di desa A. Sedangkan mamaku tinggal … mari menyebutnya di desa X saja. Dan aku mau ke sana sekarang. Jaraknya tidak jauh, kedua desa itu masih satu kecamatan. Setengah jam aku sudah sampai.

“Aku pergi dulu,” kataku sambil berjalan melewatinya.

“Kapan pulang?”

“Tidak tahu.”

“Senin pagi, ya.”

“Nanti aku lihat.”

“Nenek sendiri.”

“Ima sudah ku-wa barusan, sebentar lagi pasti ke sini.”

Ima adalah cucu kandung Nenek dan jarak rumahnya dua rumah dari rumah ini. Ialah yang kemari bila aku ke rumah Mama. Mama selalu memastikan ini sebelum “kamu boleh ke sini” keluar dari mulutnya. Katanya, Nenek sudah tua. Bagiku, meski tua umur Nenek masih akan panjang, tubuhnya kuat dan tidak perlu mengkhawatirkan kesehatannya, ia kukuh sekukuh pohon jambu di depan rumah. Kulit jambu yang mengelupas, kulit nenek yang mengeriput, itu bukanlah pertanda kematian.

***
Asih–anaka Mama juga–duduk memainkan ponsel dan seperti biasa setelah mendongakkan wajahnya melihatku dengan ekspresi datar, ia kembali menekuri ponselnya atau di lain waktu kembali pada apa yang sedang ia kerjakan. Tidak ada kata yang akan keluar dari mulutnya itu, bila bukan aku yang memulai.

“Mama mana?”

“Di dapur masak.”

Umur kami terpaut 3 tahun. Aku yang kakak dan ia yang adik. Tapi bila bertemu, kami selalu tampak seperti dua orang asing. Tidak ada rasa hormat darinya. Tidak ada rasa sayang dariku. Dan mungkin akan berlangsung seperti itu selamanya. Maklumlah, kami beda ayah. Tapi beruntungnya, ayahnya jelas siapa, hanya saja ia sudah meninggal. Malangku, Nenek menyebut ayahku Si Anu (sebut saja begitu), tapi itu adalah sebuah kebohongan. Si Anu itu tampan, postur tubuhnya tinggi, dan kulitnya putih. Aku tidak percaya ia ayahku dan makin yakin setelah bertemu lelaki itu di suatu pesta. Saat ia menatapku, aku merasa seperti comberan yang harus dihindari, seketika ia membuang muka dengan jijik, padahal siapa pun di desa P tahu, Mama mengaku hamil dengan lelaki tersebut.

“Aku datang.”

“Eh, iya, Nak. Mau teh?”

“Tidak.”

“Atau kau mau kopi?” tawarnya bersemangat.

“Tidak.”

Aku lalu ke kamar tamu. Satu-satunya kamar yang kosong. Oh, ya di rumah ini hanya ada dua kamar, jadi bisa dibayangkan bagaimana keuangan keluarga ini. Ah, aku bahkan lupa kapan terakhir perempuan itu membelikanku baju. Uang pun bisa dihitung jari berapa kali ia memberiku. Walaupun begitu, aku tidak masalah dan tidak iri juga dengan Asih.

Tak lama beristirahat di dalam kamar azan dikumandangkan, saat aku hendak bangkit saat itulah Mama datang dan melewatiku ke jendela. Aku jadi mengurungkan niat dan duduk kembali sambil mencermati caranya melangkah, cara pinggulnya bergoyang, caranya menutup jendela. Seperti itulah gerak seorang mama. Meskipun sudah berulang kali begini, aku masih takut suatu hari aku lupa. Saat berbalik Mama tersenyum, lalu melewatiku lagi dan berhenti di samping pintu, ia memencet sakelar.

“Sholat, Nak?” katanya yang kedengaran seperti nada bertanya ketimbang menyuruh.

“Iya, Ma.” Lalu ia keluar dan aku mengikutinya di belakang. Kami pun berjalan ke area dapur. Asih sedang berwudu, jadi kami menunggu. Mama menarik kursi kemudian memintaku untuk hal yang sama.

“Kita berjamaah, ya.”

“Tidak … aku tidak bisa, Ma,” Aku menjawab sambil menekuri lantai.

“Pake surah yang pendek saja.”

“Aku belum pernah jadi imam.”

“Kalau begitu Mama dan Asih akan jadi makmum pertamamu. Mau, ya?”

“Lain kali saja … kita sholat sendiri-sendiri saja.” Mama diam, aku mendongak dan ia tampak kecewa. Saat aku hendak berbicara lagi, Asih berjalan melewati kami, dan Mama pun berdiri lalu berjalan membelakangiku. Sampai kapan di antara kami selalu ada hal yang tak bisa diungkapkan. Sampai kapan aku bisa menahan diri untuk tidak bertanya mengenai ayah kandungku  padanya. Aku hanya ingin tahu kebenaran, tidak salah ‘kan?

(*)

31 Mei 2021

Nining Kurniati, perempuan yang ingin melihat hal-hal menakjubkan terjadi di depan matanya.






Leave a Reply