Cinta (Tak) Butuh Logika
Oleh : Rizka W. A.
Part 2: Hari Terkutuk
Rais menilik wanita yang terkulai lemas di hadapannya. Ada darah yang mengalir pada kening sang istri.
“Kita impas,” cibirnya. Dihampirinya Melisa sembari mengedikkan bahu.
“Hei, bangun!” seru Rais. Dia membangunkan Melisa dengan kakinya.
Pria bertubuh atletis itu memastikan kondisi wanita yang baru saja dihajarnya. Akan tetapi, tidak ada respons. Dia mengusap kasar rambutnya, lalu berjongkok di sisi sang istri.
“Oh, shit!”
Pria itu mengangkat kepala Melisa.
“Mel, Melisa …,” panggilnya sembari menepuk-nepuk pipi wanita yang ada dalam dekapannya.
Berulang kali memanggil dengan nama yang sama, tetapi tetap saja tak ada jawaban. Rais mulai panik, mukanya pucat pasi. Segala pikiran buruk muncul dalam benaknya.
Apakah istrinya mati? Kalau wanita itu mati, siapa yang akan bertanggung jawab? Dia akan jadi tersangka tunggal. Ya, jeruji besi menantinya kalau sampai terjadi sesuatu terhadap Melisa.
“Ti-tidak … dia tidak boleh mati. Aku tidak ingin masuk penjara.” Dia menggeleng.
Rais memegang urat nadi pada pergelangan tangan dan leher sang istri, lalu meletakkan telunjuknya di hidung Melisa.
“Dia masih hidup,” ucapnya lirih.
Dia menggendong istrinya ke ranjang. Meletakkan tubuh mungil itu dengan sangat hati-hati. Diraihnya tisu pada nakas, lalu mengusap peluh pada dahi sang istri.
Dengan tangan bergetar, Rais membuka satu per satu laci, mencari sesuatu dengan tergesa-gesa. Dia mendengkus kesal saat pencariannya tidak membuahkan hasil. Rais mengepalkan tangan dan memukul meja.
“Di mana kotak obat itu!” teriaknya.
Rais mulai gusar, tak hentinya melirik ke arah Melisa yang masih tidak sadarkan diri. Berkali-kali Rais memijat pelipis seperti sedang kebingungan. Dia kemudian berlari keluar kamar, lalu bergegas kembali setelah mendapatkan kotak kecil bertuliskan P3K.
Layaknya seorang petugas kesehatan, Rais sangat sigap mengobati sang istri. Membersihkan luka Melisa menggunakan alkohol, kemudian meneteskan Betadine. Tak lupa ditutupnya luka tersebut menggunakan kasa dan perekat.
Rais memandangi wanita di hadapannya. Tangannya menggenggam jemari sang istri. Tampak jelas ketakutan pada wajahnya.
“Melisa … maafkan aku,” ucapnya lirih.
Matanya berembun. Dia mencium punggung tangan istrinya. Seolah enggan melepas jemari wanitanya, Rais semakin mempererat genggamannya.
Apa sebenarnya yang ada di pikiran Rais? Baru saja dia hampir melenyapkan nyawa istrinya dengan menyerang membabi buta. Namun, sekarang sudah bertindak di luar dugaan. Layaknya seorang terdakwa, dia bersikap seperti sedang menyesali semua perbuatan yang telah dilakukannya. Berbanding terbalik dengan Rais yang dipenuhi amarah saat memasuki rumah beberapa jam yang lalu.
Benarkah kali ini Rais menyesal? Mengapa tidak dari tadi? Bahkan, ketika Melisa berkali-kali memohon maaf dan mengiba, tak sedikit pun pria itu berhenti menyiksanya. Bukan kali ini saja, malam-malam sebelumnya pun dia sering melakukan hal yang sama.
Rais beranjak ke dapur mengambil air minum. Dia melirik tudung saji di meja. Saat membukanya, aroma makanan langsung menguar, mengundang untuk dicicipi. Dia termangu beberapa detik.
Keadaan sang istri yang belum sadarkan diri membuat nafsu makannya hilang. Padahal makanan yang tersaji semua kesukaannya. Satu-satunya hal yang dipikirkan sekarang adalah melihat Melisa sadar kembali.
Rais kembali ke kamar dengan segelas air. Melisa masih tak menampakkan tanda-tanda sadarkan diri. Pria itu kembali duduk di samping istrinya, menatap dalam wanita yang baru saja disiksanya.
Saat jemari Melisa bergerak, wajah Rais berbinar. Dia menunggu respons selanjutnya. Diusapnya pucuk kepala sang istri.
“Kamu sudah sadar, Sayang?” sapanya.
Perlahan, mata melisa mengerjap, kepalanya terasa sangat berat. Dia meringis saat mulai meraba pelipisnya. Saat melihat siapa yang ada di sampingnya, dia terkejut. Raut wajahnya berubah.
Melihat reaksi tersebut, Rais langsung menggenggam jemari sang istri kemudian menciumnya.
“Aku ambilkan minum, ya,” tawar Rais.
Pria itu membantu membangunkan istrinya. Meletakkan bantal pada punggung, lalu membantu Melisa menyesap air putih.
“Kamu lapar? Aku ambilin, ya!” ucapnya, menyingkap rambut yang jatuh di pelipis sang istri.
Melisa menggeleng. “Aku tidak lapar,” sahutnya.
“Kamu pasti belum makan. Tunggu sebentar, aku segera kembali,” ujar pria itu tanpa memedulikan wanita di hadapannya.
Melisa merasa aneh. Apa yang terjadi pada suaminya? Kenapa tiba-tiba baik seperti itu? Apakah ini akal-akalan Rais untuk kembali menyiksanya? Dia menggeleng, berusaha membuang semua pikiran buruk yang berkelebat.
Dia meraba keningnya, ada bekas perban di sana. Mungkinkah Rais yang mengobatinya? Untuk apa dia melakukan itu semua? Dia belum pernah menunjukkan perhatian sebesar itu selama mengandung. Cepat sekali pria itu berubah.
“Ah, tidak mungkin. Pasti dia telah memanggil dokter untuk melakukan hal ini,” gumamnya.
Beberapa menit kemudian, Rais kembali dengan nampan berisi sepiring makanan. Nasi, sop kimlo, dan ikan goreng balado. Tak ada penyesalan yang tampak pada wajahnya, dia seakan bersikap tidak terjadi apa-apa.
“Kamu makan dulu, ya,” tawar Rais.
“Aku masih kenyang,” tolak Melisa halus. Selera makannya benar-benar ambyar.
Rais membujuk dengan sedikit memaksa. Dia yakin betul kalau istrinya belum makan. Selain karena Melisa sering menunggunya untuk makan bersama, walaupun harus pulang telat karena lembur, makanan juga masih utuh di meja.
Sesuap nasi disodorkan ke mulut Melisa. Ragu wanita itu melahapnya. Melisa menatap Rais lekat, seakan-akan tidak percaya apa yang sedang terjadi. Rasanya baru saja mendapatkan perlakuan yang mengerikan dari pria di hadapannya. Namun, orang itu kini berubah menjadi sangat baik. Bahkan sesekali Rais memberi nasihat untuk memperhatikan asupan makanan dan menjaga kesehatannya. Apakah malaikat dari surga telah menyadarkan suaminya?
Mata Melisa berembun. Berharap semua yang dilaluinya bukanlah mimpi. Dia tidak ingin perlakuan manis itu berlalu dengan cepat. Dia merindukan Rais yang dulu. Pria yang selalu menatapnya dengan penuh cinta.
Air matanya kini luruh saat mengingat kembali kejadian terkutuk itu. Malam yang menjadi awal petaka baginya.
***
“Dek, kamu langsung pulang ke Bontang, ya, sore ini?” tanya Rais saat istirahat jam makan siang.
“Iya, Kak. Aku tinggal nunggu Pak Biyon menandatangani laporan surat magangku,” jawab Melisa sambil merapikan semua barang-barangnya.
“Udah beli tiket bus belum?”
“Belum, Kak. Nanti aja pas di terminal.”
“Aku pasti bakal jarang ketemu kamu lagi,” ucap Rais. Matanya masih enggan untuk beralih dari gadis yang berdiri di dekatnya.
Melisa melirik dan tersenyum kepada Rais. “Kakak, kan, bisa jalan-jalan ke Bontang kalau weekend.”
Keduanya menatap dalam waktu yang cukup lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Ada gurat sedih di wajah keduanya saat harus berpisah. Tiga bulan menjalani praktik kerja industri di perusahaan tempat Rais bekerja membuat benih cinta tumbuh di hati mereka.
Melisa, remaja periang dan gampang berbaur mampu menarik perhatian Rais kala itu. Jika mengalami kesulitan di kantor, pria itu yang selalu siap membantunya. Menjelaskan kepadanya ilmu multimedia secara detail.
Tidak hanya bertemu di tempat magang, mereka juga sering membuat janji di luar kantor. Rais sering mengantar Melisa pulang ke rumah kos, memberi perhatian-perhatian kecil pada remaja berusia delapan belas tahun tersebut layaknya seorang kekasih.
Gayung bersambut. Melisa yang tidak pernah mendapat perlakuan khusus dari lawan jenis merasa senang, apalagi kondisinya jauh dari keluarga dan para sahabat. Ada benih cinta yang tumbuh di hatinya. Kehadiran Rais membuatnya tidak lagi merasa kesepian. Dia bahkan tidak segan memuji pria itu secara terang-terangan.
“Kak Rais. Aku senang banget, dapat teman di sini. Kirain bakal boring banget, magang di kantor,” ucap Melisa.
“Sans, karyawan di sini tuh baik-baik. Kamu gak usah khawatir. Pokoknya, kalau ada yang kamu enggak ngerti, jangan sungkan,” terang Rais.
Di mata Melisa, Rais adalah sosok yang luar biasa. Dia menganggap pria itu sebagai kakak yang melindungi adik perempuannya. Juga sebagai teman dan pendengar yang baik.
Tak ada sedikit pun rasa curiga dalam benak gadis berparas ayu tersebut. Yang dia tahu, Rais adalah pria idaman. Dia bahkan sering berkhayal, suatu saat bisa hidup bersama pria yang dikaguminya. Benar saja, dua bulan sejak pertemuan mereka, keduanya resmi berpacaran.
Melisa mulai gusar. Berulang kali melirik putaran jarum pada pergelangan tangannya. Namun, Pak Biyon belum juga menampakkan batang hidungnya.
Sebelum jam enam sore dia harus segera sampai di terminal. Kalau tidak, dia akan ketinggalan bus yang hanya melayani rute dua kali dalam sehari—pukul enam pagi dan sore. Melisa tidak ingin ketinggalan acara keluarga yang akan diadakan tiga hari lagi di rumahnya.
Berulang kali Rais mengingatkan agar tetap tenang, tetapi tetap saja gadis itu tak mampu menyembunyikan perasaan gusarnya.
“Kak, ini udah jam lima, sudah waktunya pulang.”
“Tunggu sebentar lagi. Udah, jangan panik, nanti aku bawa motornya ngebut ke terminal.”
“Tapi kita masih harus ke kos ambil barang-barangku, sekalian nyerahin kunci kamar.”
“Tenang, Sayang. Percaya sama aku.”
Melisa mendengkus kesal. Dia bahkan sudah berpamitan kepada seluruh karyawan yang ada di kantor, tetapi surat magangnya belum juga ditandatangani.
“Seharusnya dari kemarin aku nyerahin berkas itu buat ditandatangani,” gerutunya sambil menepuk-nepuk kening.
Rais yang melihatnya cuma menggeleng. “Tuh, Pak Biyon dah datang,” ucapnya saat mendengar suara Pak Biyon dari luar pintu.
Melisa merapikan rambutnya. Dia menarik napas, berusaha mengontrol emosi. Seulas senyum disunggingkan saat melihat Pak Biyon membuka pintu.
“Nungguin, ya?” tanya Pak Biyon.
Melisa mengangguk, sembari tersenyum lebar. Berusaha menahan cemas yang sedari tadi mencecarnya.
“Maaf, tadi meeting-nya kelamaan,” ucapnya, menandatangani berkas Melisa, lalu memasukkannya ke amplop berwarna cokelat.
“Ini kamu serahin ke resepsionis, buat ngambil upah magangmu. Tadi saya udah hubungin admin. Dia udah titip di sana. Sukses, ya, Mel.” Keduanya saling berjabat tangan.
Melisa pun bergegas setelah mendapatkan tanda tangan dari sang atasan. Melapor ke resepsionis, lalu menemui Rais yang sudah siap dengan motornya di depan kantor.
“Yakin, berangkat sore ini, Mel? Langit mendung banget. Mau hujan,” ujar Rais
“Iya, Kak. Aku udah pamit sama teman-teman kos. Aku juga udah nelepon orang rumah, berangkat sore ini.”
“Ya sudah, kalau gitu. Yuk, buruan!”
Motor yang mereka tumpangi membelah jalanan yang cukup ramai sore itu. Memang butuh waktu lebih lama untuk sampai ke tempat tujuan jika bertepatan dengan jam karyawan pulang dari kantor—macet.
Belum sempat keduanya sampai di rumah kos, hujan sudah mengguyur. Enggan untuk berteduh karena jarak yang sudah sangat dekat, Rais memilih menambah kecepatan motornya. Menerobos hujan yang bertambah deras.
Sepasang kekasih itu berlari menuju teras indekos dengan menutupi kepala menggunakan tas masing-masing. Rais melepas jaket dan helmnya yang basah kuyup.
“Hujannya deras banget, Mel. Kita pasti tidak akan sampai jika situasinya kayak gini. Kalau kamu naik taksi, sempat nggak waktunya?”
Melisa melepas helm, kemudian melirik jam tangannya. Dia menggeleng lemah. Wajahnya yang sendu cukup menjelaskan kekecewaan yang dia rasakan.
“Ya, sudahlah. Kayaknya emang gak direstui buat berangkat hari ini. Waktunya sudah mepet banget. Kalau pakai taksi, bakal kejebak macet di jalan karena kendaraan masih padat,” ujar Melisa.
“Jadi gimana?” tanya Rais
“Entar aku kabarin orang rumah aja. Sebaiknya kamu ganti baju dulu. Bajumu sudah basah semua. Masuk angin nanti. Kalau hujannya reda, baru kamu balik.”
Mereka berdua berjalan ke kamar Melisa yang ada di lantai dua. Biasanya, penghuni kos pada nongol di jam segini, tetapi kali ini tidak. Suasana tampak lengang. Mungkin hujan telah mencegah para pemilik kamar untuk pulang.
Melisa membongkar isi koper yang sudah dia siapkan sebelumnya. Mencari baju yang cocok untuk Rais pakai.
“Nih, pakai baju kakakku. Bulan lalu dia datang menjenguk, sekalian mengantar keluarga ke bandara. Mudahan aja cocok,” ujar Melisa, menyerahkan kaus oblong dan celana kepada Rais.
Beberapa menit kemudian Rais telah selesai mengganti baju. Melisa tertawa saat melihat pria di hadapannya memakai pakaian yang kekecilan. Memperlihatkan otot lengan pria tersebut yang sesak.
Ada sesuatu yang menjalar di hatinya. Cepat-cepat gadis itu beranjak ke kamar mandi untuk mengganti bajunya yang juga basah kuyup. Dia tidak ingin Rais berpikir yang tidak-tidak tentangnya.
Sore kian beranjak, hujan seolah-olah menunjukkan tak ada tanda-tanda untuk segera reda. Kilat mulai menghiasi langit yang gelap. Beberapa kali terdengar suara petir yang menyambar.
Keduanya terpaku dalam diam. Enggan untuk mendekat dan saling menjaga jarak. Mereka hanya menatap guyuran air dari langit melalui kaca, larut dalam pikiran masing-masing. Hanya sesekali tersenyum salah tingkah saat pandangan mereka bertemu.
Suara petir yang menggelegar dengan sangat keras membuat Melisa berteriak dan mendekat ke arah Rais. Refleks gadis itu membenamkan wajah pada lengan pria yang ada di dekatnya.
Rais mengusap pelan pucuk kepala gadis di sampingnya. Berusaha menenangkan. Dia bahkan merasakan napas Melisa yang bergerak naik turun, seperti sedang ketakutan. Didekapannya erat gadis yang dicintainya saat suara petir kembali berbunyi.
“Dah, enggak apa-apa, petirnya sudah selesai,” ucap Rais.
Melisa mendongak menatap keluar jendela. Memastikan ucapan Rais. Pandangannya beralih ke arah pria di sampingnya. Mata keduanya kembali bertemu. Suasana hening membuatnya larut dalam situasi yang salah.
Cukup lama Rais menatap gadis di hadapannya. Mencoba menahan luapan rasa yang sedari tadi meronta. Melisa yang merasakan hal serupa hanya diam ketika jarak keduanya sudah semakin dekat. Jiwa laki-laki Rais bergejolak. Jantungnya seakan melompat keluar.
Bunga di hadapannya begitu menarik untuk dipetik. Dinginnya malam semakin membuat keadaan semakin sulit. Bahkan saat bisa saling merasakan embusan napas, bukannya mengelak, keduanya malah semakin larut. Tanpa sadar, kedua insan yang saling mencintai itu kini larut dalam kehangatan. Ya, kehangatan yang membawanya ke dalam kubangan dosa ….
Bersambung ….
Balikpapan, 30 Mei 2021.
Rizka Wirdaningsih Abdi, muslimah pecinta senja. Panggil saja Mbak Conan.
Editor : Lily