Ikhlas
Oleh: Ketut Eka Kanatam
Maaf, Dek. Aku belum bisa pulang.
Itu pesan yang kubaca dari Mas Ibra di handphone menjelang tengah malam.
Ya, Mas.
Gemetar jariku saat membalas ucapannya. Kucoba menahan gemuruh di dalam dada. Tidak mungkin aku berteriak histeris saat ini, ada anak-anakku di kamar sebelah.
Setahun yang lalu, aku masih biasa saja menerima alasannya yang hanya bisa pulang tiap tiga bulan sekali. Dia sedang mengerjakan proyek rumah bersubsidi dari pemerintah yang membuat dirinya tidak leluasa untuk pulang.
Aku memaklumi semua, mempersiapkan diri mengurus sendiri kedua buah hati. Dia sedang berjuang mencari nafkah demi kehidupan kami menjadi lebih baik.
Adanya pandemi corona juga mendorongku meminta padanya agar lebih baik menjaga diri. Jangan terlalu sering mengadakan perjalanan pulang. Aku merasa khawatir dia akan terpapar penyakit mematikan itu saat perjalanan menemui kami.
Aku dan anak-anak merasa cukup puas ketika bisa seminggu sekali melakukan tatap muka jarak jauh melalui ponsel. Kami mengobrol tentang semua hal sepuasnya.
Malam ini, pesannya tidak lagi membuatku tenang saat membacanya. Pemakluman yang kuberikan tak lagi terasa bermakna. Aku hanya bisa menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan-lahan.
Seseorang mengirimiku foto. Apakah foto dia sedang merangkul seorang wanita di sebuah pub itu bisa kuanggap biasa saja? Apakah pesta itu dilakukannya demi menjamu relasi agar proyeknya berjalan lancar? Pertanyaan itu tidak mampu kujawab dengan lugas.
Sejak menikahinya lima belas tahun yang lalu, aku sudah tahu kalau Mas Ibra seorang pekerja lapangan. Dia tidak bisa kuharapkan pergi pagi pulang sore hari, kemudian bercengkerama denganku menghabiskan waktu di petang hari.
Aku sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Siap menjadi istri yang percaya penuh pada kesetiaan dan cintanya. Yakin dengan ucapannya yang mengatakan bukan kuantitas yang penting, tetapi kualitas pertemuan di antara kamilah yang utama.
Semua berjalan dengan indah sampai satu per satu buah cinta kami hadir dan memeriahkan rumah yang sebelumnya cenderung sepi.
Aku mulai disibukkan dengan mengurus, mengasuh, dan mendidik mereka berdua. Firdaus dan Ilma menjadi anak-anak yang berbakti pada orang tua. Aku merasa bangga memiliki mereka berdua.
Meskipun sebagian besar waktu mereka dihabiskan bersamaku, tidak pernah kuajarkan mereka tidak menghargai bapaknya. Pengertian demi pengertian kuberikan saat ada acara penting di sekolah hanya aku yang bisa menghadiri.
Mas Ibra juga bisa menempatkan diri dengan baik. Begitu dia pulang, selalu menghabiskan waktu bersama mereka. Dia mengajak anak-anak jalan-jalan, belanja, dan mendengarkan semua keluh kesahnya.
Terkadang aku protes dengan sikapnya itu karena dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka sampai sering tidur di kamar kedua anakku.
Sikap dan kata-katanya yang romantis saat bisa benar-benar bersamaku menghapus protes itu. Kami menghabiskan malam dalam penyatuan diri. Aku bisa kembali tersenyum keesokan harinya. Kemesraan yang dia lakukan menjadi kekuatanku menjalani hari-hari sendirian dan mengatasi setiap masalah tanpa bantuannya.
Kini, pondasi kepercayaan yang sudah kubangun dengan kokoh itu mulai retak. Mataku tidak bisa berpaling dari foto tersebut. Naluri seorang istri mengatakan ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Cara Mas Ibra menatap wanita itu membuat hati ini tidak lagi bisa tenang.
Aku mulai bertanya-tanya. Apakah kebahagiaan yang selama ini kami lalui bersama itu adalah nyata? Apakah kepercayaan penuh yang aku berikan padanya adalah suatu kesalahan?
Seperti kata orang, kejahatan terjadi karena kita yang mengizinkannya terjadi. Mungkinkah dia berani bermain mata di belakangku karena aku telah membiarkannya hanya bertanggung jawab di bidang materi saja?
Apa yang dilakukannya sekarang karena aku abai dengan pengawasan sebagai istri pada suami?
Apakah biduk rumah tangga kami masih bisa menantang badai di lautan jika layarnya sudah patah seperti ini?
Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di benakku, tanpa tahu apa jawabannya.
Hatiku terasa begitu sakit setiap memikirkan semua jawaban yang mungkin keluar dari setiap pertanyaan itu.
Kuhapus air mata yang tiba-tiba saja menetes. Kucoba mengulang kata-kata penguatan diri seperti malam-malam sepi yang biasa kulalui tanpa sentuhannya. Kucoba memandang kedua wajah anakku yang tersenyum bahagia di latar layar ponselku.
Semua usaha yang kulakukan berakhir sia-sia. Air mata kembali mengalir dengan deras.
Sentuhan lembut di bahu menyadarkanku.
“Ilma? Ada apa, Nak?”
“Ayo, bangun, Bu. Waktunya sahur, Bu.”
“Aduh, maaf, Nak, Ibu ketiduran. Sudah jam berapa sekarang?”
“Sudah jam setengah lima, Bu. Alarm bunyi, aku langsung hangatkan lauk, Bu. Belum terlambat jika kita makan sekarang.”
Anakku tersenyum, membuatku seolah-olah sedang memandang Mas Ibra. Dadaku kembali terasa nyeri.
“Ada apa, Bu? Kenapa wajah Ibu begitu pucat. Mata Ibu juga bengkak.”
Ilma memegang tanganku, sorot matanya begitu mengkhawatirkanku.
“Tidak apa-apa, Nak. Ayo, kita sahur.”
Tatapan matanya masih tidak percaya akan jawabanku. Dia memilih diam ketika melihat aku terus menggeleng sambil mengatakan semua baik-baik saja.
Kakaknya sudah menunggu kami di meja makan. Sorot matanya sama dengan Ilma, mengkhawatirkanku dan menuntut penjelasan.
“Ibu akan terus terang pada kalian seperti permintaan Ibu pada kalian selama ini. Mata Ibu bengkak karena menangis. Ada sesuatu sedang menimpa Ibu. Jika waktunya sudah tepat, akan Ibu beritahu kalian.”
Saat Firdaus jadi imam salat Subuh, kupanjatkan doa agar semua ketakutanku dihilangkan oleh-Nya. Apa pun yang terjadi nanti, aku akan menghadapi dengan ikhlas.(*)
Bali, 05 Mei 2021
Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di Taman Kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.
Editor : Uzwah Anna