Marianti, Karima, dan Setan-Setan di Antaranya
Oleh: Dyah Diputri
Ada setan menyulut percik-percik api di dada Marianti. Raganya yang ibarat sekam, perlahan menguarkan asap gosong. Kepulan demi kepulan membumbung ke langit tanpa hujan. Matahari menambah panas hingga ia terbakar.
Tak henti dipandangnya sang pasangan pengantin. Sementara air mata belum kering oleh jasad sang ayah yang beraroma gaharu, hatinya harus lebur pula. Kakak angkat kesayangan orang tuanya—Karima—melaksanakan “nikah mayit”[1] dengan pria yang sudah dipacarinya diam-diam selama ini. Habis jatuh tertimpa tangga. Nasib sial bertubi menyapa. Di antara sedu-sedan pengantaran jenasah Ayah ke peristirahatan terakhir, Marianti menatap penuh amarah. Tidak cukup kamu merebut perhatian Ayah dan Ibu dengan gaya sok polosmu, sekarang kamu ambil juga pacarku, batin perempuan itu, dongkol.
Pelayat berhamburan pulang. Tersisa Karima—dengan kebaya putih tulang; polesan natural dan sederhana; juga gelungan rambut berhias ronce kuncup melati—tersuruk dalam pelukan Arman. Untuk sesaat kesedihan sedikit berkurang berkat elusan lembut di lengan yang diterima dari si suami. Meski air mata tak kunjung berhenti, setidaknya ia masih punya alasan untuk tetap hidup. Sudah tidak ada Ayah dan Ibu, tapi ia punya Arman dan Marianti, pikirnya.
“Sabar, Rima. Ikhlaskan ayahmu.” Arman berujar lembut.
Dua insan itu tidak sadar, ada setan menyulut percik-percik api di dada Marianti. Si adik angkat barulah pulang dari pemakaman. Dengan langkah cepat melewati pasangan pengantin, menuju kamar. Ia bukan tak mendengar panggilan kakaknya. Bahkan sejak di depan pintu pun, mata Marianti sudah bosan melihat adegan pelukan. Sungguh, tidak ada waktu untuk berbasa-basi lagi. Saatnya merencanakan bisik setan. Cemburu sudah meletup di ubun-ubun.
Selama beberapa hari Marianti ditemani setan dalam lamunan, disuapi saat makan, juga disirami air panas di otaknya saat ia mandi. Bibirnya jadi terkunci pada Karima. Hanya mau buka mulut jika Arman yang mengajak bicara. Sebenarnya ia sudah tak tahan menggeret Arman untuk bicara, empat mata saja.
“Mas, Mar belum makan dari pagi. Aku tidak tahu kenapa ia mendiamkanku. Hanya Mas saja yang bisa membujuk,” lirih Karima. Mata bulat itu sudah tidak terlalu sembap, tapi semangat belum juga kembali sepeninggal ayahnya.
Arman memandang istrinya. Sudah seminggu berlalu, tapi rambut Karima belum basah. Ladang yang sudah sah untuk digarap, nyatanya masih menolak untuk diairi. “Bukan saat yang tepat” dijadikan alasan. Padahal, tinggal seatap bahkan sekamar dengan gadis beraroma melati membuat jakun Arman naik-turun. Berkali-kali ia menelan ludah karena hanya bisa memandang tubuh Karima.
“Mas, malah melamun. Ini sarapan Mar, bujuk ia makan. Aku mau ke pasar, ya.” Karima mengenakan kerudung. “Bukankah besok harus kembali bekerja? Kulihat tasmu sudah berlubang, nanti biar aku belikan yang baru,” lanjutnya.
Arman mengangguk-angguk saja. Tangannya mengusap-usap janggut saat menatap punggung Karima. Lenggak-lenggok bak peragawati memunculkan kembali hasratnya. Namun sial, lagi-lagi ia harus menelan ludah.
Ada setan menyulut percik-percik api di dada Marianti. Kepalanya hampir meledak tiap kali mendapati Arman tengah memfokuskan pandangan pada Karima. Marianti memang kalah bodi. Tubuh kecil semampai, wajah tirus, kulit sawo matang—yang jika disandingkan dengan Karima tampak seperti gula putih dan gula aren. Matanya juga tidak sebulat Karima. Kelebihan hanya ada di bibir sensualnya. Ah, kami memang bukan saudara. Karima hanya anak angkat yang dipungut Bapak untuk memancing kehamilan Ibu, karena aku tak kunjung hadir. Dibantingnya pintu kamar dengan kesal.
Setan mengingatkan Marianti pada masa di mana ia hanya menerima semua bekas Karima. Baju, boneka, mainan, buku, bahkan tas sekolah. Tidak ada yang baru. Dengan alasan tidak mau mengagungkan anak kandung dibanding anak pancingan, ayah dan ibu Marianti menyejajarkan kasih sayang dan fasilitas. Lebih buruk, malah.
“Kalau ayah meninggal sebelum pernikahanmu, maka nikah mayit sekalian, Rima. Ayah sudah siapkan calon untukmu,” pesan sang ayah sebelum tiada.
Wasiat itu bagai pedang yang menebas leher Marianti dalam sekali hitung. Siapa yang bisa menerima kekalahan terus-menerus?
“Mar. Boleh aku masuk?”
Perempuan itu sontak tersenyum. Mas Arman hanya berdua denganku saat ini. Kesempatan yang bagus! Mimik kesal berganti semringah. Setan membantu Marianti membuka handel pintu. “Mas,” sapanya.
“Makanlah dulu, Mar. Jangan menutup diri terus.” Arman meletakkan nampan di meja rias. Keduanya kini berdiri berhadapan. Saling menatap tanpa kedip.
“Mas Arman keterlaluan. Kenapa malah menikahi Rima? Sengaja, ingin menghancurkan aku? Atau jangan-jangan selama ini mendekatiku hanya sebagai batu loncatan?” Marianti meledak-ledak. Kali ini, setan tidak ikut campur.
Arman meraih kedua pundak perempuan itu. Marianti meronta, berlagak jual mahal walau sebenarnya menunggu dipeluk. “Mar, dengarkan aku. Ibuku sudah salah paham. Dikiranya wanita yang kucintai itu Karima. Aku juga kaget sewaktu pernikahan ini ditetapkan. Aku tidak punya celah untuk bicara, semua sibuk mengejar waktu sebelum ayahmu dikuburkan.”
“Pembohong.” Marianti menampik tangan Arman. “Buktinya, kamu menikmati perkawinan dengan Rima. Mana kamu pikirkan perasaanku, Mas? Apa hubungan kita tidak berarti di matamu?” ucap ketus Marianti.
Arman menggeleng. Ucapan wanita itu salah besar. Baginya, Marianti tetap yang terbaik. Mungkin, karena jiwa lelakinya belum terpuaskan oleh Karima. Berkali-kali ia menghela napas kasar, berharap amarah kekasihnya mereda.
“Aku bahkan belum, ehm, maksudku aku tidak akan menyentuh Karima. Gadis itu juga menolak. Percaya, Mar. Aku cuma mau kamu.” Arman mengobral bualan.
Mata mereka kembali bersitatap. Debar-debar rindu menggelitik keduanya. Arman menyingkirkan helai rambut yang menutupi bibir sensual Marianti. Setan membuncahkan gairah. Entah sudah berapa lama tak dilumatnya bibir itu. Keringat mengaliri tengkuk, juga telapak tangannya. Meski tidak secantik Karima, wajah eksotis Marianti memang lebih menggoda.
Perlahan percik-percik api setan berubah jadi nafsu. Rasa kangen merajai Marianti. Saat perlahan bibir keduanya bertemu, ia lupa pada gejolak cemburu. Saat bergumul seperti waktu dulu, hatinya mantap mempertahankan Arman. “Jangan membuatku cemburu,” ujarnya manja di puncak temu rindu.
Setan meniupkan suara yang sama setiap kesempatan itu ada. Arman tidak lagi mengharap uluran tangan Karima, selama Marianti siap menjadi tadah spermanya. Puluhan kali cumbu, belasan kali tubuh perempuan itu terjamah. Sengaja dipilihnya hari libur yang berbeda dengan jadwal libur Karima, agar ia punya kelonggaran untuk meluapkan berahinya.
Namun, sepandai-pandai tupai meloncat, pasti akan terjatuh juga. Namanya maling pasti tertangkap pada waktunya. Hari itu Karima memilih kerja setengah hari, sebab badan yang tiba-tiba meriang. Ia pulang dengan badan lemah ke rumah. Tak disangka, hati dan jiwanya akan tercabik-cabik oleh desah dan rintihan nikmat yang terdengar dari bilik kamar Marianti.
Karima roboh ke ubin yang dingin, sedang seluruh tubuh diserang hawa panas. Dari ujung kepala hingga ujung jari kaki, semua bergetar. Dua bulan menikah dengan Arman, membuat perempuan itu hafal dengan suara sang suami. Matanya berusaha membendung cairan yang hendak luber, tapi tak berhasil.
“Ouh, Mar. Aku mencintaimu.”
Suara di balik pintu kamar Marianti ibarat godam yang memukul dada Karima berkali-kali. Erangan Marianti di detik selanjutnya mulai membuat Karima mual. Ia bangkit dan berlari ke kamar. Suara tangisnya tertahan, tapi dalam hati meraung-raung. “Kenapa, Mas? Kenapa harus adikku?” lirihnya dalam sesak.
Sejurus kemudian, Karima teringat perbincangannya dengan Arman beberapa waktu yang lalu.
“Aku belum bisa melayanimu, Mas. Maafkan aku,” ujar Karima sembari menunduk. Ia tepis lembut tangan Arman yang hendak menyentuh lehernya.
Arman mendengkus. Tangan berkacak pinggang. “Kalau begini terus, aku tidak tahan, Rim. Bagaimana jika ada wanita lain yang bisa membuatku berpaling darimu?”
Karima membelalak. “Maksud Mas apa? Mas mau melakukannya dengan wanita lain? Apa Mas nggak mikirin perasaanku?”
Arman tergelak sebelum akhirnya berkata, “Loh, kenapa dengan perasaanmu? Kamu belum siap, kan, karena tidak mencintaiku. Jadi, kenapa harus cemburu?”
“Memang, siapa juga yang cemburu?” Karima membuang muka. Semburat merah jambu mulai menghiasi wajah ayunya.
“Nah, itu … kelihatan dari wajahmu.” Arman semakin tergelak.
“Ke-ge-er-ran. Pokoknya aku belum siap. Tapi awas saja kalau kamu macam-macam.”
Perih. Kenyataan yang kini diterimanya sungguh perih. Hati Karima kini disengat kekecewaan. Bukan lagi cemburu yang merasuki nurani, melainkan kebencian. Ia benci Arman, benci Marianti, benci dengan cara kedua orang itu menghancurkan hidupnya.
Setan-setan yang lain berdatangan di kepala Karima. Mereka bertakziah, turut berduka cita. Lantas, dengan bibir beraroma kedengkian, hasutan-hasutan itu terbisikkan. Mereka bertebaran di otak, telinga, mulut, tangan, dan kaki. Masing-masing darinya ada yang menangis, tertawa, juga marah.
Sialnya hidup engkau, Karima. Dibuang sejak napas pertama, dipungut seperti bayi kucing di antara gunungan sampah, lalu hidup di antara busuk dunia. Menangis, Karima. Menangis saja!
Bukankah memang hidup sudah menertawakanmu? Hidup tidak memberi kesempatan padamu untuk bahagia, Karima. Ayah-ibumu sudah pergi. Kesendirian itulah tempatmu dikucilkan. Engkau sebenarnya tidak punya saudara.
Siapa? Siapa saudara tempatmu berbagi duka lara? Tidak, Karima. Dia musuhmu! Musuh dalam selimut, bahkan selimut di kamarmu. Pengkhianat! Dia merebut semua milikmu. Sejak kelahirannya, hingga saat engkau hendak menikmati bulan madu. Tidak, sekali lagi tidak, Karima! Bulan madu tidak ada dalam takdirmu!
Kepala Karima terasa berat. Gemuruh di dada bertalu-talu, meneriakkan lara yang paling lara. Pasangan binal masih belum keluar dari kamar, masih tak menyadari kehadirannya. Dasar biadab. Lagi, ia membatin.
Ya, mereka biadab. Jahanam! Mereka tidak pantas bernapas! Suara-suara setan kembali bergaung di telinga. Tangan, kaki, dan bibir Karima semakin gemetar dibuatnya.
Lenyapkan! Lenyapkan! Habiskan sakit hatimu sekarang!
Bahu Karima berguncang-guncang. Air mata telah menutup hati dengan gulungan kain setan. Jeratnya mengikat erat. Hati sekarat!
Setan menuntun langkahnya yang tertatih. Keluar kamar, melewati ruang tamu, lalu berakhir di dapur. Air mata tak henti mengalir. Mengapa Mas Arman tidak mau menunggu? Mengapa melampiaskan hasrat pada Marianti? Mengapa?
Pisau daging tercabut dari tempatnya. Tangan Karima kuat memegang, lagi-lagi setan membantunya. Pundak tidak lagi melorot, bibir tak lagi bergetar. Akan kuakhiri semua.
Setan-setan berbaris di kanan-kiri Karima. Ingar bingar suaranya terus bergema di kepala perempuan itu. Beberapa di belakang mendorong sambil bersorak. Beberapa lagi tetap menggandeng tangan, juga mengencangkan pegangan pada belati.
Karima berjalan dengan napas memburu. Matanya tajam mengarah pada pintu kamar Marianti. Kamar yang masih dipenuhi rombongan setan di pihak Arman dan Marianti. Kalaupun harus berperang, setan miliknya yang harus menang.
Jalan.
Bunuh.
Segera.
Jangan berhenti!
Namun, Karima berhenti di ruang keluarga. Sumpalan kain hitam yang menutup hatinya terkelupas. Setan-setan kocar-kacir, lari tunggang langgang. Setan tidak menemani jiwa yang bersih. Belati diempaskan ke karpet. Matanya kembali membentuk bendungan.
Diambilnya foto mendiang ayah dan ibunya. Hati menjerit sepuas-puasnya. Pikirannya melayang ke masa kecil dulu. Masa orang lain yang dengan setulus hati menerima keberadaannya. Mereka yang menganggap Karima seperti anak pertama, membuat hidup selayaknya manusia.
Karima menangis dalam hati, mengingati kasih sayang yang terkadang dicemburui Marianti. Ia ingat lagi suara detak jantung Ibu yang mengalun lembut mengiringi lelap tidurnya, juga keringat Ayah yang menempel di kulitnya sepulang kerja. Tidakkah itu semua lebih dari cukup untuk membuat ia kuat bertahan? Setidaknya, foto itu bisa jadi temannya untuk mencari kehidupan yang baru. Bukannya setan yang mengajaknya ke lubang hitam tanpa cahaya.
Malang, 16 Januari 2020.
[1] nikah mayit: pernikahan di hari yang sama meninggalnya wali nikah, dengan jasad sang wali sebagai saksinya.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata