Santoloyo

Santoloyo

Santoloyo

Oleh : Chan

Namaku Susanto. Ketika aku masih bocah, orang-orang desa memanggilku “Santoloyo”. Sungguh aku tidak menyukai panggilan itu dan ingin membacok mulut-mulut yang mengucapkan nama itu. Namun, saat itu aku masih bocah lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima dan menyemai dendam.

Selain pandai menyematkan panggilan yang merendahkan, mereka menganggapku sebagai bocah yang bodoh dan nakal. Bahkan banyak yang bilang, dengan kemiskinan dan kenakalanku, aku tidak akan mempunyai masa depan. 

Entah apa hubungannya keadaan saat seseorang dilahirkan dengan masa depannya? Mereka tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya menyuruh Bapak agar menyekolahkanku. Tidak seperti anak-anak mereka yang bersekolah yang mereka gembar-gemborkan akan menjadi insinyur, PNS, atau pegawai kantoran yang akan memberi sumbangsih bagi kemajuan desa, aku tidak bersekolah. Kata Bapak, bagi orang miskin seperti kami, sekolah adalah alasan buruk untuk membuang uang dan waktu. 

Aku juga setuju dengan pendapat itu dan enggan bersekolah. Setiap hari, jika tidak menjala ikan bersama Bapak, aku keluyuran keliling kampung atau ke blusukan ke hutan, mengetapel burung dan mencuri singkong milik warga desa untuk makanan tambahan. Sekali-dua kali aku ketahuan, dan diomeli. Mungkin itulah yang menyebabkan mereka kian membenciku.

Aku tidak mengerti mengapa mereka bersikap begitu. Bukankah kenakalan semacam itu wajar dilakukan oleh anak seusiaku? Bukankah mereka juga pernah menjadi anak-anak? Kata Bapak, sejenis racun telah mencuci otak mereka ketika beranjak dewasa. Racun itu bernama kepicikan, membuat mereka merasa menjadi orang suci yang melupakan masa lalunya dan gemar menghakimi.

Suatu hari, ketika anak-anak mereka yang seumuranku pergi bersekolah, aku mengendap-ngendap ke kebun Mbah Warsito. Mangga-mangga di kebun itu ranum dan menggoda. Mbah Warsito tidak pernah membagikan mangganya kepada bocah mana pun selain cucunya, apalagi kepada bocah sepertiku. Maka, aku berinisiatif mengambilnya sendiri.

Seingatku, aku cuma mengambil empat mangga. Dua untukku, dua untuk Bapak. Mangga-mangga itu kutaruh di dalam lipatan baju. Setelahnya, aku segera turun dengan perasaan riang dan bayangan manisnya mangga di mulutku. Namun baru saja kakiku menjejak tanah, tiba-tiba seseorang menangkap dan memiting tanganku seraya memaki, “Dasar bedebah cilik!”

Aku menoleh. Rupanya orang itu Mbah Warsito. Ia melotot. Dalam bayanganku ia tampak seperti genderuwo yang pernah Bapak ceritakan. Mangga-mangga itu ia rebut. Aku diomeli. Kupingku dijewer dan dipelintirnya kuat-kuat hingga terasa bakalan tanggal. Pantatku juga dipukulinya, perih sekali. Seperti belum puas, ia menyeretku ke rumah. Sesampainya di rumah, ia mengadukan perbuatanku pada Bapak.

Bapak meminta maaf dan pemakluman serta berjanji aku tidak akan mengulanginya lagi. Setelah Mbah Warsito pergi–usai puas memaki-maki Bapak dan mengutuk keadaanku yang tak beribu–Bapak menyuruhku masuk. Aku melakukan apa yang ia minta sambil berpasrah, mengira ia akan memukuliku. Dugaanku salah, Bapak malah mengobati luka-lukaku dengan minyak gosok sambil berkata dengan suara datar, “Sudah, tidak apa-apa, Le. Lain kali lebih hati-hati.” Dan dadaku terasa ringan.

Aku mungkin tidak bersekolah, tetapi aku juga belajar dari kesalahan. Aku mempraktikkan hasil pelajaranku dengan mencuri mangga ketika hari sudah gelap. Aku melakukannya berkali-kali. Semakin lama, aku semakin lihai dan sasaranku bukan cuma mangga saja. Baju, hewan peliharaan, atau apa pun yang berada di luar dan tidak terjaga, akan kugasak untuk kujual.

Beberapa warga mulai mencurigaiku. Mereka berkasak-kusuk dan menatapku dengan tatapan yang menusuk setiap aku lewat, bahkan ada yang menuduhku terang-terangan. Namun, aku selalu mampu berkelit karena tidak ada bukti dan saksi, kecuali Bapak. Itu pun karena aku beri tahu.

Bapak tak pernah marah. Walaupun demikian, Bapak selalu dilanda kecemasan. Ia khawatir aku ketiban apes, dipergoki, lalu diamuk massa dan mati dibakar seperti tikus di sawah. Agar itu tidak terjadi, Bapak akhirnya menyuruhku merantau.

Meskipun berat, aku setuju. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman, pikirku. Suatu pagi, saat umurku 16 tahun, aku pun meninggalkan desa bermodalkan uang yang hanya cukup untuk tiket bus sekali jalan dan biaya makan dua hari.

Selama merantau, aku menjumpai bermacam-macam manusia. Dari sana aku kembali mempelajari apa yang tidak diajarkan di bangku sekolah, bahwa tidak semua yang buruk rupa itu jahat dan tidak semua yang terlihat indah itu baik kepadaku. Perjumpaan-perjumpaan juga itu mengasah naluriku untuk mengenali sifat seseorang.

Di perantauan, aku hidup berpindah-pindah dan menjajal berbagai macam pekerjaan. Aku juga mencoba berbagai macam jalur kehidupan. Yang terang dan yang gelap. Semuanya menuntun dan mengajariku satu hal, bahwa untuk bertahan hidup, tekadku harus lebih keras daripada kehidupan itu sendiri.

Puas merantau aku pun pulang. Rupanya warga desa masih menaruh curiga dan membenciku. Merantau membuat mentalku kian tebal sehingga mampu menangkis tajamnya tatapan mereka. Dengan modal yang kudapat dari sebuah pekerjaan saat merantau, aku mendirikan peternakan sapi. Kandangnya kubuat sendiri di samping rumah Bapak.

Mula-mula aku hanya memelihara lima ekor sapi saja. Namun, berkat ilmu yang kudapat, sapiku berkembang menjadi 10, kemudian menjadi 20, kemudian berkembang lagi hingga menjadi 100 ekor sapi. Dengan hasil penjualan sapi, aku bisa membeli lahan dan mempekerjakan beberapa warga desa.

Tidak hanya peternakan sapi, aku juga membuka usaha tambak ikan. Pada tahun ketiga, aku sudah mempunyai sepuluh kolam ikan mas dan lima kolam ikan nila. Pekerjanya juga kuambil dari warga sekitar. Lebih tepatnya, mereka yang menawarkan diri bekerja padaku.

Bukan cuma kehidupanku yang membaik. Desa ini juga ikutan maju. Masjid reyot yang tak pernah kumasuki kubikin lebih luas dan megah. SD dan SMP juga kudirikan, agar penduduknya mampu menciptakan lebih banyak insinyur, PNS, dan pekerjaan muda lainnya tanpa repot-repot mengirim anak mereka ke kecamatan. Kemudian, terciptalah cerita tentang bocah bodoh dan nakal yang berubah menjadi lurah. Cerita itu diceritakan dari orang tua kepada anak-anak mereka dengan harapan agar anak-anak itu bisa mengikuti jejak tokoh utamanya: aku.

Julukan Santoloyo sudah dilupakan. Kini orang-orang desa memanggilku “Pak Lurah” atau “Bos Santo” dengan penuh hormat. Mereka selalu menunduk dan tersenyum jika berpapasan denganku. Dengan sembunyi-sembunyi, orang tua-orang tua menawarkan anak gadisnya kepadaku untuk dijadikan istri simpanan. Bahkan ada beberapa kader partai politik yang mendekatiku. Mereka bilang bisa memuluskan jalanku jika ingin menjadi anggota dewan rakyat daerah. Untuk soal politik, nanti dulu, tetapi untuk soal istri muda, ya bolehlah. Toh, agamaku mengijinkan seorang lelaki beristri empat.

Lalu, bagaimana dengan anak-anak seumuranku, yang dulu bersekolah dan diharapkan bisa membangun desa? Apakah mereka menjadi insinyur, PNS, atau orang berpendidikan? Ya, mereka menjadi insinyur, PNS, dan menggeluti profesi-profesi hebat lainnya di kota dan membuat orang tua masing-masing bangga. Masalahnya, semua hanya membawa perubahan untuk diri mereka sendiri.

Pada hari lebaran, insinyur, PNS, dan orang-orang berpendidikan itu pulang ke desa. Setelah mengetahui berita kesuksesanku, mereka mampir ke rumahku, rumah bocah yang dulu mereka hina karena tidak bersekolah. Mereka bilang kedatangan mereka hanya sekadar bersilaturahmi. Mereka lantas mengobrol ngalor-ngidul. Ujung-ujungnya, mereka mengajak berbisnis, malah ada yang tanpa malu meminjam uang. Rata-rata semuanya menanyakan satu pertanyaan yang ada di benak para warga, rahasia kesuksesanku.

“Semua berkat kerja keras dan kemampuan menjalin koneksi,” jawabku sambil memakan oleh-oleh atau mengisap cerutu yang mereka bawa.

Mendengar jawabanku, mereka tertawa. Bukan tawa yang tulus, melainkan tawa yang dibuat-buat, tawa khas seorang penjilat. Dari sorot mata mereka, aku tahu mereka menginginkan jawaban yang lebih rinci.

Tentu saja aku tak berniat memberitahu mereka. Aku selalu menutup pembicaraan dengan mengatasnamakan takdir Tuhan. Aku tahu mereka tidak percaya. Kepercayaan mereka bukan urusanku dan aku tidak perlu kepercayaan dari mereka.

Mereka tidak perlu tahu alur lengkapnya, bahwa modal membuka peternakan sapi itu kuperoleh setelah merampok seorang saudagar di kota. Mereka juga tidak perlu tahu bahwa majunya usahaku berkat jampi-jampi dari seorang dukun di pulau seberang. Mereka tidak perlu tahu itu. Mereka hanya perlu menghormati dan menjilatku. Itu saja. (*)

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply