Kondangan

Kondangan

Kondangan
Oleh : Rinanda Tesniana

Aku menyambut Abim, suamiku yang baru saja pulang kerja. Rasa lelah jelas tergambar di wajah perseginya. Rambut cokelat miliknya sudah tidak serapi tadi pagi. Banyak anak rambut berjatuhan di pelipis. Pemandangan yang menurutku sangat indah. Sayang sekali, wajah tampannya sangat murung, ekspresi yang selalu aku dapat setiap dia pulang kerja.

Kulempar seulas senyum manis kepadanya, berharap wajah tegang itu agak meregang. Sia-sia. Abim tampak tak peduli dengan senyumku. Dia melempar begitu saja tas kerjanya. Aku menghela napas. Ini adalah bagian yang aku benci saat Abim pulang kerja.

Abim memang tidak telaten dengan barang. Setiap pulang kerja, dia akan melempar tas, sepatu, kaus kaki, dan dasinya begitu saja ke lantai. Aku seperti babu, memunguti satu persatu barang-barangnya.

Setiap hari, adegan ini terulang. Di usia tiga bulan pernikahan kami, aku baru tahu, Abim bukan suami yang perhatian dengan hal-hal kecil.

Setelah mandi, wajah Abim tampak lebih segar. Aroma maskulin menguar dari tubuh tingginya. Kekesalanku karena kejadian pulang kerja tadi, menguap entah ke mana. Selalu seperti itu. Cintaku padanya yang terlalu besar, sering kali membuatku memaklumi sikap Abim yang kadang membuat hati kecilku sedih.

“Masak apa, No?” tanyanya.

“Ikan tongkol, Bim,” jawabku sambil merebahkan kepala di bahunya.

“Aku capek banget.” Dia menggeser tubuhnya, menjauhiku dan pergi ke teras.

“Bikinin teh, ya,” perintahnya.

Aku hanya mengangguk. Kadang aku merasa, dia menikahiku karena membutuhkan seorang pembantu yang rela mengurusnya tanpa perlu dibayar sepeser pun. Dia memerintah tanpa pernah mengucap kata tolong, sangat bertentangan dengan ajaran keluargaku yang akrab dengan kata tolong, maaf, dan terima kasih.

Aku menghidangkan teh manis hangat ke hadapan Abim. Lelaki itu langsung meneguknya hingga habis separuh.

“No, minggu depan kita kondangan, ya. Si Asep nikah.”

Mataku membesar. Hatiku dipenuhi rasa bahagia karena ajakan sepele itu. Pergi kondangan dan lepas sejenak dari rasa bosan karena mengurus rumah tangga. Tiga bulan menikah bisa dikatakan aku tak pernah ke mana-mana. Abim memang bekerja jauh dari kota tempat kelahiranku. Sejak pacaran, dia sudah memastikan komitmenku untuk tinggal dengannya di dekat perkebunan sawit ini.

Tempat ini jauh berbeda dengan kota kelahiranku, ibu kota provinsi yang ramai. Apalagi, aku dulu bekerja. Tentu saja pergaulanku luas dan memiliki banyak teman.

Situasinya berbeda jauh dengan di sini. Tetangga tidak ramai, karena kebanyakan karyawan kebun memilih tinggal di kabupaten yang jaraknya hanya dua puluh kilo dari kompleks perkebunan ini. Awalnya, aku pikir Abim akan memilih hal yang sama, ternyata Abim malah membawaku tinggal di tempat ini. Sepi dan bau limbah sawit.

Ketika aku merengek agar dia membawaku pindah ke kabupaten saja, Abim berkelit.

“Di sini semua gratis, No. Listrik, air, jatah beras, gak perlu bayar kontrakan.”

Aku mengeluh dalam hati. Tak berani membantah lagi.

Menjelang hari pernikahan Asep, aku sangat bersemangat. Rasanya gairah karena akan meninggalkan tempat yang membosankan ini begitu menggebu. Meskipun mungkin hanya beberapa jam, tetapi aku senang.

“Bim, anterin aku ke kabupaten, ya. Aku mesti beli gamis baru buat kondangan.”

“Harus banget, ya, No?”

“Iya, dong. Bajuku udah bulukan semua. Gak pantes, kan, aku kondangan pake baju lusuh.”

Abim mengehela napas dan mengangguk. Aku berteriak dalam hati. Jarang-jarang Abim mengikuti keinginanku seperti kali ini.

Akhirnya, hari yang aku tunggu tiba. Dari pagi aku sudah mempersiapkan diri. Bangun subuh dan langsung memasak sarapan. Rumah sudah aku bersihkan, kain kotor pun sudah dicuci dan tersusun rapi di jemuran. Semua aku lakukan dengan cepat, agar pukul sebelas siang, seperti yang dijanjikan Abim, kami bisa langsung berangkat.

Jalan aspal yang membentang rasanya sudah ada di hadapan. Tempat resepsi Asep berjarak dua jam dari tempat ini. Itu artinya, kami akan menghabiskan banyak waktu di jalan.

Aku sudah berencana, akan mengajak Abim mampir membeli beberapa buah buku di toko, atau membeli majalah-majalah lama yang bisa aku baca untuk mengusir kekosongan di siang hari. Atau beberapa buku resep masakan. Di sini, aku tak bisa mengandalkan internet untuk mencari resep, sinyal handphone lebih langka daripada bahan bakar jenis premium.

Tepat saat Abim selesai mandi, aku sudah siap mengenakan gaun baruku. Gaun sederhana dengan hiasan pita di bagian pinggang sebelah kiri. Sengaja aku pilih warna salem, sebab aku ingat, kemeja Abim ada yang berwarna sama.

Aku menunggu lelaki itu sambil mengenakan sepatu. Aku merasa puas dengan penampilanku kali ini.

Senyum tak lepas dari bibirku, sejuta keinginan sudah aku catat dalam hati, paling tidak satu atau dua nanti harus terkabul. Aku akan memaksa Abim.

Abim memasang kancing di ujung lengan kemejanya, sembari menelepon. Posisi kepalanya miring, agar ponsel pintar itu tidak lepas dari kepitan telinga dan bahunya. Aku tersenyum melihat pemandangan itu.

“Nora, sorry, ya. Duh, maaf banget. Anak-anak maksa nebeng mobil kita, kamu gak bisa ikut.”

Senyum yang masih menghias bibir merahku, luruh seketika.

Rasanya, aku tak percaya dia tega mengucapkan kalimat itu.

“Tapi, Bim, masa aku harus dikorbankan gara-gara mereka? Temen sekantor kamu udah pada gede, kan? Suruh mikir masing-masinglah!”

“Gak enak, dong, No. Aku udah hitung, sekitar delapan orang yang nebeng. Penuh banget, kan?”

Air mata menggantung di sudut mataku. Aku tatap mata lelaki itu, berharap dia berubah pikiran. Dia tau, kan, betapa aku sudah lama berharap bisa jalan-jalan ke kota seperti hari ini. Aku ingin melihat keramaian, melihat mal dari kejauhan, aku tidak meminta banyak. Bukankah, dia juga yang mengajakku tempo hari, lalu mengapa sekarang dia tega membatalkannya? Sepenting itukah teman-temannya dibanding aku?

“Ya udah, No. Aku berangkat.”

Abim meninggalkanku tanpa berkata apa pun lagi. Suaraku yang memanggilnya pun tak dipedulikan. Air mata tak mampu lagi aku tahan. Bayangan buku, majalah, dan semua yang hendak aku beli, terempas jatuh ke tanah. []

 

Padang, 21102020

Rinanda Tesniana – Ambivert yang suka membaca.

Editor : Imas Hanifah N.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply