Kisah Momon
Oleh: Isnani Tias
Part 11: Di Hutan Sabana
Beberapa binatang mulai berdatangan di pinggir pantai, ketika melihat seekor penyu yang mempunyai tempurung agak besar dan berwarna cokelat. Penyu itu melangkah dengan perlahan sambil membawa hewan berbulu abu-abu di atas punggungnya.
Mereka mengamati dan menyentuh hewan tersebut saat sudah berada di pasir berwarna putih. Penyu besar pun ikut memegang di bagian pipi dan mengelus-elus dengan lembut hewan berekor panjang itu dengan kaki depannya yang sebelah kanan.
“Apakah dia masih hidup?” tanya salah satu hewan yang menyukai wortel.
Hewan pemakan buah kenari menempelkan telinganya ke dada hewan yang tergeletak itu.
“Iya. Sepertinya monyet ini masih hidup.”
Para binatang yang mendengar itu, bernapas dengan lega. Lantas, mereka membawa monyet tersebut dengan dinaikkan ke atas punggung rusa lalu meninggalkan area pantai yang udaranya mulai dingin pada malam hari.
***
Terdengar suara ayam jantan berkokok saling bersahutan dengan merdu di ranting pohon. Membangunkan penghuni hutan yang masih terlelap.
Seekor monyet bernama Momon yang semalam diselamatkan oleh beberapa penduduk hutan, baru tersadar dari pingsannya. Ia perlahan mulai membuka matanya dan mengamati sekitar.
Aku di mana? Ini rumah siapa? Kenapa bisa berada di sini?
Berbagai pertanyaan muncul di pikiran monyet yang tengah besandar di dinding itu.
Rumah yang ditempatinya berupa pohon besar yang di dalamnya terdapat lubang. Atapnya seperti cerobong asap, hanya bagian atasnya tertutup oleh gabungan batang bercabang. Alas lantai berupa serabut kayu. Cukup untuk dihuni satu atau dua hewan yang berukuran sedang.
Pandangan si monyet beralih ke suara pintu rumah yang bergerak. Muncullah seekor hewan yang mempunyai ekor berumbai dan panjangnya sama dengan ukuran badannya. Hewan itu membawa buah kenari di kedua tangannya.
“Rupanya kamu sudah bangun,” ucapnya lagi.
“I–ya. Maaf, ini di mana?” Akhirnya, si monyet bertanya juga.
“Di rumahku. Kenalkan, aku Tina si tupai,” kata Tina sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Lalu, kamu sendiri siapa namamu?” lanjutnya dengan tersenyum sampai terlihat dua gigi atas bagian depan yang agak besar dan panjang serta ujungnya runcing.
Mendapat pertanyaan itu, si monyet mengerutkan kedua alisnya. Seolah ia sedang berpikir. Namun, ditunggu jawabannya oleh Tina, si monyet tak kunjung menjawab.
“Loh, masa namanya sendiri tidak tahu?” Tina mencoba untuk memancingnya.
Monyet itu menggeleng dan tertunduk. Melihat hal itu, Tina memegang bahu Momon dan berkata, “Tidak apa, jika kamu lupa dengan namamu. Aku juga kadang begitu.” Ia mencoba menghibur monyet berekor panjang yang tampak murung.
“Oh iya, ini mungkin milikmu. Siapa tahu ini bisa membantu ingatanmu.” Tina mengambilkan tas punggung yang letaknya tidak jauh dari posisi Momon duduk lalu menyerahkannya.
Momon menerima tas itu dan membolak-baliknya. Kemudian, menatap Tina lagi.
“Coba kamu buka,” pinta Tina yang duduk di hadapan Momon.
Tas berwarna oranye itu, telah dibuka oleh Momon. Ia mengeluarkan isinya. Ada tongkat lipat, seruling, selimut kecil, peta petunjuk jalan serta obat-obatan. Itu semua dalam kondisi basah, kecuali isi dalam kantong obat-obatan. Lalu, Momon memandang Tina kembali. Mungkin Tina diminta untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya.
“Kamu semalam di bawah oleh Paman Penyu. Beliau bilang, menemukanmu di dasar laut. Lalu membawamu ke tepi pantai.” Tina mencoba memberi penjelasan yang ia tahu.
Momon pun mencoba untuk mengingat, tapi hasilnya tetap sama. Tiba-tiba terdengar bunyi dari perut Momon. Ia langsung memegang perutnya.
“Kamu lapar. Ayo, ikut aku keluar. Kita cari buah-buahan,” ajak Tina sambil menggandeng tangan Momon.
“Mungkin setelah perutmu terisi, kamu bisa ingat kembali,” lanjutnya.
Mereka pun berjalan menelusuri hutan sabana (padang rumput) untuk mencari buah-buahan. Tina mengajak Momon untuk menaiki pepohonan. Momon pun mengiakan.
Akhirnya, terjadilah saling mengadu kecepatan melompat dari pohon satu ke pohon lain, antara Momon dengan Tina. Sejenak, Momon bisa melupakan kesedihan dalam hatinya karena tidak ingat jati dirinya.
Hanya lima menit, mereka sudah sampai di pohon kesukaan Momon. Melihat buah pisang yang sudah matang menggantung, mulut Momon meneteskan air liur disertai suara dari dalam perutnya. Ia pun bergegas mengambil buah itu dan melahapnya.
Melihat tingkah laku monyet tersebut, Tina tersenyum. “Ternyata, dia benar-benar kelaparan.”
Monyet ekor panjang itu menikmati buah pisang sambil duduk di bawah pohon. Makanan yang ada di mulutnya belum habis, ia memasukkan lagi yang baru dikupas dan berulang. Mulutnya terlihat penuh dan susah untuk menelan.
“Makannya sedikit demi sedikit saja, agar mudah dikunyah,” ucap Tina.
Momon mengabaikan perkataan Tina. Jika berurusan dengan makanan kesukaannya, ia akan terus saja menjejali mulutnya dengan buah berwarna kuning itu.
Akhirnya, Momon tersedak dan terbatuk-batuk. Tupai berekor berumbai itu mendekati punggung monyet muda tersebut lalu menepuk-nepuk. Sisa makanan yang ada di mulutnya jatuh ke rumput.
“Nah, ini yang terjadi jika kamu makan terburu-buru,” ucap Tina yang masih menepuk punggung si bulu abu-abu.
“Kamu tunggu di sini. Aku akan mencarikan air.” Sebelum Momon menjawab, hewan pemakan buah kenari itu langsung melompat pergi.
Momon mencoba untuk mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan secara perlahan. Setelah batuknya berhenti, mendadak ia memegang perutnya dan menekuk kedua kaki menempelkan di dada.
“Hai, monyet anak muda, kamu siapa? Kenapa berada pohon pisang milikku?” tanya seekor hewan yang mirip dengan Momon sambil berjalan mendekat.
Momon tidak menjawab karena sedang merasakan perutnya yang seperti tertusuk jarum.
“Kamu tak sopan sekali, ditanya orang tua tidak menjawab!” seru hewan yang hanya mempunyai dua tangan dan satu kaki itu.
“Ma-af.” Hanya itu yang bisa diucapkan Momon.
***Bersambung***
Sidoarjo, 10 Juni 2021
Penulis dengan panggilan akrab Tias ini seorang Ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin.
Penulis bisa dihubungi melalui Facebook: Isnani Tias dan Instagram: @t145.7055.
Editor: Imas Hanifah N