Waktu yang Bercanda (Episode 3)
Oleh : Mila Athar
POV_Rie
Aku segera mengayunkan langkah seiring dengan hitungan Devan yang semakin bertambah. Tak akan kubiarkan tiang listrik itu menemukanku dengan mudah. Ya walaupun seperti biasa aku selalu unggul jika soal menyembunyikan diri. Jika pun tertangkap, mereka harus menemukanku dengan waktu yang relatif cukup lama.
Angin sedikit menyibak rambut pendekku. Laju kaki kuarahkan ke sebelah kanan. Aku harus memenangkan permainan petak umpet kali ini. Jika Devan tidak menemukanku maka akan menjadi kemenanganku yang ketiga kalinya. Dan berarti si cungkring itu akan memenuhi semua perintahku. Ya, tanpa sepengetahuan Vie dan Airin, Devan telah berjanji akan memenuhi satu permintaanku jika kali ini dia tak bisa menemukanku lagi.
Aku telah melewati beberapa belokan di labirin yang menyebalkan ini. Walau sejak kecil telah tinggal di perumahan ini, aku sebenarnya paling menghindari taman labirin yang berliku dan berkelok memusingkan. Entah mengapa, setiap kali melihat taman ini, perasaan takutku selalu muncul. Ada sebuah perasaan asing yang seolah melarangku untuk mendekat. Taman buatan Ayah Devan ini seperti mengandung aura magis. Namun, aku berusaha menepisnya. Si cungkring tadi mengataiku penakut jika aku tak memenuhi tantangannya. Enak saja, mana mungkin aku penakut. Anjing galak sampai Bony si tukang palak saja pernah kutaklukkan. Mungkin di mata teman-temanku Devan adalah anak yang manis. Namun, mereka tidak tahu saja Devan itu anak yang menyebalkan. Sifat aslinya akan keluar semua jika dia bersamaku.
Sepertinya aku sudah masuk ke bagian agak dalam dari labirin. Suara hitungan Devan juga sudah tak terdengar. Kuputuskan untuk duduk sebentar dan mengeluarkan lolipop dari kantung celana tiga perempatku. Permen kesukaanku ini akan memberikanku ketenangan. Lalu, tiba-tiba saja ingatanku berputar ketika usiaku menginjak enam tahun.
***
“Hai, kau kelihatan jelek sekali ketika menangis, segera hapus air matamu itu.”
Sebuah suara seorang bocah laki-laki menyadarkanku. Dengan tergesa, kuhapus air mata dengan kaos yang saat itu kupakai.
“Ish, jorok banget, sih. Anak perempuan, tapi tidak ada manis-manisnya sama sekali,” ucapnya sambil memutar mata menyebalkan.
“Bukan urusanmu, sana pergi!”
Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga namun, tubuhnya tak bergeming. Dia tetap berdiri dengan senyumnya yang menurutku sangat menjengkelkan. Sejak kecil, dia suka sekali menjahiliku. Kami memang bertetangga sejak masih memakai popok. Sekali lagi aku mendorongya dengan tubuh kecilku, tapi sia-sia. Entah mengapa tubuhnya cepat sekali bertumbuh dibanding anak-anak seusianya. Kini tinggiku hanya sekitar dadanya.
Kuputuskan untuk mengacuhkannya dan memilih duduk menghadap matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Langit mulai berwarna jingga seolah menyambut sang mentari yang ingin pulang ke peraduan. Hatiku terasa sedikit tenang melihat pemandangan tersebut.
Tiba-tiba pandanganku terganggu dengan sebuah benda bergagang putih dengan bulatan pink di atasnya.
“Makan, nih! Aku tahu Tante Eva dan Om Roni bertengkar lagi kan hari ini?”
Aku hanya diam dan tiba-tiba tenggorokanku terasa tercekat.
“Mulai sekarang tiap kali kau merasa sedih makan saja lolipop ini.”
“Tidak mau, kau kira aku anak TK!” Tanganku menepis sehingga loplipop tersebut terlempar beberapa meter dari tempatku duduk.
“Kau memang gadis keras kepala, tidak usah malu. Aku sudah tahu kau itu sangat suka makanan manis.”
Dia berkata tepat di depan wajahku. Matanya yang jernih dan kulitnya yang putih begitu jelas. Senyum menyebalkan disertai lesung pipi itu entah mengapa membuat aku menahan napas sejenak. Kemudian dia menoyor kepalaku dan beranjak pergi.
***
Bunyi kerisik daun teh-tehan yang telah menua menyadarkanku dari lamunan. Aku mendengar bunyi tapak kaki yang bergerak cepat di sebelah kiri. Aku memutuskan kembali bergerak dan masuk lebih dalam. Walau sejak awal masuk aku merasakan aura tak wajar.
Entah mengapa semakin masuk ke dalam, aku merasa labirin ini seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat. Daun teh-tehan yang bergerak bak tangan-tangan yang ingin menggapai tubuh kecilku. Sekilas tadi aku melihat Airin yang mengendap-ngendap dan berlari. Mungkin dia mengira aku adalah Devan. Aku pura-pura tak melihatnya.
Sudah beberapa kali aku bertemu gang buntu. Ini yang paling menyebalkan dari labirin. Aku sebal dengan hal-hal rumit serupa pazzle. Aku heran dengan Om Reno mengapa membuat taman yang menyulitkan.
Bunyi langkah kaki terdengar samar-samar dari arah belakangku. Aku tak berani menengok dan segera mempercepat langkah. Aku masuk ke bagian labirin yang mulai disinari cahaya matahari yang mulai rapat. Beberapa bayangan daun agak membuatku jeri. Perasaanku mulai berkecamuk. Kuputuskan untuk mengambil arah kanan. Namun, baru beberapa langkah, tanpa kuduga sebuah tangan membekap mulutku dari belakang.
Bersambung ….
Klt, 26 Juni 2019
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata