Sebuah Cerita dari Aku dan Dia

Sebuah Cerita dari Aku dan Dia

Sebuah Cerita dari Aku dan Dia
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Mulanya aku tak sengaja melihat dirinya, ketika ia berjalan melewati gang sempit depan rumahku. Namun lama-kelamaan aku jadi tertarik memperhatikan dia setiap hari, duhai gadis manis berambut kepang dua, yang selalu mengenakan seragam kerja berwarna krem kombinasi cokelat, yang  menyampirkan tas rajut ketinggalan zaman di atas bahu kirinya, yang selalu terburu-buru mengejar angkot sambil berlari kala pagi hari baru saja mencumbu manja. Kenapa, ya? Aku jadi sering mencuri pandang kepadanya tanpa merasa bersalah ….

Mulanya aku tidak pernah memperhatikan dirinya, kala aku harus berjalan melewati gang sempit depan rumahnya. Namun akhirnya ketahuan juga ia sering memperhatikan diriku, wahai lelaki jelek sok PD, yang selalu menggunakan seragam kerja warna abu-abu tua tidak pernah disetrika, yang selalu senyum tebar pesona sambil menunggu motornya  yang bersuara berisik sedang dipanaskan, yang selalu memakai pomade hingga rambutnya mengilap cerah seperti mentari pagi yang baru saja bersinar. Entah kenapa, ya, ia tidak tahu malu sering mencuri-curi pandang, bahkan mengulangi perbuatannya lagi meski sering tertangkap basah mataku…

***

Entah kenapa sore ini kami secara kebetulan bertemu di sebuah pasar swalayan. Ia yang ditemani ibunya, sedang berbelanja barang-barang kebutuhan sehari-hari, dengan satu troli penuh barang belanjaan. Wow, rupanya ia sedang ngeborong habis-habisan. Sepertinya ia sedang habis gajian. Tetapi sebanyak itu … enggak salah? Mau buka warung, Neng? Hehehe.

Entah kenapa, di sore yang nahas itu kami tak sengaja bertemu lagi, di sebuah pasar swalayan terkenal. Kok ia ditemani ibunya ya … anak mami rupanya. Ia dan ibunya tampak sedang berbelanja beberapa barang kebutuhan sehari-hari, dan … astaga, apa itu? Pembalut wanita! Mungkin ibunya sedang kehabisan pembalut.

Nggak salah! Cuek juga dia nggak malu membawa keranjang belanja, hihihi.

***

Antrean pembeli yang berjubel menunggu di depan kasir, sungguh menyebalkan. Ini orang-orang mau belanja, apa sedang antre sembako gratis? Katanya Indonesia lagi susah, tapi kok pasar swalayan sungguh  luar biasa ramainya. Mana yang beli nggak kira-kira, hingga berkantong-kantong banyaknya. Sampai mbak kasir terlihat kelelahan melayani. Memangnya besok pasar swalayan mau mogok dagang! Aku pikir berbelanja bisa secukupnya saja. Nggak usah seperti orang ngamuk.

Andai bukan karena Bapak sedang tidak enak badan, rasanya malas banget ikut antrean sepanjang itu. Membosankan!

Antrean pembeli yang berjubel di depan kasir, sungguh membuat jengkel dan mengesalkan. Ini orang mau antre sembako gratis apa mau belanja? Katanya Indonesia lagi susah, kok pasar swalayan ramainya kebangetan. Mana yang belanja nggak kira-kira dan berkantong-kantong banyaknya. Sekalian aja pakai karung! Sampai-sampai mbak kasir berulang kali menyeka keringatnya karena kelelahan. Memangnya besok pasar swalayan mau tutup. Aku pikir berbelanja bisa secukupnya saja, namun tidak dengan ibuku, ia main lempar barang saja ke dalam troli, mentang-mentang aku yang bayar. Huh, nggak usah seperti orang kesurupan apa, Bu ….

Andai saja Bapak sedang tidak pulang ke istri mudanya, enggan rasanya aku ikut antrean yang mengular panjang seperti itu. Melelahkan!

***

Tinggal seorang lagi, sih, antrean yang menuju kasir. Tiba-tiba ibuku menyapa ibunya yang berada depan kami. Rupanya mereka dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Tanpa basa-basi mereka langsung saling cipika-cipiki. Dan—demi Neptunus, mereka berdua malah memisahkan diri dari antrean dan asyik mengobrol meninggalkan kami yang jadi merasa kikuk. Mau nggak mau aku mencoba tersenyum kepadanya. Oh my God. Dia membalas. Lihat senyumannya. Aih, aku jadi kege-eran.

Tinggal seorang wanita muda lagi yang sedang transaksi di meja kasir. Tiba-tiba ibuku disapa oleh ibunya. Rupanya mereka mantan teman akrab semasa SMA, pantas saja begitu bertemu mereka saling cipika-cipiki. Dan, astaga! Mereka berdua malah meninggalkan kami dan keluar dari antrean, asyik berbincang meninggalkan aku yang  jadi mati gaya, ditinggal sendirian. Oh, Tuhan. Mau nggak mau aku jadi terpaksa tersenyum kepadanya. Aih, dia terlihat kege-eran …

***

Ia sedang menunggu di depan kasir yang sedang  sibuk menghitung dan memasukkan seluruh barang-barang belanjaannya, ke dalam kantong-kantong yang  sedemikian banyaknya. Wajahnya tetap terlihat anggun meski telah kelelahan berdiri semenjak tadi. Tiba-tiba ia terlihat begitu panik. Tangan kanannya merogoh ke arah saku belakang dan mencari-cari sesuatu. Wajahnya yang tenang seketika berubah menjadi merah padam. Aku kira ia mungkin lupa membawa dompetnya. Didorong oleh rasa kasihan dan juga iba, aku lalu mendekatinya dan bertanya.

“Kenapa, kamu lupa bawa dompet?”

“Iya. Tadi perasaan aku bawa dompet di saku belakang, deh. Tapi kok sekarang nggak ada ….”

“Gesek aja pakai kartuku dulu. Gampang. Toh, ibumu kenal ibuku.”

“Jangan, ini belanjaannya banyak banget.”

Wajahnya terlihat menahan malu yang hebat, pun begitu pula dengan matanya yang tak bisa  dibohongi. Mata bening yang indah itu seolah berkata, “Please, tolong aku ….” Mungkin ia tahu pasti, bahwa ibunya juga tidak membawa uang. Kan ia sedang habis gajian ….

“Nggak apa-apa. Urusannya nanti aja.”

Tanganku langsung menjulurkan kartu debit kepada mbak kasir sambil tersenyum, berusaha menghilangkan kecemasannya.

“Makasih, Bang, udah repot-repot.” Ia hanya sanggup mengucapkan kata-kata itu.

Aku hanya terkaget-kaget, mendengar ia memanggilku dengan sebutan Bang. Oh ….

***

Gadis manis berkepang dua, yang setiap hari berjalan melewati depan rumahku, yang selalu menyampirkan tas rajut ketinggalan jaman di bahu kirinya, yang setiap pagi mengenakan seragam kerja berwarna krem kombinasi cokelat, sore ini tepat berada di hadapanku bersama ibunya. Senyum manis nan menawan seolah dihantarkan hanya untukku, senyuman yang mampu mengalahkan pesona lezatnya martabak telur kesukaanku, yang tidak pernah membosankan. Kami mendadak jadi begitu dekat dan bisa ketawa-ketiwi seperti ibunya dan ibuku yang berada di dalam ruang tamu. Kami tiba-tiba kehabisan kata-kata dan tersipu, ketika ibu-ibu kami yang doyan gosip keluar ruang tamu dan menggoda:

“Cie, cie. Mulai akrab nih, ye …. Kapan kita besanan nih, Bu?” begitu kata ibunya, sambil mengedip-ngedipkan matanya.

Aku berteriak dalam hati, Aku mau, aku mau ....

Lelaki jelek sok PD, yang setiap pagi selalu mengenakan seragam kerja warna abu-abu yang tidak pernah disetrika, yang sering ketangkap basah sering mencuri pandang kepadaku, yang selalu tersenyum menebar pesona murahan, kali ini tepat berada di hadapanku. Manis juga sih sebenarnya kalau diperhatikan lebih akrab. Jika saja selama ini ia tidak sok kegantengan, senyumnya pasti mengalahkan brownies cokelat, kudapan kesukaanku yang tidak pernah membosankan. Kami mendadak jadi begitu akrab, dan mampu bercanda melepaskan tawa seperti ibunya dan ibuku juga, saat kami berbincang di teras rumah. Kami tiba-tiba tak mampu bicara, dan hanya tersipu malu, ketika ibu-ibu kami yang doyan gosip keluar dari ruang tamu dan menggoda:

“Gimana nih, Bu? Habis Lebaran Haji, mereka kita suruh nikah aja!” begitu kata ibuku, sambil tertawa lebar-lebar dengan lebaynya.

Ah, ini beneran, Bu? Aku mau, kok. Habis Lebaran Haji, ya …. (*)

 

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula yang numpang ngetop di laman Facebook-nya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata