Kota Kemarin Malam
Kakimu gemetar saat hendak melewati pagar Kota Kemarin Malam, kota yang pernah kamu singgahi enam tahun lalu bersama seseorang. Sebelum pergi ke kota itu, di dalam kamar, di depan cermin besar, kamu menyisir rambut dengan jari-jari, sedangkan bola matamu sibuk berputar. Mengingat-ingat siapa yang datang bersamamu ke kota itu. Namun sayang, semakin kamu mengingatnya, tak ada yang kamu dapati selain pening. Jadi, kamu beranjak meninggalkan cermin, duduk di ranjang sambil menatap selembar foto yang diambil dari laci nakas.
Itu fotomu yang duduk di bangku panjang di Kota Kemarin Malam.
Kamu melempar pandangan ke luar jendela. Masih jelas olehmu bagaimana Kota Kemarin Malam setia dengan malam dan purnama. Satu-dua bangku panjang yang catnya tak pernah pudar, rumput liar yang tak bertambah panjang, bunga-bunga yang tak layu atau baru mekar, rumah-rumah yang lampu depannya menyala redup, lampu jalan di tikungan yang berkedip-kedip, semuanya tak ada yang berubah setiap kali kamu datang ke sana. Bahkan mungkin, bisa dibilang kalau kamu berjalan beriringan dengan masa lalu.
Dengan napas yang agak berat, kamu kembali menatap foto di tanganmu. Seseorang yang mengambil gambar itu, kamu yakin kalau dia adalah orang yang datang bersamamu, yang memindahkanmu dari kursi roda ke bangku panjang, yang duduk di sampingmu dan berceloteh tentang masa depan, yang mengusap lembut kepalamu saat kamu tertawa atas cerita gilanya. Seseorang yang tak dapat kamu ingat sama sekali wajah, postur tubuh atau namanya.
Kamu tak mengerti mengapa bisa melupakan seseorang yang menurutmu cukup berarti. Karena seingatmu, dia yang selama ini menemani masa-masa sulitmu. Dia juga yang mengajarimu cara berjalan dan menangkapmu saat kamu hendak jatuh, lantas tertawa pelan, mengatakan kalau kamu bisa berjalan, dia akan menikah denganmu seperti yang pernah diucapkannya saat duduk menatap purnama di Kota Kemarin Malam.
Kamu tersenyum kecut sambil mengingat semua itu, kemudian meninggalkan kamar setelah menaruh foto tadi ke laci nakas. Menghampiri ibumu yang bertanya hendak ke mana kamu sepagi ini. Kamu diam sebentar, mencari alasan agar ibumu tak tahu kalau kamu hendak ke Kota Kemarin Malam, karena ibumu dan semua orang yang berada di rumahmu tak suka jika kamu ke kota itu.
“Tidak ada yang perlu kamu ingat,” begitu mereka berkata setiap kali melarangmu singgah ke Kota Kemarin Malam.
Ibumu kembali bertanya hendak ke mana kamu. Kamu duduk di kursi ruang makan, menatap wajahnya lekat-lekat. Bertanya dalam hati, apa yang selama ini ibumu khawatirkan. Namun kamu tak menemukan jawabannya.
“Aku ada janji,” hanya kalimat itu yang kamu lontarkan sembari tersenyum.
Ibumu mengangguk, membiarkanmu pergi tanpa sedikit pun menaruh curiga kalau kamu akan pergi ke Kota Kemarin Malam, kalau beberapa malam ini kamu penasaran dengan siapa kamu duduk di bangku panjang dan berceloteh tentang masa depan, kalau kamu berharap agar dapat melihat jelas rupa seseorang yang bersamamu enam tahun lalu di kota itu.
Kamu masih berdiri menatap pagar Kota Kemarin Malam, menimbang-nimbang segala “seandainya” yang kamu buat setengah tahun belakangan ini: seandainya kamu tak berkenalan dengannya; seandainya kamu melewati banyak hal tanpanya; seandainya lain yang mungkin akan terjadi jika dia dihapuskan dari hidupmu. Maka, saat itu kamu menyadari kalau ibumu benar. Seharusnya kamu tak datang ke Kota Kemarin Malam hanya untuk memastikan dengan siapa kamu enam tahun lalu. Sebab dalam ingatanmu, Kota Kemarin Malam sudah menyuguhkan kenangan indah, dan kamu ingin tetap begitu. Bukan ingin. Kamu hanya takut kalau segala kenangan di Kota Kemarin Malam berubah suram dalam ingatanmu.
Maka, tepat saat kamu hendak membalikkan badan, memunggungi Kota Kemarin Malam, kamu melihat seseorang yang tak asing, berdiri menatap bangku panjang yang dulu sering kamu duduki. (*)
R, 3 Oktober
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata