Baju Bekas
Oleh: Dyah Diputri
Suatu ketika aku termangu, menatap jajaran kantung plastik merah besar di hadapanku. Bukan sekadar kresek kosong, melainkan buntalan penuh baju bekas yang terlipat rapi. Hampir segala warna mungkin ada, entahlah—aku belum berminat membukanya.
Tempo hari seseorang memberikan secara langsung padaku. Meski tak tahu harus kuapakan, tangan ini tetap menerima dan menyeret setengah hati ke dalam rumah. Tentu saja senyum bulan sabit terpaksakan juga hadir melukis wajah, sebab tak enak hati untuk menolaknya. Si pemberi itu sama sekali tak kukenal. Tiba-tiba saja datang dan berdiri di hadapanku seolah mereka dermawan yang menuntaskan kewajiban sedekah pada fakir.
“Siapa tahu berguna, ya, Mas. Kalau tidak berguna, boleh buang saja.” Begitulah, pria berkacamata itu mengiringi acara bakti sosialnya dengan ungkapan yang sewajarnya—dilakukan oleh yang lainnya.
Aku hanya mengangguk takzim. Lagi-lagi tak ada hati untuk menyela, apalagi dengan kalimat sinis yang menandakan aku tak suka pemberiannya.
Maka, di sinilah aku. Setelah terdiam cukup lama sedari sore hingga azan Magrib terdengar, akhirnya dua jemari telunjuk mengungkapkan sedikit simpul tali. Mata menelisik lewat celah yang mulai terbuka, memastikan model dan rupa baju bekas di dalamnya. Bodoh, tentu saja tak ada yang pasti selama aku belum membentangkannya satu per satu di depan jidatku sendiri.
Namun, satu hal mencengangkan tiba-tiba membuatku mundur menghindari tumpukan baju itu.
“Haaa! Aku lega! Aku lega!” Sebuah dress hitam mini selutut dengan belahan V dan renda di bagian lengan dan bawah mencuat, kemudian melayang-layang di depanku.
Tak mau kalah, sebuah rok jeans di atas lutut menyusul dress itu. Berlanjut dengan tank-top warna putih yang super tipis—hingga terlintas pikiran kotor, mungkin yang memakai ini akan terlihat sangat seksi. Lalu, kain-kain minim bahan lainnya berdesakan dan bertaburan keluar. Terhitung ada sepuluh kain memulai drama, detik ini.
“Kau tahu, harusnya aku yang keluar lebih dulu!” pekik si gaun beludu.
“No way! Aku ada di atasmu, bahkan sejak kita tertumpuk di kemarin.” Tank top tak terima.
“Hai, bukankah yang penting kita bebas sekarang? Jangan berisik, lihat! Pria di sana itu ketakutan melihat kita!” ungkap si legging hitam. Dia yang tipis dan jangkung terlihat paling seram.
Sontak, bentangan kain yang entah mulai kapan muncul mata dan bibirnya kompak memandangku. Oh, tidak! Jantungku hampir berhenti memompa, mereka mulai mendekatiku!
Aku memang punya keahlian untuk bicara dengan nasi goreng di wajan setiap pagi, sebab mereka memberi semangat menghadapi hari beratku. Aku juga bisa mendengar celoteh air di mana pun aku berada: air kran, air comberan, air kali butek, bahkan air maniku. Ups, maaf! Namun, baju yang bisa bicara? Baru kali ini aku mendapatinya.
“Hei, Tuan!” Rok mini itu bergoyang-goyang tepat di depan mukaku. Masih tercium aroma pewangi menempel padanya.
“Jangan panggil ‘tuan’!” hardikku.
“Ya. Tentu saja! Kau pengemis!” ledek si dress.
“Aku bukan pengemis! Jaga ucapanmu!” Aku tak terima.
“Kalau begitu, kenapa kau mau menerima baju bekas?”
“Tuanmu yang memberiku, bukan aku yang meminta! Aku bisa hidup meski tanpa kalian!”
Sejenak mereka saling memandang. Kemudian tampak berkerut lusuh. Salah satu kemben berwarna merah menyala menerobos barisan dan menyeletuk, “Aneh! Berkali-kali kami diangsurkan, dari satu tempat ke tempat lainnya, tapi kami tidak diterima. Apa yang salah? Kami dulunya bertengger di gantungan depan butik ternama dengan bandrol harga fantastis, kau tahu! Tapi, banyak kaum miskin seperti kalian menolak, what the—”
“Apa karena kita sudah menjadi bekas? Lalu mengapa mereka menerima di awal? Kenapa tidak menolak langsung saja? Munafik!” seloroh tank top putih.
“Ya, ya, kalau kita masih baru dan diberikan cuma-cuma, pasti kita lebih dihargai.”
Aku berdiri, seketika menggertak agar mereka diam. Berisik, sangat berisik, saling menimpali tak henti, tak memberiku kesempatan bicara.
“Kalian diam, atau kupungkaskan kalian di pembuangan sampah! Diam!”
Mereka kembali berjajar teratur, kecuali gaun beludu dan legging hitam yang tampak lelah—menjatuhkan diri di atas ubin.
“Tak ada yang salah! Kalian memang barang bekas, walau dulu kalian berharga. Dan tak semua orang bisa mengabaikan gengsi demi mengenakan barang bekas. Ada juga yang memang menganggap kalian—maaf, baju kurang bahan—bukanlah selera yang tepat bagi kalian. Jangan baper, ingat! Kalian tak punya perasaan!”
“Lalu, apa kau juga mau membuang kami?” lirih kemben merah.
“Umm, mungkin iya, mungkin tidak. Entah! Yang jelas, aku tak berminat dengan kalian, aku—”
“Hah, cukup! Kau sama dengan yang lainnya, Tuan!”
“Jangan panggil ‘tuan’!”
“Tentu, karena kau pengemis!”
“Hei, dengarkan aku!” bisikku. “Mungkin, ini mungkin, jika kelak aku punya istri yang salihah, mereka tidak akan mau memakaimu. Sedang aku? Oh, maaf, Teman. Sudah dua tahun aku berhenti menggunakan baju model kalian. Ha—ha!”
Malang, 21 April 2019.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. FB: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata