Pim

Pim

Pim

Oleh: Triandira

Sapaan hangat Pim menarik sedikit perhatianku yang tengah duduk sambil membaca buku di halaman belakang kampus. Gadis itu terlihat bahagia dengan senyum manis di wajah—yang aku yakin menjadi salah satu alasan Gi memacarinya—sampai kemudian aku menyadari bahwa ada yang berbeda dari tatapan matanya.

Pim memang tersenyum, tetapi tidak dengan matanya yang perlahan mulai berkaca-kaca. Tak begitu lama usai aku menanyakan sesuatu. Lebih tepatnya mengenai hubungan mereka yang baru berjalan dua bulan semenjak aku memutuskan untuk tak sering-sering lagi menemui keduanya.

“Kenapa?” tanya Pim di suatu pagi, yang menandakan bahwa ia keberatan dengan sikapku yang mendadak berubah, begitu dingin dan menyebalkan. Ia bahkan pernah mengatakan kalau aku tak ubahnya robot. Keterlaluan, bukankah itu berlebihan? Tetapi bukannya meminta maaf, aku malah semakin membuatnya merasa kesal.

“Tidak ada.”

“Jangan membohongiku. Bukankah—”

“Ibu membutuhkanku untuk membantunya bekerja di toko,” selaku memotong ucapan gadis itu, “Ayah sudah meninggal jadi ….”

“Sekali ini saja, kumohon.”

“Tidak bisa, Pim. Aku tak punya banyak waktu untuk pergi bersama kalian. Kau lihat sendiri, kan? Untuk kuliah saja aku sering datang terlambat.”

Mendengar itu, Pim tak lagi memaksa dan membiarkanku pergi dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Bagaimanapun juga aku telah membuatnya kecewa. Bahkan mungkin teramat kesal hingga tiga minggu setelahnya ia masih enggan menyapaku ketika kami tidak sengaja bertemu. Sementara Gi, tentu saja ia tak secerewet Pim dan sebagai gantinya ia cukup mendatangiku dengan sebelah tangan mengepal kuat, lalu memberikan sebuah pukulan sebagai hadiah.

Seketika pipiku jadi lebam karenanya. Tetapi kemudian, kami kembali berbincang dengan posisi tidur dan wajah yang menatap langit mendung.

Gi bilang, Pim adalah segalanya. Ia tidak akan pernah membiarkan gadis itu menangis. Sungguh, saat itu aku benar-benar mempercayainya dan tak menyesal sedikit pun dengan keputusan yang telah kubuat. Tetapi sekarang, aku bahkan tak yakin bahwa Gi telah menjaga hubungan mereka dengan baik. Jika tidak, mana mungkin Pim terlihat kacau saat ini.

Ia tak secerewet dulu. Tak seceria biasanya seperti ketika kami menghabiskan waktu berdua sebelum Gi berulah. Memberi janji yang dihianatinya sendiri.

“Ini salahku.” Pim memulai pembicaraan setelah beberapa saat kami terdiam. “Sepertinya ia kesal karena kita sangat dekat.”

Aku tergelak, sedikit heran dengan apa yang Pim katakan. “Konyol. Bukannya sejak awal ia sudah tahu?”

“Ya. Tapi ….”

“Tapi apa?”

“Ia belum tahu kalau aku bisa begitu gila karenamu.”

***

Di usia menginjak sepuluh tahun, aku belum juga memiliki banyak teman. Mungkin mereka pikir berbincang atau bermain dengan si kutu buku bukanlah sesuatu yang menyenangkan, yang bakal mengasyikkan untuk diajak berkumpul. Entah di rumah maupun di sekolah. Sebab itulah, setiap malam ketika hendak memejamkan mata, aku selalu berdoa agar suatu saat nanti ada seseorang yang mau berteman denganku setulus hati. Tanpa embel-embel untuk meraih nilai tertinggi di kelas sebab telah berhasil melayangkan ancaman kepadaku.

Bukan, bukan karena takut. Hanya saja aku tidak ingin kalau sampai Ayah dan Ibu harus menanggung malu. Bisa jadi setelah terlibat perkelahian, wali kelas akan memanggil salah satu dari mereka untuk datang ke sekolah. Lebih dari itu, aku tidak mungkin mengabaikan mereka yang telah bekerja keras siang dan malam, menaruh harapan terbaik bahwa putranya ini kelak bisa memiliki masa depan yang cerah. Maka sesekali kuceritakan kepada Ibu tentang keseruan saat bermain di lapangan selagi jam istirahat berlangsung, tentu dengan sedikit kebohongan.

Saat seragam yang kukenakan telah berganti putih abu-abu, Tuhan mengabulkan permohonanku. Pim datang menyapa sambil mengulurkan sebelah tangannya ketika guru memasangkan kami berdua untuk menyelesaikan tugas sekolah.

“Kau menyukainya, ya?” tanyaku saat kami sedang berbincang di kedai dekat rumah. Gadis itu mengangguk seraya mengacungkan jempolnya di depan mukaku. Sedangkan yang diajak bicara hanya bisa tersenyum geli. Cara ia menikmati sepotong es krim tak jauh beda dengan anak kecil.

“Hm, ini benar-benar enak.”

“Kalau begitu cepat habiskan.”

Pim mengernyitkan dahi, lalu mengangguk cepat usai aku mengatakan hal yang telah lama ingin didengarnya.

“Jadi kita akan ke sana? Sekarang?”

“Ya, itu kalau kau mau.”

“Ah, tentu saja. Nanti sekalian ke toko buku, ya.”

“Eh, apa aku tidak salah dengar?”

“Dasar lamban! Cepatlah sedikit atau kita akan ketinggalan bus nanti,” teriaknya sambil berlari mendahuluiku.

Tiga puluh menit kemudian, kami sudah berada di pusat keramaian kota. Pim tampak senang dengan hadiah kecil yang kuberikan kepadanya. Sebuah novel dengan sampul merah jambu dan gantungan kunci berbentuk tokoh kartun yang ia suka.

“Ini.” Pim menyodorkan benda yang sama, namun dengan warna yang berbeda dan di bagian  kepalanya tidak terdapat pita bermotif polkadot seperti yang kupilihkan tadi. “Sangat cocok untukmu.”

“Kau bercanda? Untuk apa aku menyimpan—”

“Ini tanda persahabatan kita,” potongnya dengan wajah berseri-seri.

“Persahabatan?”

“Ya, dan berjanjilah kau akan menyimpannya dengan baik. O ya, satu lagi.”

“Apa?”

“Traktir aku, Tuan. Kau tidak lihat aku sudah kelaparan?”

Entah bagaimana perkataan Pim begitu kuat tertancap di otakku. Kami adalah sahabat dan di dalam persahabatan tidak ada istilah ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. Begitulah yang diucapkannya berulang-ulang, meniru salah satu adegan film yang sering ditontonnya bersama sang kakak.

Sampai ketika Pim menangis sebab sahabatnya ini mengabaikannya, barulah aku sadar kalau ada yang salah di antara kami.

***

Ia belum tahu kalau aku bisa begitu gila karenamu.

Tak ingin dihantui rasa bersalah, aku bergegas pergi. Membelah jalanan yang sudah tergenang air sebab hujan deras, kemudian berhenti di depan rumah dengan pintu yang tertutup rapat.

Pim melihatku dari balik jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Lalu tanpa berlama-lama lagi, ia menghampiriku dengan ekspresi tak terduga. Kenapa ia terlihat kesal?

“Jangan konyol,” ucapnya ketika kami sudah berada di ruang tamu bersama secangkir teh yang disuguhkannya di atas meja. “Sudah tahu di luar hujan deras tapi malah ke sini tanpa membawa payung. Kau ingin sakit, ya?”

Aku terdiam. Mengatur napas sejenak, lalu meneguk habis teh itu.

“Kau juga tidak menelepon dulu tadi, bagaimana kalau aku tidak berada di rumah? Jadi sia-sia, kan? Sudah kehujanan tapi tidak bisa bertemu.”

“Kenyataannya tidak begitu,” jawabku sekenanya. Pim menggeleng lemah dan sebelum ia kembali berbicara, aku bergegas mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

“Lain kali jangan dilepaskan lagi atau kau akan bingung harus mencarinya ke mana.”

Pim menerima gantungan kunci yang kuberikan. Benda berbentuk Minnie Mouse itu tertinggal tempo hari, ketika ia menemuiku di halaman belakang kampus.

Melihat barang kesayangannya kembali, Pim langsung tersenyum manis. Sepertinya hubungan kami akan segera membaik. Sungguh, hanya itu yang kuharapkan.

“Pim, maaf karena waktu itu aku membuatmu kesal.”

Seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar, Pim mendekat dan menatap lamat-lamat wajahku.

“Apa kau bilang?”

“Waktu itu kau pasti sangat sedih, bukan?”

Ia mengangguk, lantas kembali duduk di kursi dekat pintu. Tepat di hadapanku.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kau berubah dan itu—”

“Tidak ada,” selaku cepat. “Aku hanya … tidak ingin mengganggu kalian. Itu saja.”

“Kau bercanda?”

Kami terkekeh pelan, tetapi aku bisa merasakannya bahwa Pim telah memaafkanku. Bahkan mungkin sebelum aku meminta maaf kepadanya.

“Jadi kita masih bersahabat, bukan?” tanya Pim yang terdengar seperti … entahlah. Aku tidak tahu harus menyebutnya seperti apa, tetapi yang jelas bukan itu yang ingin kudengar darinya.

“Hm, memangnya kalau bukan aku, siapa lagi yang mau bersahabat denganmu?”

Lagi, Pim tergelak seakan-akan ada hal lucu yang sedang terjadi. Bodoh! Kenapa baru sekarang menyadarinya dan kenapa aku tidak pernah memiliki keberanian itu. Seberani Gi yang menyatakan perasaannya kepada gadis di hadapanku ini.

Ah, sial. Aku telah kehilangan kesempatan untuk berkata sejujurnya. Bahwa dalam persahabatan, bisa jadi ada perasaan lain yang tumbuh tanpa diduga, yang terkadang membuatmu tersiksa sebab takut kehilangan dirinya. Takut kehilangan sahabat, sekaligus cinta yang kau punya.(*)

Malang, 23 Maret 2019

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata