Tuti Kuch Kuch Hota Hai

Tuti Kuch Kuch Hota Hai

Tuti Kuch Kuch Hota Hai
Oleh: Fitri Fatimah

Ini bukan ceritaku. Tapi tentang Tuti. Kenapa harus tentang Tuti? Karena orang satu itu yang lagi lari macam banteng liat kain merah ke arahku, langsung saja dia menyeredukku dengan pelukan, lalu aku dibawanya lompat-lompat sampai nyundul bulan. Enggak ding, kan masih pagi, bulannya belum kelihatan.

Setelah puas lompat-lompat, Tuti melepas pelukannya lalu memulai tingkah aneh lain dengan berteriak kya-kya. Gila saja, langsung kubekap mulutnya pakai tangan, salah-salah nanti dikira korban ahem-ahem sama tetangga. Tapi Tuti tetap kekeuh teriak-teriak, ludahnya sampai bleberan di tanganku. Samar aku menangkap kumur kata-katanya. “Haku wrrr aru wrrr aja wrrr itembak.”

“Apa?”

“Aku baru saja ditembak!” pekik Tuti setelah aku melepas bekapan.

Dan rupanya bukan hanya aku seorang yang dengar, Sarah, gadis tetangga sebelah sepantaran kami, tiba-tiba nyamperin—entah brojol dari mana. Tampangnya kepo abis. “Ditembak? Mananya yang ditembak? Aduh awas darahnya kececeran, nanti kamu anemia. Siapa yang mau donorin coba? Gimana kalau golongan darah mama papamu enggak cocok, kebongkar kan nanti kalau kamu anak pungut. Ih, lagian kamu mainnya sama siapa sih sampe kena tembak? Sama preman yah pasti? Atau yakuza? Jangan-jangan mafia?! Pasti cakep,” cerocosnya sudah panjang lebar. Aku sama Tuti saling pandang, cengo maksimal.

“Eh, kok kayaknya aku gagal fokus, ya?” Sarah menyela perkataannya sendiri. Dia lalu mengeluarkan Aqua botolan yang rupanya dikantonginya di saku celana sejak tadi, menenggaknya sampai tandas. Lanjut ngoceh, “Aha! Sekarang aku ngerti. Pasti maksud Tuti ditembak, maksudnya ada orang yang bilang cinta, kan, sama kamu? Oh, abang mafia beneran ya? Kenalin ak—” sebelum kata-katanya selesai, ada paham saling paham melintas di mataku dan Tuti yang intinya gini, “Mari singkirkan makhluk delusi satu ini.”

Setelah selesai mengurung Sarah di jamban umum, kami melanjutkan urusan yang sempat terinterupsi. Aku bertanya pada Tuti apa benar dia habis ditembak seseorang. Tuti mengiyakan sambil wajahnya merona berseri-seri.

Kontan aku sebagai BFF-nya memberi selamat dan minta jatah traktir jadian.

“Ah gampang itu. Mau bakso, nasgor, tahu bulat, tanggung rebes. Tapi sebelum itu, itu idiom bahasa Inggris yang ada apple apple-nya, yang artinya romantis ntu, apa uda ya?”

You are the apple of my eyes?”

“Hooh hooh,” Tuti mengangguk-angguk sambil mulai mengetik di gawainya.

“Apaan si? Sok gaya banget pake bahasa Inggris, emangnya pacarmu orang barat?” kelakarku.

“E … India itu baratnya Indonesia atau mananya, si?”

“Perbatasan sebelah baratnya emang sama Samudera Hindia,” jawabku tangkas.

“Okay, di situ.”

“Ooo … wait what?”

What what apaan sih. Iyaaa India, Shahrukh Khan, Taj Mahal, kare, masak kamu nggak tahu? Jadi gini ceritanya … kami kenalannya kemarin di FB, terus tiba-tiba dia bilang I love you. Nggak percayalah aku. Tapi dia bilangnya aku tuh cute, dia nggak pernah ketemu cewek se-cuuute aku. Coba deh bayangin. Yang nembak aku orang India, orang luar negri! Ini tuh kayak keimutanku go internasional. Ni, dadaku aja nggak selesai-selesai berdentamnya.”

“Ya kalo nggak dentam-dentam mati dong kamu, Tuti,” aku masih mencoba melucu.

“Ih sirik aja kamu. Jangan sirik-sirik. Mending temenin aku ke warnet. Aku mau download film-film India baru. Terakhir kali nonton tu pas dulu banget jamannya Kuch Kuch Hota Hai. Kali aja sekarang di sana trennya beda, kalo seneng nggak langsung yang joget-joget sekelurahan.”

“Bentar deh, Tut, balik ke ceritamu tadi, kamu kenalnya di FB, kenal kemarin, berarti baru sehari, kan? Dan langsung kamu iyain ‘I love you’-nya?”

Tuti mengangguk kuat-kuat.

Ya ampun, ini Tuti polos atau, ehem, IQ jongkok sih?

“Gini deh, Tut, kamu kalau kentut bunyinya gimana?” aku mencari cara untuk membawanya ke jalan yang benar.

“Proott!”

“Nah gitu. Jadi—”

“Tapi kalau lagi diare bunyinya cepirit-cepirit. Ada juga yang enggak ada bunyinya, biasanya aromanya lebih mantep dari telur busuk tuh,” Tuti menyela penjelasanku.

“Dengerin dulu napa. Kamu kalo kentut kan bunyinya jelas proott.” Tuti uda mau nyela lagi, kukibas-kibas tangan mencegahnya. “Anggap aja gitu. Berarti uda pasti, kan. Nah sama kayak semua hal, semuanya juga mesti yang pasti-pasti. Kamu boleh pacaran sama siapa aja, eh salah, pacaran mah nggak boleh, tapi bentar, kita bahas satu-satu dulu, kamu harus pastiin sebelumnya tentang siapa orangnya, kepribadiannya kayak gimana, dan lain-lain. Kayak gimana pas belanja online, banyak kan. uda kasusnya yang ternyata barangnya tipu-tipu, tapi bukan berarti kamu enggak boleh belanja online sama sekali, boleh, kok, asal ya itu, pastiin dulu seller-nya terpercaya nggak, prosedurnya janggal nggak, dan lain-lain.”

“Intinya, kamu enggak restuin hubungan kami?”

Haduh, tepok di jidatku amat keras saking frustasinya.

“Bukan gitu, Tutiiii …. Gini deh, emang kamu uda beneran yang bener-bener kenal sama itu cowok? Baru sehari coba, emangnya kayak belajar pas semester, pake sistem kebut semalam langsung jadi?”

“Ya tapi, kan … kalo cinta kan, nggak pake sistem-sisteman. Lagian aku uda kenal dia, kok. Dia kuliah jurusan teknik, uda semester lima. Hobinya renang sama nonton kriket. Dia cakep, nih liat foto-fotonya. Hidungnya mancung, kan, kayak perosotan. Aduh bikin aku Kuch Kuch Hota Hai,” ucap Tuti sambil memamerkan foto yang dimaksud dari gawainya. Mendengar kata foto aku kontan parno.

“Tapi kamu nggak bales-balesin dia ngirim fotomu, kan?”

“Ya enggaklah!”

Aku langsung menghela napas lega. Uda takut aja aku dia jadi korban cyber crime. Emang sih nggak boleh suudzon, tapi yang namanya berhati-hati kan harus. Aku sudah mau mengacungi Tuti jempol, sampai kemudian dia melanjutkan, “Habisnya aku belum instal B612, sih. Kuota internetku mepet. Padahal jerawatku lagi mateng-matengnya. Nanti aku batal imutnya. Aku pinjem gawaimu, yah? Download dari situ terus kirim pake SHAREit ke aku, okay?”

“okay,” jawabku dingin sambil menyeretnya ke jamban umum, biarlah kukunci Tuti bersama makhluk delusi sejenisnya.

 

Fitri Fatimah, asal Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. Menulis baginya akhir-akhir ini tak bisa lepas dari kopi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply