Wanita Itu Membunuh yang Bukan Aku
Oleh: Lily Rosella
Anissa menusukku tepat di depan suamiku. Menancapkan pisaunya begitu dalam, hingga darah bercucuran. Aku setengah berlari, pelan. Bersembunyi di balik pintu dan menutup mulut dengan kedua tangan. Menekan dadaku agar darah tak mengalir lebih banyak lagi.
Kutinggalkan Anissa dan Mas Arman, suamiku, di kamar mereka. Selain merebut suamiku, ternyata wanita itu lihai menghasut. Namun, entah kenapa hasutannya malah menamparku keras. Sangat keras sampai-sampai aku tidak tahu apakah sedang berada di alam sadar atau tidak. Barangkali aku benar-benar sudah mati, tetapi bisakah aku hidup lagi.
Ah, ada yang keliru.
Aku periksa dadaku. Tak ada darah yang tadi mengalir, juga tak ada bekas luka tusuk. Hanya saja, aku benar-benar merasa kalau Anissa telah menusukku. Dia membunuhku.
“Mas, aku ingin masuk Islam,” ucapku ketika Mas Arman masuk ke kamarku.
“Apa yang kamu katakan, Angel?”
“Aku ingin masuk Islam, Mas,” ulangku.
“Kenapa? Kenapa begitu tiba-tiba?”
Dadaku kian sesak. Apa salahnya jika aku memeluk agama Islam? Apa karena agar Mas Arman memiliki alasan untuk menceraikanku dan hidup bersama Anissa saja? Dulu tak masalah baginya menikahiku yang berbeda keyakinan dengannya, tetapi setelah menikah dengan Anissa atas desakan ibu mertuaku, Mas Arman perlahan menjauh. Dia mulai menjaga jarak, bahkan tidak lagi mau tidur sekamar denganku. “Ini zina,” begitu jawabnya.
“Aku ingin masuk Islam, Mas,” ucapku pelan. Menarik-narik bagian bawah kemeja birunya.
Ragu, tangan Mas Arman terkepal dan terbuka pelan, mengarah dan mendarat tepat di bahuku. Ditatapnya aku meksi tidak tepat di kedua bola mataku. “Mas mau tahu alasan kenapa kamu ingin masuk Islam? Apa karena kamu takut Mas meninggalkanmu?”
Aku menggeleng cepat. Mataku berkaca-kaca. Sungguh, bukan itu alasannya. Bukan! Jika boleh jujur, ini karena Anissa, maduku, dan juga karena ibu mertuaku. Mereka yang membuatku ingin memeluk Islam. Mereka menyadarkanku kalau pernikahan yang telah kujalani dua tahun belakangan ini salah. Benar-benar salah. Entah apa penyebabnya, aku hanya meyakini semua itu begitu saja, padahal aku juga yakin tidak ada yang keliru dengan pernikahanku dan Mas Arman.
“Mas tidak melarang kamu pindah agama, tetapi jika kamu ingin pindah rumah karena kamu bosan tinggal di rumah ini, mungkin besok-besok saat kamu bosan tinggal di rumah yang baru, maka kamu akan minta pindah lagi atau merasa rumah yang lama ternyata lebih nyaman,” jelasnya.
Aku tertunduk lesu. Bibirku bergetar. Sejenak kata-kata Anissa tadi siang kembali terngiang dalam ingatanku. “Sebenarnya aku tidak enak menyetujui perjodohan orangtua kita, Mbak Angel pasti sangat terluka sejak aku tinggal di rumah ini, tetapi ibumu bersikeras agar aku mau menjadi istrimu. Beliau ingin menjaga kalian agar tidak terus menerus berzina. Aku tahu pernikahan kalian memang tidak semestinya. Dua orang yang menaiki bahtera berbeda sangat kecil kemungkinannya untuk berlabuh di dermaga yang sama, bahkan mungkin, mereka akan terpisah di tengah jalan.”
Perlahan, aku mengangkat kepalaku, menatap kedua mata Mas Arman lekat-lekat. Wajah itu, aku sadar kalau wajah itu lenyap di Minggu pagi. Selepas Subuh Mas Arman ada pengajian di masjid tempatnya biasa salat berjemaah, sedangkan aku pergi ke gereja. Tak ada sarapan bersama. Tak ada menghadap Tuhan bersama-sama juga.
“Angel.” Mas Arman membuyarkan lamunanku.
” Ah, iya?”
“Kenapa kamu ingin masuk Islam?”
Aku bergeming. Sejenak aku memikirkan ulang. Tentang Minggu pagi. Tentang dermaga. Tentang pendapat Mama kalau kami tidak pernah cocok sejak awal. (*)
Jakarta, 12 Desember 2018
Lily Rosella, penulis asal Jakarta yang hobi galauin mi rebus pas malam hari. Salah satu penulis dalam buku antologi cerpen Kisah Tengah Malam: 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata