Aku Sayang Ayah
Oleh: Erlyna
“A … apa? Ski …?”
“Skizofrenia, Sayang.”
“Itu … apa? Apakah berbahaya? Apakah Ayah sakit keras? Ayah tidak apa-apa, kan?”
Hening.
“Kak, jawab Aira. Ayah baik-baik saja, kan?”
“Eh, yeah. Ayah … baik-baik saja.”
“Syukurlah, Kak. Aira lega Ayah baik-baik saja. Ternyata penyakit ‘Ski’ tidak berbahaya, ya.”
Alena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tangannya masih sibuk mengoleskan krim untuk menutupi luka bekas pukulan di punggung Aira, adik kesayangannya.
“Aira, apakah kamu tidak apa-apa? Maksud kakak, kamu hampir tiap hari dipukuli seperti ini.”
“Aira baik-baik saja, Kak. Aira sudah biasa. Ayah memukul karena sayang sama Aira, kan? Aira juga sayang Ayah.”
Alena tidak tahan lagi. Ia memeluk adiknya erat-erat. Selalu saja begini. Alena selalu tidak bisa melakukan apa-apa tiap kali adiknya dipukuli.
“Sayang, kamu tidur, ya. Sudah malam. Kakak kembali ke kamar, ya. Nanti Ayah marah kalau tahu kakak ada di sini. Nanti kamu dipukul lagi.”
“Iya, Kak. Aira tidak apa-apa, kok.”
Alena bergegas keluar kamar. Ia tidak sanggup melihat senyum adiknya. Tubuhnya berlutut tepat di depan pintu kamar Aira. Alena menangis, menumpahkan segalanya yang sejak tadi ditahannya sekuat tenaga.
“Sedang apa kamu?”
“Hah? A … Ayah? Aku … aku barusan jatuh. Lututku sakit sekali,” ucap Alena sambil menyeka tangisnya.
“Bangunlah. Kembali ke kamarmu. Kamu harus belajar, bukan? Ayah akan memanggil Amara untuk mengompres lututmu.”
“Baik, Ayah.”
“Cepat! Jangan membuang-buang waktu berhargamu untuk melakukan hal-hal yang tidak penting.”
Alena melangkah setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua. Gadis tujuh belas tahun itu berjalan menuju jendela. Ditatapnya lampu-lampu yang menghiasi taman di samping rumahnya. Matanya lalu tertuju ke lantai bawah. Jalanan depan rumah itu ia pandangi cukup lama.
“Apakah rasanya sesakit ini, Bu? Aku tidak tahan lagi. Bolehkah aku ikut turun juga?”
* * *
Alena baru saja membuka pintu depan saat mendengar suara pukulan yang sangat keras, berulang-ulang.
Aira!
“Cukup, Ayah!”
“Alena! Apa yang kamu lakukan? Sejak kapan kamu berani membentak Ayah?”
“Cukup, Ayah. Cukup.”
Tubuh Alena bergetar hebat. Di hadapannya, Aira tengah berbaring meringkuk dengan pakaian penuh sobekan.
“Kakak ….”
Tangis Alena tumpah saat melihat adiknya tersenyum. Perasaannya hancur. Bagaimana bisa adik kesayangannya masih bisa tersenyum dalam keadaan seperti itu?
“Ayah, apa yang terjadi?”
“Anak sial ini membuat Ayah malu dengan nilainya yang hancur. Sia-sia Ayah menyekolahkannya ke sekolah mahal, tapi selalu saja begini hasilnya.”
“Ayah, tenang, ya. Masih ada aku. Aku janji akan selalu mendapatkan nilai yang bagus untuk Ayah. Jadi tolong, jangan pukul Aira lagi.”
Laki-laki paruh baya yang dipanggil Ayah itu menatap tajam ke arah Aira, lalu melangkah menuju kamarnya.
“Alena! Biarkan saja anak sial itu di situ. Jangan coba-coba membantunya, atau Ayah akan memukulnya lagi.”
“Tapi, Ayah ….”
“Masuk kamar!”
Dengan langkah berat, Alena berjalan menaiki tangga, meninggalkan Aira yang masih bergeming dengan punggung penuh bekas pukulan.
“Aku baik-baik saja, Kak,” ucap Aira masih tersenyum.
* * *
Alena duduk di tepi ranjang. Gadis berambut panjang itu tidak punya gairah sama sekali untuk belajar. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang Aira. Apakah adiknya itu baik-baik saja? Alena tadi sempat mengintip sekilas, tidak ada siapa-siapa di lantai bawah. Itu artinya adiknya sudah dipindahkan ke kamarnya oleh Amara, wanita yang merawat Alena dan Aira lima tahun terakhir.
Alena melangkah menuju bibir jendela. Dipandanginya lagi jalanan di bawah sana. Ingatannya kembali ke lima tahun silam.
Siang itu Alena baru saja pulang sekolah, saat mendapati Aira tergeletak dengan kepala mengeluarkan darah. Sementara di sampingnya, Ibu dan Ayah tengah bertengkar hebat.
Beruntung, Aira masih bisa diselamatkan. Namun akibat pukulan yang diterimanya di bagian kepala, anak empat tahun itu menderita Short Term Memory Lost Syndrome.
Sejak saat itu, Aira jadi pelupa. Aira bahkan bisa lupa denga apa yang baru saja terjadi padanya. Hal itu juga yang mempengaruhi nilai-nilainya di sekolah. Tiap kali ulangan, Aira tidak mengingat apa yang sudah dipelajarinya semalam. Akan tetapi setidaknya, Aira bisa melupakan rasa sakit yang diterimanya tiap kali dipukul Ayah.
Namun, berbeda dengan Ibu. Wanita lemah lembut itu begitu terpukul saat mengetahui keadaan Aira akibat ulah suaminya. Kesabaran Ibu habis. Beliau tidak tahan lagi melihat Aira tiap hari dipukuli hanya gara-gara hal sepele.
“Ayahmu sakit, Alena. Ibu benci sekali.”
Itu perkataa terakhir Ibu, sebelum tubuhnya menjatuhkan diri dari jendela kamar Alena dengan posisi kepala di bawah.
Sejak saat itu, Alena sering menatap jalanan di bawah jendela kamarnya, berbagi cerita dengan Ibu.
Brak!
Aira!
Alena bergegas membuka pintu kamarnya. Di bawah tangga, terlihat tubuh Aira bersimbah darah, sementara Ayah berjalan mendekat dengan tangan memegang balok kayu.
“Aira!”
Alena tidak kuat lagi. Ia bergegas turun, memeluk tubuh Aira yang lemas dan terasa dingin.
Sebuah pukulan keras terdengar. Ayah melotot saat menyadari apa yang terjadi. Di hadapannya, tubuh Alena tergeletak, dengan kepala bersimbah darah.
“Alena …!”
Purworejo, 14 Januari 2019
*Catatan kaki:
Skizofrenia: Penyakit jiwa yg ditandai oleh ketidakacuhan, halusinasi, waham untuk menghukum, dan merasa berkuasa, tetapi daya pikir tidak berkurang.
Short Term Memory Lost Syndrome: Lupa ingatan sesaat.
Tentang Penulis:
Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata