Airin
Oleh: Erlyna
“Ahhh! Ibu tiri sialan!”
Sambil menghapus air mata, Airin duduk di sudut ruangan. Gelap, pengap dan dipenuhi sarang laba-laba. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah nyala lampu yang mengintip malu-malu dari celah udara di atas pintu.
“Menangis lagi, ya?”
Sebuah suara serak menyambut kehadiran Airin.
“Diam!”
Airin membalas kasar. Gadis yang baru genap berusia tujuh belas tahun itu terlihat acak-acakan. Beberapa bagian bajunya sobek. Di sela suara isak, ia berusaha mengingat kembali kejadian yang membuatnya harus terkurung di kamar ayahnya untuk kesekian kali.
* * *
“Bu, aku minta uang.”
“Heh! Uang bulananmu sudah habis? Ini masih tanggal lima belas. Enak banget, ya, tinggal minta.”
“Bukan buat keperluan sekolah, tapi untuk ….”
Plak!
“Hei! Sekolah yang benar, jangan main terus. Orang tua susah payah supaya anaknya bisa sekolah, malah yang jadi anak sukanya hura-hura. Melakukan hal-hal yang tidak benar.”
Hening.
Dasar wanita sialan!
Airin membalikkan badan sambil mengumpat di dalam hati. Terakhir, ia membanting pintu dengan keras. Siapa yang menyangka kalau wanita dengan tubuh indah yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’ itu menyusul keluar.
Sebuah tangan halus menyambar sapu yang diletakkan di samping pintu, lalu memukul kepala Airin yang sedang menunduk memakai sepatu.
“Aduh!”
“Dasar anak kurang ajar. Tidak punya sopan santun sama sekali. Berani sekali kamu membanting pintu di depan muka saya. Saya jadi penasaran, bagaimana cara mamamu yang hina itu mendidik anak hingga jadi sepertimu.”
“Cukup. Jangan menghina Mama.”
“Kenapa? Keberatan, ya? Kamu keberatan jika wanita menyedihkan yang telah melahirkanmu itu saya hina?”
Airin menatap ibunya dengan tajam. Napasnya naik turun dengan cepat, menandakan ia sedang susah payah menahan emosi. Bagaimanapun, ia tidak terima jika wanita yang sangat disayanginya itu dijelek-jelekkan, terlebih lagi di hadapannya.
“Dengar, ya. Jika bukan karena Ayah, aku juga tidak sudi memanggilmu ‘Ibu’.”
“Ooo … jadi begitu, ya? Jadi kamu sudah berani melawan, ya?”
Detik berikutnya Airin menjerit sekerasnya. Wanita menyebalkan itu menarik paksa rambut Airin dan menyeretnya menuju sebuah kamar. Airin berusaha bertahan dengan berpegangan apa saja yang bisa diraihnya. Akan tetapi, entah mendapat kekuatan dari mana, tenaga ibu tirinya jauh lebih kuat.
Airin memejamkan mata saat tubuhnya dipaksa menaiki tangga. Airin ingin sekali pergi ke sekolah. Hari ini ada ulangan Bahasa Indonesia, mata pelajaran kesukaannya.
“Hentikan, Ibu. Aku harus ke sekolah. Nanti terlambat.”
“Masa bodoh dengan sekolahmu. Aku tidak akan membiarkan anak kurang ajar sepertimu berkeliaran. Kamu harus mendapatkan ganjaran dari perbuatanmu.”
“Tapi, Bu ….”
Bruk!
Tubuh Airin didorong hingga terempas ke lantai, diikuti suara pintu terkunci dari luar.
* * *
“Jadi kali ini, apa yang terjadi?”
Suara serak di samping Airin membuyarkan lamunan.
“Hei! Kamu masih di sini?”
“Ya. Aku tidak akan pergi sebelum kamu bercerita.”
Airin menghela napas berat sambil membetulkan ikatan di rambutnya.
“Tidak ada yang perlu diceritakan. Yang paling penting, hari ini aku terpaksa bolos lagi. Ini menyebalkan. Padahal, setelah mendapat kabar dari Eva kemarin, semalaman aku belajar untuk ulangan Bahasa Indonesia hari ini. Semua terasa sia-sia.”
“Masih untung kamu punya Ibu. Ada yang memperhatikan, memarahi, melarang ini itu. Semua itu adalah bentuk kepedulian. Jangan berburuk sangka.”
Airin menatap sosok di sampingnya. Matanya berubah merah. Detak jantungnya memburu. Ia marah sekali. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, namun rasanya lidah terasa kelu, tidak bisa berkata-kata.
“Pergi! Jangan ganggu aku.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Airin kaget saat melihat ibunya sudah berdiri di depan pintu sambil melotot.
“Barusan aku mendengarmu bercerita. Kamu sedang bicara dengan siapa? Kamu mengadu pada seseorang?”
“Tidak, Bu. Aku tidak bicara dengan siapa-siapa. Aku cuma ….”
“Berikan handphone-mu.”
“Ibu aku ….”
“Berikan handphone-mu!”
Dengan terpaksa, Airin menyerahkan ponsel yang sejak tadi tergeletak di dalam ranselnya.
Prang!
Hening. Airin terdiam cukup lama, sebelum matanya berkaca-kaca disertai tubuh gemetar. Suara barusan mengingatkannya pada sebuah kejadian satu tahun silam, saat Airin tidak sengaja memukulkan sebuah cermin ke kepala mamanya. Saat itu Airin tidak bisa berpikir panjang. Ia begitu ketakutan saat mamanya yang gila mendekat dengan tangan terangkat, siap mencekik lehernya. Mulutnya meneriakkan nama Tiara.
Di lantai, pecahan handphone berserakan. Tetapi bukan itu yang membuatnya menangis. Cermin di dinding kamar itu juga pecah. Cermin yang selalu digunakan Rio—laki-laki yang selalu menghiburnya saat Airin sedih, untuk keluar masuk.
“Tidak …!”
Purworejo, 1 Januari 2019
Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata