Hiruk Pikuk Aku
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni
“Hahaha …,” tawaku ketika perempuan itu bercerita aib lelakinya. Bagaimana kebohongan demi kebohongan tertuang manis sebagai kisah cinta mereka berdua. Pasangan bahagia di dunia maya.
“Bayangin, Dek, pernah suatu hari Abang beli gawai baru, beberapa hari dia menyembunyikan dalam tasnya, dia pikir aku bodoh tidak tahu gelagat anehnya.” Perempuan itu menggebu bercerita tentang suaminya.
“Pernah juga Abang pamit bekerja, tetapi entah ke mana. Seharian WhatsApp-ku tidak dijawabnya, teleponku diabaikan.”
Jika etika kesopanan memperbolehkan aku tertawa, pasti aku sudah terbahak-bahak di depannya.
***
“Dek, jangan bilang istriku ya. Aku tidak ke kantor hari ini.” Mataku membelalak melihat pesan singkat dari si Abang. Kali ini aku benar-benar terbahak-bahak dibuatnya.
Lain lagi di suatu waktu. WhatsApp-ku di blokir sama Nyonya. Atau kami hanya bercakap lewat gawai saja.
“Cie sedang marahan, Bang?” Aku selalu meledeknya di tiap-tiap curhatannya. Keluarga yang menggelikan.
***
Aku berdiri di depan stasiun. Satu-satunya stasiun di kota kelahiranku. Membawa backpacker seolah-olah mau pergi selamanya. Niatku memang pergi selamanya, tapi entahlah, apa nyaliku sanggup berlari dari segala hiruk pikuk dunia nyata. Aku gagal menjadi perempuan yang pantas disebut ibu, berkali-kali gagal membuatku sulit bertahan menahan emosi, bahkan terkadang aku berhalusinasi menjadi orang lain.
Tamparan demi tamparan datang di kehidupanku. Berpasangan dengan lelaki arogan dan kasar, membuatku jengah. Belum lagi keluarganya yang … ah, hidupku teramat lelah untuk diceritakan. Aku perempuan, pejuang nafkah, dan aku hanya ….
Sempat terbuai drama keluarga bahagia, yang membuatku nyaris percaya dan mencinta. Melakonkan beberapa babak untuk dijadikan bahan tertawaan. Salah siapa? Salahku yang terlalu percaya padanya.
***
Bulan berlalu, aku masih suka tersenyum menikmati metamorfosis kerohanian para pemuja dunia. Beberapa tampil menjadi sosok yang sama sekali tidak kukenal. Semoga saja itu dari hatinya, atas kehendaknya. Berharap memang Allah-lah sebagai sandarannya kembali.
Aku … roda berputar, aku masih saja pejuang nafkah, pejuang senyum yang menyisakan sebelah bahuku untuk orang lain. Orang yang lebih keras lakonannya. Yang lebih dasyat tangisannya.
Aku berhenti di satu titik, untuk mengasihi bukan mengasihani. Beberapa air mata kusimpan untuk mereka yang lebih berhak, bukankah kali ini Allah masih berpihak padaku. Meski bukan penghasil puluhan juta dalam 30 hari, minimal aku masih bisa makan sebungkus dua bungkus nasi setiap hari.
Seperti pagi ini. Sudut sepatuku berhenti di salah satu bank milik negara. Tergopoh seorang bapak membawa delapan juta rupiah dengan berderai air dari matanya. Salah seorang karyawan bank mengikuti dari belakang. Singkat cerita si bapak mencari pinjaman untuk pengobatan istrinya, namun Allah berkehendak lain. Pinjaman cair dan tepat saat itu sang istri berpulang.
***
Tidak ada cerita yang sempurna, bukan? Allah sudah menuliskannya di langit ke tujuh, dan biarlah catatan itu tetap menjadi rahasia-Nya. Rahasia kekal atas rasa syukur telah diberi hidup dan menikmati setiap prosesnya.
***
Jawa Tengah, 22 Desember ’18
Aku yang berjuang dalam sendiri.
Aku yang tak pernah menggadai peluh dengan keluh.
Aku yang percaya akan keabadiaan setelah kepergian.
Aku yang selalu menikmati setiap proses kehidupan.
Wiwin Isti Wahyuni, penggila senja dan jingga. Sebagai pengajar di Islamic Full Day School di kota tahu Kediri. Membuat semangat berkarya semakin tinggi. Belajar tak mengenal usia adalah motto hidupnya. Hidup harus senantiasa menebar kebaikan dan selalu menjadi lebih baik adalah visinya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata