Nabila Tasya
Oleh: Respati
Jarum pendek pada jam dinding masih berada di angka lima, tetapi Mama sudah berkutat di dapur. Setiap pagi Mama terjaga sebelum Pluto—jago merah milik Pak Jawir ‘tetangga sebelah’—berkokok. Sudah pasti Mama sedang menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah, termasuk Nabila. Sebagai anak tertua dan menginjak remaja, seharusnya ia sudah bangun dan membantu Mama. Tapi anak tertua Mama ini lebih memilih menarik selimutnya lagi.
Mata Nabila masih terpejam, walaupun sebenarnya telinganya sudah menangkap kegiatan Mama di dapur sejak tadi. Gemericik air dari keran, dentingan piring yang saling beradu, juga gelas-gelas yang bersentuhan dengan sesamanya.
Mama di depan bak cuci sedang membersihkan sawi hijau. Terlihat ada bakul berisi nasi putih, suwiran ayam juga bakso. Selain itu ada udang di piring kecil. Sepertinya Mama hendak membuat nasi goreng.
Bumbu yang dimasukkan ke dalam wajan dan bertemu minyak goreng panas, menimbulkan suara letupan kecil dan cipratan. Makin keras terdengar saat sawi juga dimasukkan Mama ke dalam tumisan bumbu. Ini akibat air yang masih tertinggal pada sawi. Setelah memasukkan nasi dan seluruh pelengkap, Mama masih menambahkan irisan tipis dadar telur yang ditaburkan bersama bawang goreng di atasnya. Jangan ditanya masalah kandungan protein yang lengkap pada sepiring nasi goreng buatan Mama. Cukup memenuhi asupan gizi di menu sarapan keluarga Baskoro ini.
Mama memang bukan ahli gizi, tetapi pilihan menunya, selalu kaya gizi dan sehat. Ini penting untuk tumbuh kembang kedua anak gadisnya, Nabila dan Tasya. Walaupun mereka berdua sering kali berbeda selera setiap memilih menu makan mereka.
Seperti sarapan pagi ini, atas usul Tasya yang mendapat protes keras kakaknya kemarin sore dan tak jarang berakhir dengan keributan.
“Ma, besok sarapan nasi goreng lengkap, ya,” pintanya manja.
“Gak mau! Kwetiaw goreng aja, Ma!” bantah Nabila.
“Kemarin kan, sudah, Kak. Masa itu lagi. Gantianlah menu lain,” bantah Tasya.
“Biarin! Itu kan, favorit Kakak.” Nabila bersikeras tak ingin mengalah dari adiknya.
“Ih, gak bisa gitu. Adek kan, juga mau nasi goreng. Itu kan, favorit Adek juga!“ serang Tasya tak mau kalah.
“Gak. Tetap kwetiaw goreng!”
“Nasi goreng!”
“Kwetiaw!”
“Na-si goreng …!” Dengan nada kesal dan sambil berteriak Tasya mendorong meja dengan kakinya.
Prang ….
Sebuah gelas jatuh berantakan di lantai, sebelum jatuh menumpahkan seluruh isinya dan membasahi komputer jinjing milik Nabila.
“Mama …! Adek, Ma … laptopku,“ teriak Nabila keras.
Mama yang berada di kamar setengah berlari ke luar. Pecahan gelas dan isinya yang membasahi bukan saja laptop milik Nabila tapi juga permadani di ruang tengah.
“Kakak … ada apa? Apa yang pecah?” tanya Mama panik.
“Laptop aku, Ma! Lihat, Ma!” Nabila kesal, “Ini semua gara-gara kamu!” Mata Nabila tajam melotot ke arah Tasya yang mulai ciut nyalinya.
Nabila membawa laptopnya ke kamar. Ia bahkan tak memedulikan pecahan gelas di lantai. Dia lebih mementingkan mengeringkan laptopnya yang diguyur air sirup.
Tasya cuma bisa jongkok di dekat permadani dan mencoba mengeringkan permadani kesayangan Mama itu dengan roknya.
“Pakai lap pel, Dek!” perintah Mama.
Tasya menurut mengambil lap pengepel lantai di dapur lalu kembali lagi ke ruang tengah. Tangan mungilnya menekan kain lap ke permadani yang basah. Sesekali dia menggosoknya untuk menarik cairan yang mungkin masih tersembunyi di sela-sela benang.
Sambil menunduk Tasya berkata, “Ma, maafin, Sya. Permadani Mama basah, gara-gara Tasya.”
Mama sedang menyapu dan mengumpulkan pecahan gelas, hanya menoleh sebentar ke arah Tasya. Anak bungsunya itu terlihat sangat menyesal. Dari tadi dia menunduk menyembunyikan ketakutannya, dan bisa dipastikan mata Tasya sudah berair. Sesaat sebelum menetes, dia memeluk kedua lututnya.
***
Kamar Nabila tertutup. Sejak keributan sore tadi, Nabila mengurung diri di kamar. Ia sangat mengkhawatirkan laptopnya.
“Gimana laptopnya, Kak?” tanya Mama.
“Gak apa-apa, Ma,” jawabnya pendek.
“Alhamdulillah,” ucap Mama lega.
Nabila masih sibuk menulis di mejanya. Mama membereskan buku-buku di atas kasur Nabila yang berserakan. Menatanya kembali ke dalam rak buku miliknya. Sejak kecil Nabila sangat suka membaca.
Mama lalu duduk di pinggir petiduran. Sambil memperhatikan Nabila yang masih menulis tugas sekolahnya, seakan tak menghiraukan kehadiran Mama.
“Kak, seharusnya Kakak bisa bersikap lebih sabar menghadapi Adek,” kata Mama kemudian.
Sambil menulis Nabila menjawab. “Adek nakal, Ma. Laptop Kakak basah. Kalau rusak gimana? Kakak sedang banyak tugas,” ungkapnya kesal.
“Adek masih kecil, belum paham, Sayang.”
“Bukan cuma itu, Ma. Buku perpus Kakak dicoret-coret. Kakak harus ganti buku itu.” Nabila terus menggerutu. Ia masih kesal.
Mama menghela napas dalam. Mama hanya ingin Nabila lebih memahami dan bisa mengerti adiknya. Tetapi sepertinya sulit. Nabila justru lebih sering mencari kesalahan Tasya. Mama bergeming, menatap kosong jendela kamar Nabila. Menghalau perih setiap kali gadis sulungnya kesal dan memarahi adiknya.
Cahaya bulan temaram berpendar memantul ke dedaunan samping rumah. Sekilas Mama memandangi daun-daun meliuk disapa angin, membentuk gerakan lemah gemulai bak penari dalam sorotan sinar bulan penuh malam ini. Mama memilih beranjak dari petiduran Nabila. Meninggalkan si sulung dengan tumpukan kekesalan yang ia susun hampir setiap hari.
“Ma! Kenapa Adek gak dititipkan ke panti aja?” ujarnya ketus.
Langkah Mama terhenti, bergeming. Perih dirasakannya mengiris dada kirinya. Mama mengatur napas setelah sesak yang menyeruak tiba-tiba. Matanya membulat dan mengerjap beberapa kali.
“Lagian Adek bukan—“ Nabila tak melanjutkan kalimatnya.
Mama menunduk dan tak kuasa menunda aliran air matanya. Wanita yang berperan ganda itu keluar kamar Nabila dengan menahan tangisnya. Sesak yang dirasakan sejak tadi, runtuh menyisakan kepedihan mendalam. Ketika ia sampai di kamar, tangisnya pecah memenuhi ruangan.
Sebentuk tangan mungil mengelus punggungnya. Memeluk erat demi mengusir kegalauannya. Tasya mencium pipi juga tangan Mama. Tangan mungilnya menghapus linangan air mata di pipi Mama.
“Maafin Sya ya, Ma,” ucapnya sambil memeluk Mama.
Mama kembali menangis. Linangan air matanya kian mengalir cepat, di antara sedu sedannya. Gadis cilik bermata hitam itu terseret suasana pilu bersama gelombang rasa yang belum cukup ia mengerti. Ya, ia masih sangat kecil untuk memahami peliknya kehidupan orang dewasa. Pun demikian dengan Nabila. Gadis yang akhir tahun ini genap lima belas tahun masih belum bisa menerima kehadiran Tasya.
Nabila dan Tasya hanya makhluk kecil yang dipaksa menerima keadaan di luar kondisi yang semestinya tidak terjadi. Kalaulah boleh Mama memilih pun, ia tak ingin keluarga kecilnya tercerai berai. Karena yang akan tersakiti adalah anak-anak.
“Kamu tega, Mas!” kata Mama malam itu.
“Ya gimana lagi, Ayu terlanjur hamil. Dia gak mau merawat anaknya,” ucap Baskoro—suaminya—enteng. Laki-laki berambut keriting itu menyulut sebatang rokok setelah menyeruput setengah cangkir kopi hitam.
Ini rupanya yang akan disampaikan suaminya, sampai-sampai meminta Mama pulang lebih awal dari pekerjaannya. Kabar yang tidak saja meruntuhkan dinding kesabarannya selama ini, tapi juga menginjak harga dirinya sebagai perempuan.
“Kau pikir aku baby siter anak hasil hubunganmu dengan perempuan itu?” ucap Mama tajam.
“Jadi siapa lagi? Aku bapaknya. Kau istriku.”
“Aku gak sudi! Bawa pergi perempuan itu juga anaknya. Aku gak mau memelihara buah hasil perselingkuhanmu. Pergi!” usir Mama. Perempuan berkerudung hitam yang panjang itu, sudah hilang kesabaran menghadapi sikap suaminya.
“Aku memang mau pergi dengan Lisa. Aku titip anakku sama kamu. Rawat dia seperti anakmu sendiri. Jangan khawatir jatah bulanan kamu dan anak-anak, aku tambah.” Laki-laki bernama Baskoro itu beranjak dari duduknya sambil menghabiskan kopinya. Dia pergi tanpa menoleh ke arah Mama yang sudah menangis sambil terkulai lemah di lantai. Deraian air mata serta tangisannya tak cukup kuat menarik suaminya kembali. Pintu rumah masih terbuka dan di luar sana malam telah melenyapkan Baskoro.
Malam memeluk kelam tanpa memedulikan perasaan wanita tersakiti itu. Wanita yang jiwanya tercabik oleh laki-laki yang entah ia anggap sebagai suaminya lagi atau tidak. Kaki Mama tak mampu lagi berdiri, terlalu berat menopang beban hidupnya. Hingga suara itu mengejutkannya.
Suara bayi! Terdengar suara bayi di luar, tepatnya di teras rumahnya. Dengan sisa kekuatan yang Mama miliki, ia bangkit untuk melongok keluar mencari sumber suara. Dan benar, ada keranjang bayi terbuat dari rotan di atas kursi teras. Perlahan Mama membuka kain penutup keranjang, bayi merah dibalut selimut terlihat kedinginan. Bibirnya pucat, bergetar dan sepucat wajahnya. Dia merintih pelan sebelum tangisnya memecah malam. Mama kembali menangis, bayi cantik itu dibawanya masuk.
“Ma … Mama kenapa menangis?” tanya Tasya mengejutkan Mama. Pelupuk matanya menggenang penuh cairan bening yang siap tumpah. Bayi cantik itu kini sudah menjelma menjadi gadis kecil. Yang rapuh setiap kali Mama meneteskan air matanya.
***
Teriakan Mang Kos terdengar sayup-sayup. Pria penjaja susu kedelai itu mengayuh sepeda tuanya berkeliling. Terompet kecil yang kerap berbunyi sebagai penanda kehadirannya di kompleks. Sekaligus pertanda hari sudah benar-benar pagi.
Mang Kos berkeliling kompleks sekitar pukul enam lebih. Saatnya mengajak Nabila dan Tasya sarapan pagi, dengan menu nasi goreng istimewa.
Airmolek, 22 Oktober 2018
Susi Respati, penyuka cerita horor, namun sering ketakutan sesudahnya. FB: Susi Respati Setyorini.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata