Takdir Cinta
Oleh: Triandira
Suara televisi yang sedang menyiarkan acara kesukaanmu langsung terdengar olehku ketika pintu terbuka. Kau menyambut hangat kedatanganku, lalu kita duduk berdampingan di ruang tamu yang tak terlalu luas, namun sangat bersih dan nyaman. Rumah tempatmu tinggal memang bertipe minimalis, sesuai dengan impianmu selama ini. Ruangan bercat hijau muda dengan beberapa perabotan unik di dalamnya, semakin membuat kediamanmu terlihat cantik dan sejuk dipandang. Begitupun dengan bunga-bunga yang kau tanam di dekat teras, di dalam pot yang menggantung serupa taman kecil.
“Apa kabar?”
“Aku sehat, bagaimana denganmu?” tanyaku usai kau menutup pintu.
“Syukurlah. Aku juga sehat.”
Aku tersenyum. Di sela-sela perbincangan kita setelah cukup lama tak bertemu, sesekali kuedarkan pandangan, dan dapat kulihat kebahagiaan benar-benar terpancar dari kehidupanmu yang sekarang. Mungkin jauh lebih bahagia daripada saat dulu kita masih sering menghabiskan waktu bersama. Aku bisa merasakannya. Terlebih usai memandang senyum yang tak pernah lepas dari wajahmu. Senyum yang sama seperti yang kau tunjukkan di foto itu—benda yang terpajang di salah satu dinding ruangan, yang kembali menyadarkanku tentang luka di masa lalu. Ah, tidak. Sampai detik ini pun sebenarnya aku masih terluka.
“Maaf karena aku tidak datang di acara pernikahan kalian,” ucapku dengan susah payah. Seolah ada sesuatu yang menancap di jantungku hingga sulit rasanya untuk bernapas.
“Hm, aku bisa mengerti hal itu. Pasti bukan sesuatu yang mudah bagimu untuk menyaksikannya.”
Kau benar. Melihat kalian duduk bersanding di pelaminan memang menjadi hal yang menyakitkan. Aku tahu kau tak berniat melakukannya, menambah luka hatiku yang sebelumnya pernah tergores oleh penghianatan. Itu karena kita sama-sama terjebak dalam ikatan cinta yang rumit, dan kita tak memiliki pilihan selain mengorbankan salah satu perasaan di antara kita.
“O ya, ke mana dia? Aku kira kalian sama-sama libur bekerja,” tanyaku usai meneguk minuman kaleng dan menghabiskan sepotong biskuit di tangan. Beberapa macam cemilan yang kau sajikan memiliki rasa yang manis karena berlapis cokelat, sehingga membuatku tertarik untuk mengicipinya.
“Oh, itu. Sepertinya sebentar lagi dia pulang. Karena ada kepentingan yang mendesak, jadi dia pergi usai sarapan tadi.”
Aku menganggukkan kepala. Tak melontarkan pertanyaan lagi meski nyatanya ada banyak hal yang ingin kuketahui dari kalian. Itu karena aku tidak ingin membuatmu beranggapan yang tidak-tidak. Lebih tepatnya, mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
“Cha ….”
“Ya?”
Kau meraih jemariku, lantas mengusapnya perlahan. “Maafkan aku, maaf tentang semua ini.”
Aku menggeleng. “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mungkin sudah menjadi takdir di antara kita, dan percayalah aku turut berbahagia dengan pernikahan kalian.”
“Sungguh?”
Seperti jarum. Perkataanmu barusan seakan menusuk-nusuk hatiku. Tidakkah kau tahu? Semakin kau menanyakannya, semakin dalam luka yang kurasakan. Tapi tak apa, aku bisa memahami maksudmu. Mungkin kau hanya mencemaskan keadaanku, sebab kau juga tulus menyayangiku.
Bagiku, kalian adalah sosok yang berharga. Sampai kapan pun. Karena itulah aku bersedia datang kemari untuk bertemu denganmu, juga dengannya. Dan satu hal yang harus kau ingat. Kalian … memiliki cinta yang sempurna.
“Cha …?” ucapmu sekali lagi, membuyarkanku dari lamunan.
Aku menoleh, lalu menyunggingkan senyum sebagai balasan. “Ya, jangan cemas. Aku baik-baik saja,” jawabku kemudian. Dengan dada yang terasa sesak, aku kembali meyakinkan diri sendiri bahwa inilah kenyataan yang harus kuhadapi. Aku tak seberuntung dirimu, yang dianggap lebih pantas bersanding dengannya. Suamimu.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Penggemar Spongebob dan Harry Potter.
Fb: Triandira.
Email: wahyutriandira1@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata