Sang Ratu Hati
Oleh: Evamuzy
Aku berada di sini sekarang. Di salah satu kota pinggiran Jakarta. Kota kecil yang tak kalah bisingnya dari Ibu Kota. Riuh oleh deru mesin kendaraan berteman asap pekat yang menari di sana-sini.
Tiga hari lalu, Ayah mengantarkanku kemari dengan kereta Tegal Express dari stasiun kota kecil kami. Dari rumah, Ibu memberikan izinnya meski setengah hati. Karena keterbatasan uang, beliau tak bisa ikut mengantarkanku. Aku memeluknya erat sambil meyakinkan bahwa putrinya akan baik-baik saja selama jauh dari rumah dan rengkuhan mereka.
“Telepon kami sering-sering ya, Cah Ayu.” Suara lembut Ibu seraya mengusap kepalaku yang terbungkus kerudung biru.
“Iya, Bu. Insya Allah. Ibu jaga kesehatan, ya. Ratna janji akan jaga diri baik-baik.”
Aku adalah si sulung sekaligus anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Menjadi tertua dari empat bersaudara membuatku memiliki banyak keinginan yang ingin diwujudkan. Salah satunya adalah melanjutkan kuliah setelah lulus SMA.
Namun keadaan ekonomi keluargaku yang rendah menyadarkanku bahwa tak mungkin memaksakan kehendak pada mereka. Jika masih kulakukan itu pada mereka, sama saja aku sedang mengikatkan tali erat di leher keduanya.
Ibu hanya seorang ibu rumah tangga dengan kesibukan mengurus dua balita dan satu adikku yang sedang menuju dewasa. Sementara Ayah hanya seorang kuli bangunan dengan hasil tak seberapa. Hingga kemudian sebuah telepon dari kerabat jauh Ayah seminggu lalu membuatku sedikit memiliki harapan atas cita-cita yang aku punya.
“Mas, bisa minta tolong carikan anak yang mau bekerja di tokoku?” suara Bibi Sani dari ujung telepon.
Aku yang mendengar jelas karena percakapan itu sengaja dipengeraskan, langsung menawarkan diri. Mendengar itu, Ibu dengan cepat angkat bicara. “Tidak usahlah, Cah Ayu. Anak perempuan jangan jauh-jauh dari rumah.”
“Kali ini Ratna mohon, Bu. Ratna masih ingin mewujudkan cita-cita untuk kuliah. Biarkan ini menjadi awal Ranta menabung. Lagi pula Bibi Sani kan, kerabat kita. Dia akan menjaga Ratna dengan baik. Jadi Ibu tak perlu khawatir, ya.”
Melihat sang putri keukeh dengan keinginannya, pertahanan Ibu akhirnya luluh lantak. Dengan berat hati mengizinkan putrinya pergi.
***
Kuraih sebuah buku bacaan untuk mengusir jenuh setelah duduk menghadap etalase kaca berisi bahan kebutuhan pokok semenjak pagi hingga siang ini. Belum sampai selembar pun kisah kubaca, aku bangkit dari kursi plastik berwarna hijau itu saat seorang pria yang jelas kusangka seorang pembeli datang mendekati muka toko.
“Mau beli apa, Mas?” kutanya pada pria dengan penampilan sedikit payah itu. Wajahnya penuh noda hitam di sana-sini, seperti lama tak dibersihkan. Bajunya lusuh tak beraturan. Terlihat lama tak diganti. Meski jika dilihat lebih dalam, ada wajah khas pria baik di sana.
Pria itu tak menjawab. Dengan diamnya, ia melongokkan kepala ke dalam toko, matanya mengekor ke kanan dan kiri seperti sedang mencari sesuatu. Entah sesuatu atau seseorang.
“Cari apa, Mas?” aku kembali bertanya.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Ia justru melangkahkan kaki menjauhi toko. Berlalu dengan wajah yang sekilas memperlihatkan tatapan kosong. Sulit diartikan.
Aku meraih kembali buku bacaan yang tadi kusimpan. Melanjutkan aktivitas menunggu pembeli datang.
Toko kelontong Bibi Sani terletak di depan jalan alternatif. Dibangun di teras rumah milik keluarga kecil ini. Toko yang diberi nama ‘Amanah’ ini biasanya ramai oleh pembeli di pagi dan sore hari, yaitu para ibu rumah tangga yang ingin membeli bahan kebutuhan sehari-hari.
Bibi Sina bekerja sebagai guru sekolah menengah atas. Sepulang dari sekolah, ia akan disibukkan dengan mengurus ketiga putra-putrinya. Sementara suaminya adalah seorang aparatur sipil negara di salah satu instansi pemerintah. Kesibukan keduanya membuat mereka membutuhkan seseorang untuk menjaga toko yang cukup besar itu.
Keesokan harinya pria itu datang kembali. Melakukan hal yang tak jauh berbeda dari kemarin.
“Jangan dekat-dekat dengannya, Mbak. Usir saja kalau datang lagi.” Seorang ibu yang datang tak lama setelah si pria pergi, memberi pesan padaku. Menyampaikannya dengan mimik wajah tak suka. Pesan yang tak jauh berbeda juga kuterima dari yang lainnya, namun dengan sorot mata yang tak saling semakna.
Hari berikutnya kukira dia tak lagi datang. Aku sedikit lega. Namun perkiraanku salah. Sosok itu sudah berada di depan elatase toko saat aku hendak membersihkan debu-debu di permukaan kaca.
“Kamu kakaknya Wulan, kan?”
Tak disangka. Akhirnya dia bersuara. Dan kali ini dia juga sedikit berbeda. Kutemukan senyum manis sebelum dia menyampaikan pertanyaannya. Jujur, ada garis wajah tampan di balik rona murung dan noda hitam di beberapa sisi itu.
“Bukan. Anda salah orang.”
Pria itu meletakkan bungkusan plastik warna transparan yang memperlihatkan isinya. Tiga buah jeruk, dua buah apel dan satu buah pepaya masak. “Ini untuk kamu.”
“Untuk saya?” tanyaku heran.
Si pria tersenyum kemudian berlalu.
Keesokan harinya, tanya yang sama kembali kudengar. “Kamu kakaknya Wulan, kan?”
“Bukan.” Aku menggeleng pelan. Berharap dia paham kali ini.
“Ini untukmu.” Sama persis yang kemarin dia berikan.
“Tidak perlu.”
“Tidak apa-apa. Titip untuk Wulan.”
“Tapi aku tidak mengenal Wulan.”
Seperti biasa. Tersenyum sambil berlalu.
Selalu begitu selama tiga hari. Sampai akhirnya kutanyakan pada Bibi Sani.
***
Sebuah cerita ….
Sepasang kekasih menikmati romansa cinta. Asmara keduanya membuat iri puluhan pasang mata. Perempuan anggun nan penurut jatuh di pelukan pria tampan, baik dan bertanggung jawab.
Terdengar berita bahwa keduanya akan berikrar sehidup semati tiga bulan lagi.
Si pria yang bekerja sebagai seorang karyawan di perusahaan swasta itu begitu mencintai dan menjaga perempuannya. Perempuan yang letak duduknya kini kugantikan. Di atas kursi plastik warna hijau. Yang selalu menerima kiriman sebungkus plastik berisi buah jeruk, apel dan pepaya kesukaannya.
Dia adalah Van dengan kekasih hati bernama Wulan.
Sore itu seperti biasa. Van duduk di atas Ninja warna hijau, semakin gagah dengan helm sportnya. Menunggu pujaan hati menutup toko Bibi Sani.
Di sore berteman gerimis itu sang perempuan menghampiri prianya setelah memastikan ia siap pulang bersama. Memakai helm yang diberikan sang pujaan hati lalu melesat cepat di jalanan kota.
Hujan lebat kala keduanya memasuki jalanan besar. Membuat Van memacu kendaraannya lebih cepat. Membayangkan dirinya kini adalah seorang pembalap. Truk dan bus dengan ukuran hampir dua puluh kali lipat dari kendaraannya tak mau kalah cepat dan beringas di aspal yang licin oleh siraman air langit itu.
Van semakin tak terkendali dengan kecepatan kendaraanya. Hingga tak sadar bahwa ada lubang cukup dalam di depan mereka. Sontak dia kaget dan kehilangan keseimbangan. Lalu … genggaman yang awalnya kencang dengan cepat terlepas dari stir motor, dirinya terpental jauh ke trotoar jalan. Dalam keadaan payah dan setengah sadar, bibirnya menyebutkan sebuah nama.
“Wulan, Wulan, Wulan.”
Sayup-sayup terdengar dari arah yang tak jauh darinya. Suara seorang laki-laki setengah berteriak. “Yang satunya masuk ke bawah truk. Sepertinya perempuan. Dia sudah tak bergerak sama sekali.”
Separuh nyawa kehilangan satu bagian lainnya. Membuatnya benar-benar kehilangan nyawa sepenuhnya.
“Wulan.” Satu nama abadi dalam jiwa … lalu gelap, hilang kesadarannya.
Bibi Sani menutup cerita.
“Na, jangan pulang, ya. Bibi sudah lelah mencari pengganti Wulan untuk kerja di sini.”
Saat sang ratu mati, singgasana akan tetap menanti, meski sang raja kini telah kehilangan jati diri. Sebab dalam hatinya, sang ratu hidup kekal abadi. (*)
Evamuzy adalah seorang gadis bungsu. Seorang pendidik di tempat pendidik anak usia dini. Gadis pecinta literasi dan sepi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata