Memilih Takdir
Oleh : Respati
Seharusnya sore ini indah dengan birunya langit. Lazuardi itu membuat wajah cakrawala pengharapan akan kebahagiaan. Itu menurutku yang sedang berproses menerima kabar tak bahagia. Setelah kertas berisi keterangan yang begitu memukul telak jiwa.
Ini adalah surat keterangan dokter ketiga yang kuperoleh, dengan hasil yang sama. Aku hanya mencoba berspekulasi berharap akan mendapatkan hasil yang berbeda saat aku mengunjungi dokter yang lain. Walaupun secara teori—yang pernah kupelajari saat di bangku SMA—adalah mustahil akan mendapatkan perbedaan hasil observasi dokter. Yah … itulah aku. Berharap keajaiban hasilnya akan bertulis tidak oleh dokter cantik ini. Sekali lagi itu pengharapanku terakhir.
Kertas itu masih utuh dalam amplopnya. Tersembunyi dengan rapi tanpa ingin kuketahui isinya lagi setelah dokter panjang lebar menjelaskannya padaku. Ah, buat apa kubuka lagi jika hasilnya persis sama dengan penjelasan dokter.
Aku termangu di atas kursi taman kota di ujung senja. Angkasa berhiaskan lazuardi itu kini berubah warna lembayung. Lembayung senja. Warna yang memberi kesan temaram itu memberiku dukungan akan kesenduan. Barangkali aku berlebihan memaknai persoalan hidupku dan terutama masa depan anakku. Aku seperti dihadapkan akan keterkejutan teramat hebat sekaligus berontak dengan takdirku kali ini. Dan orang akan berkata dengan ringan menimpali kasusku. Ya, posisi orang akan menghasilkan perbedaan pandangan saat dia berada di belahan bumi yang lain. Dan orang akan merasakan hal yang sama pedih kalau pernah sampai pada posisi sepertiku.
Aku masih ingat saat aku memberinya nutrisi terbaik untuk tumbuh kembangnya sejak dia masih dalam rahimku hingga balita. Memberinya ASI eksklusif hingga dua tahun lamanya. Masakan dengan gizi seimbang tak pernah terlewatkan.
Menginjak masa sekolah, perlakuanku terhadapnya juga makin khusus. Dia—anakku—tak pernah kubiarkan mengonsumsi makanan ringan penuh penyedap dan penguat rasa. Bahkan makanan sejenis permen, tak pernah kubiasakan membelinya. Ketika anak seusianya kehilangan banyak gigi dan menghitam, gigi anakku terawat rapi hingga kini. Karena bagiku memberikan asupan makanan yang bergizi akan berdampak pada kesehatannya selain juga perkembangan daya pikirnya.
Kembali aku meraup oksigen di sekelilingku. Menariknya dalam dan menghelanya kembali. Jika mengingat apa yang sudah kulakukan untuknya, seperti ada bongkahan kesal dan tak terima menggetarkan sanubariku. Dengan kenyataan yang kudapatkan saat ini sepertinya Allah sedang mengujiku dengan persoalan teramat pelik. Soal ujian yang kuterima teramat sulit untuk kuselesaikan.
Tak seperti Kang Bahar yang hanya diuji dengan kegagalan anaknya diterima di fakultas kedokteran. Fakultas di mana kedua anaknya yang lain kuliah di sana. Sepertinya Kang Bahar ingin ketiga anaknya menjadi dokter. Sehingga orang akan kagum padanya. Dengan keluarganya yang demikian hebat menghantarkan anak-anaknya menduduki fakultas terfavorit. Kang Bahar mendapat soal ujian teramat mudah. Karena universitas swasta begitu banyak dengan fakultas kedokteran di dalamnya. Solusinya teramat simpel.
Sementara aku? Masalahku tak sesimpel masalah Kang Bahar. Anakku harus menata ulang seluruh cita-citanya karena selembar kertas sialan ini. Sial? Ya, aku merasa sangat sial.
Kedongkolanku akan takdir buruk yang menimpaku menguasai hatiku dan menepikan logikaku. Di saat perasaan dan logika berperang, seseorang dengan ponsel ditempelkan di telinganya duduk di sebelahku. Ada isakan juga deraian air mata. Aku tertegun mendengarkan ucapannya di antara isakan yang juga menaikturunkan pundaknya. Kesedihannya menggumpal dalam dirinya yang mulai renta. Aku terenyuh melihatnya sedu sedan.
“Pulang saja, Nak,” bujuknya. Sesekali tangan tua itu menyapu pipi yang mulai berkerut.
“Ayah tidak marah lagi, Nak. Pulanglah …,” bujuknya lagi.
Entah apa yang mereka bicarakan hingga diakhiri pecahnya tangisan wanita tua itu. Pundaknya naik turun mengikuti irama isakannya.
“Duh, Gusti … abot tenan, paringi sabar,” keluhnya sambil mengelus dadanya.
Aku terdiam mendengar keluhannya. Sepertinya bebannya lebih berat dari masalahku. Urusan air mata, perempuan ratunya. Sama denganku kemarin. Air mata menetes dan butirannya menggenapi resahku akan takdir yang kuhadapi. Tapi tak sebanyak air mata yang diproduksi wanita tua itu. Sedari tadi tangisnya tak berkurang. Sedu sedannya masih kudengar dan membuatku bingung hendak bersikap apa sejak tadi. Aku ingin berempati tapi tak ingin juga dianggap terlalu ingin tahu urusannya.
“Bu ….”
Wanita itu tanpa menoleh melanjutkan tangisnya seraya bercerita, “Saya heran dengan cara berpikir anak muda sekarang. Mengagungkan cinta hingga melanggar norma agama.”
Aku terdiam dan menyimak ceritanya.
“Dia hamil dan lelakinya pergi kembali ke istrinya.” Dihentikannya ceritanya sambil menarik napas dan menghelanya kembali.
“Ayahnya sangat marah. Dia dipukul dengan rotan. Untung dia berhasil lari. Kalau tidak mungkin dia sudah berkalang tanah. Ayahnya menghajarnya. Kalap dan kecewa.”
Aku tafakur sejenak. Kepalaku tertunduk lesu. Aku yang merasa paling sial sejak tadi, ternyata apa yang dialami wanita paruh baya ini jauh lebih berat. Tapi lihatlah si ibu itu. Dalam isakannya dia masih mampu melantunkan kata-kata baik. Bermunajat dan istigfarnya tak putus. Ikhlas itu berat.
Dan pilihan hidup di masa depan untuk anakku bukan lantas berhenti hanya karena sebuah surat keterangan buta warna ini. Masa depannya bisa dibangun di jurusan lain yang tidak mensyaratkan surat keterangan ini.
Kembali aku terduduk dalam diam. Sunyi menguasai hati yang melafalkan kalimat Tauhid.
Susi Respati, penyuka cerita horor, namun sering ketakutan sesudahnya. FB: Susi Respati Setyorini.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata