Abandonemen

Abandonemen

Abandonemen
Oleh: Zatil Mutie

Rintik hujan yang turun makin lama makin deras, langit hitam pekat menyalakan gemerlap petir yang membelah bumi. Desau angin yang kian kencang menambah kecamuk di hati Maira senja itu. Tangannya mengusap uap yang menempel di jendela rumahnya. Seorang bayi mungil terlelap dengan balutan selimut tebal. Maira menarik napas dan mengembuskan ke arah jendela. Matanya masih basah, genangan di sudut matanya tampak jelas.

“Mas, sampai kapan kita akan begini? Hidup kita sepi, Mas.” Maira menarik lengan Fakhri.

“Aku sudah berusaha, Ra. Kamu yang harusnya sabar. Belum saatnya Tuhan memberi kita buah hati,” ungkap pria bertubuh tegap itu.

Fakhri dan Maira sudah 10 tahun menikah, sampai saat ini mereka belum dikaruniai buah hati yang menjadi dambaan Maira.

Fakhri memang dinyatakan sehat begitu pun Maira. Setiap dokter yang mereka kunjungi selalu menyatakan hasilnya mereka berdua normal. Mungkin Tuhan belum memilihkan waktu yang tepat untuk mereka.

Sindiran orang bahkan keluarga terdekat mulai bergaung. “Mandul” satu kata yang selalu mereka dengar dari mulut-mulut usil itu.

Air mata Maira mungkin telah habis di tiap sepertiga malam. Memohon sebuah keajaiban kepada Sang Pemberi, tapi semua belum terjawab.

Sore itu Maira menunggu suaminya di depan teras rumah sambil menyirami aglonema favoritnya. Fakhri turun dari CRV-nya diikuti seorang perempuan bertubuh sintal. Perempuan itu menggendong bayi dengan malu-malu di belakang Fakhri.

“Maira, ini … Rea.” Fakhri sedikit gugup.

“Rea ….”

“Hai, aku Maira,” sapa Maira ramah.

“Ra, dia sahabatku sejak SMA, dia sungguh malang, setelah melahirkan suaminya pergi meninggalkan dia, Rea sudah sebatang kara, jadi … Mas … Mas ingin kita merawat anak ini seperti anak kita.”
Manik Maira berbinar, dielusnya pipi bayi yang masih merah itu. Sementara ibunya berdiri dengan pandangan tak keruan.

Seminggu sudah bayi yang diberi nama Aldebaran itu menjadi teman sepinya Maira. Rea belum dia izinkan untuk pergi. Maklum, 2 minggu pascapartus bukanlah waktu yang kuat untuk seorang perempuan beraktivitas layaknya wanita normal lainnya.

Suatu sore di taman belakang rumah ….

“Fakhri, sampai kapan kita akan menutupi rahasia ini?” Rea menatap tajam pria di sampingnya. Maira sedang asyik menidurkan bayi mungilnya di kamar.

“Sudahlah, Rea. Kapan kamu pergi? semakin cepat mungkin semakin baik. Akan kucarikan rumah untuk kamu tinggali, asalkan jauh dari sini,” jawab Fakhri gugup.

“Lalu, kamu mau buang aku gitu, aja? Mana janjimu Fakhri! ” desak Rea, darahnya seakan menggelegak mendengar usiran halus pria berkumis tipis itu.

“Rea! Ingat batasanmu, kamu hanya seorang pelacur yang lari dari mucikari, dan aku yang menyelamatkanmu, lalu timbal baliknya apa? Kau sepakat memberiku anak dan kuberikan kehidupan yang layak, tapi sekarang kau?!” kilah Fakhri, hatinya begitu berang.

Mengapa wanita itu kini meminta hal yang tak mungkin dia berikan. Hanya Maira yang pantas menyandang gelar itu. Tak ada yang lain.

1 tahun yang lalu ….

Hujan deras mengguyur kota Bogor. Fakhri terkantuk-kantuk di antara dinginnya malam itu. Kemacetan yang menyebalkan telah membuatnya terhalang hujan deras sepulang dari kantor. Tiba-tiba seorang perempuan lari sempoyongan dikejar 2 orang bertubuh gempal.

“Tolooong!” seru wanita itu dengan suara parau, badannya hampir tertabrak oleh mobil Fakhri.
Fakhri dengan sigap membuka pintu mobilnya.

“Ada apa, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?”

“Tolong selamatkan saya dari kejaran orang itu!”

“Ah! Ayo masuk, Mbak.” Fakhri dengan cepat menarik tubuh yang basah kuyup itu.

Dada wanita itu naik turun setelah Fakhri melecut kuda besinya. Dia hampir tertangkap dan kembali ke kubangan lumpur itu.

“Makasih, Mas. Kalau aku gak ketemu sama kamu mungkin hidupku akan tetap di lembah hitam itu,” paparnya sendu.

Rea, wanita berusia 22 tahun yang hidup sebatang kara, telah tertipu oleh temannya yang mengajak bekerja di sebuah restoran, tetapi justru Tia, teman semasa di kampungnya itu menjual dirinya kepada seorang mucikari. Setahun sudah Rea berkubang di lembah dosa itu dengan terpaksa. Hingga malam itu saat pria yang mengencaninya mabuk berat, Rea berusaha kabur.

Fakhri mendatangi Rea seminggu setelah Rea dia selamatkan dan diberikan tempat tinggal di sebuah rumah kontrakan.

Entah dari mana ide itu muncul, dan Rea juga ingin membalas budi baiknya Fakhri.

“Aku rela memberikanmu anak, walau aku bukan istrimu, Mas. Jasamu menyelematkanku lebih besar dari apa pun.” Rea tersenyum, menimpali ide gila Fakhri.

“Kau tahu Rea, aku tak ingin mengkhianati istriku, dia adalah segalanya bagiku, tapi melihatnya terus dicemooh dengan sebutan mandul, aku tak tega, Rea.” Setetes embun meluruh di pelupuk mata Fakhri.

“Aku ngerti apa yang kamu rasakan, Mas ….”

Fakhri tertunduk lesu, tangannya menangkup di atas wastafel, lalu dibasuhnya wajah yang bersimbah keringat. “Maafkan aku, Ra …,” desahnya mengembuskan beban yang tertahan di dadanya.

Rea tercenung dalam balutan selimut sebatas dada, “Arhhh … aku terlanjur hina, berdosa. Mungkin ini jalan terakhirku berbuat baik kepada orang lain.”

Guyuran shower yang deras menghujani tubuh kekar Fakhri. Sudah setengah jam dia membenamkan diri dalam bath tube, menghilangkan sisa-sisa pengkhianatan penuh dosa yang terpaksa dia lakukan.

Langkahnya gontai memasuki pelataran rumahnya. Maira menyambut dengan kecupan hangat di dahinya.

“Kamu gak apa-apa kan, Mas? Kok, lesu?”

“Aku lelah, Ra. Kesibukan di kantor hari ini cukup merepotkan,” lirih Fakhri. Dia tak henti merutuki dirinya yang harus berbohong demi kebahagiaan istrinya.

Sembilan bulan berlalu ….

Setiap bulan Fakhri dengan penuh perhatian menemani Rea memeriksa kehamilannya ke dokter, dan Rea merasa tersanjung dengan semua perhatiannya. Ada sesuatu yang kini mekar berhamburan di taman hatinya. Melihat wajah pria yang menolong hidupnya itu, tapi untuk sekejap dia terhenyak menyadari siapa dirinya. Dia bukan siapa-siapa bagi Fakhri.

Tangisan bayi memecah keheningan di luar ruang bersalin. Fakhri melonjak dari tempat duduknya.

“Selamat, Pak. Anaknya berjenis kelamin laki-laki.” Seorang dokter menyalami Fakhri.
Bayi mungil itu tersenyum di pangkuan Fakhri. Rea menatap keduanya bergantian, bahagia dan sedih bercampur dalam benaknya.

“Makasih, Rea.” Fakhri mengecup tangan wanita berbulu mata lentik itu.

“Aku bisa saja mengatakan yang sebenarnya kepada istrimu, tapi aku kasihan padanya. Aku hanya ingin diakui sebagai ibu anak itu, Fakhri!” cecar Rea sengit.

Maira menutup mulutnya, menghindari keterkejutan yang begitu menerjang jiwanya. “Mas, kamu tega ….” Air matanya mulai menderas, hatinya hancur tak berbentuk.

“Ma—Maira ….” Fakhri terbata melihat istrinya mematung mendengar percakapan dirinya dengan Rea.

“Kalian tega, kalian jahat! Pergi dari sini, aku muak melihat wajah kalian, menjijikan!” jerit Maira bercampur tangisan.

“Maafkan aku, Ra. Aku lakukan semua demi kamu, itu anak kita, Rea akan pergi. Dia hanya membalas pertolongan Mas.” Fakhri merangkul tangan Maira.

“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun, nikahi dia, Mas. Aku tak ingin kamu berkubang dosa seumur hidupmu, apalagi itu karena aku. Aku rela kehilangan kamu, asal anak itu tetap bersamaku,” pinta Maira. Bagai halilintar yang membelah bumi, perkataan istrinya itu membuat Fakhri terguncang, dia bahkan bersujud di kaki Maira, tapi Maira bergeming.

Hujan yang meluruhkan kepulan debu di halaman rumah Maira kini menebar aroma petrikor. Menghanyutkan sebuah perasaan yang tertinggal di hati Maira. Dia merasa terbuang, tapi dia meyakini ini jawaban Tuhan. Aldebaran adalah cahaya hidupnya kini. Biarlah separuh hatinya terbawa Fakhri, tapi kebahagiaan sesungguhnya ada di samping sang jagoan kecil.(*)

Zatil Mutie

Perempuan penyuka novel romance, dan film Bollywood. Suka memasak, berasal dari cianjur, email: zatilmutie72653@gmail.com. Fb: Mom’s Zalfa Adeeva Zahra

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirrim/Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply