Recurring History
Oleh: Fuka Hana
3 Cerpen Terbaik Tantangan Lokit 3
Suara kecipak air terdengar merdu di telingaku. Sesekali deburan ombak yang menantang karang, menyelingi permainan ekor yang sedang dimainkan Falaines–paus terbesar di lautan ini.
Aku tertawa. Falaines menunduk untuk melihatku lalu menyeringai. Ia berenang mendekati permukaan. Aku mengikutinya. Separuh kepalaku menyembul. Falaines menyemburkan air. Suara semprotan yang khas, membuatku kembali bertepuk tangan.
Falaines berenang menjauhiku. Aku mengejarnya. Dan seperti biasa, lautan berubah menjadi ajang perlombaan kami. Siapa yang cepat, dia akan mendapatkan buah terumbu karang yang manis.
“Kyma.” Suara Okeanus membuatku menoleh. Aku menundukkan kepala saat berenang menghampirinya.
“Sudah berapa kali Ayah bilang? Jangan berenang dekat permukaan. Kau bisa ditangkap manusia.”
Aku mengangguk berulang kali. Diam-diam melirik Okeanus yang “berdiri” dengan ekor mengepak-ngepak di belakang. Aku menelan ludah. Okeanus tak pernah lebih marah daripada saat tahu aku berenang ke permukaan. Untung saja dia tidak tahu aku sering menyembulkan kepalaku untuk melihat dunia luar.
“Ya, sudah. Nero mencarimu dari tadi. Ayah pusing memikirkanmu. Seharusnya kau semakin mendekatkan diri padanya. Mempererat hubungan kalian. Demi Tuhan, sebulan lagi kalian akan menikah!” Okeanus berseru di kalimat terakhirnya. Ia menyentakkan tongkatnya sekali lagi lalu berlalu meninggalkanku. Jubah keemasan yang dipakainya, melambai-lambai mengikuti arus.
Okeanus masih mengomeliku hingga ia menjauh. Aku menghela napas. Kenapa aku harus menikah dengan orang yang tak kucintai? Kenapa harus Nero?
Harus kuakui, Nero memiliki wajah yang rupawan. Sangat rupawan dibandingkan duyung lainnya. Rambutnya hitam gelap dengan manik mata biru sejernih lautan. Belum lagi tubuh berototnya yang membuat siapa pun jatuh hati padanya. Suaranya juga merdu. Tak heran bila ia terpilih menjadi salah satu Ocean Singer. Duyung yang bertugas menyanyi, saat matahari terbit. Pertanda hari beranjak pagi.
Semuanya mengelukan Nero. Semuanya memuji ketampanan, kekuatan serta suara merdunya. Bisa dipastikan seluruh duyung wanita tidak akan menolak saat ia melamar. Kecuali aku, tentunya.
Aku tumbuh besar bersama Nero. Ayahnya, Seanus, adalah sahabat ayahku, Okeanus. Selain itu, Seanus juga menjadi menteri, tangan kanan ayahku, raja lautan Yunani ini. Aku sudah menganggap Nero sebagai kakakku. Aneh saja rasanya, bila aku harus menikah dengannya.
Tapi Nero tidak mempermasalahkan itu. Ia bilang, ia mencintaiku sejak lama. Aku justru mengernyit saat mendengar pengakuannya itu.
Aku tidak mencintainya. Atau mungkin belum? Entahlah. Aku rasa, aku tidak tahu apa itu cinta.
Meski begitu, aku tetap tak mau menikah dengan Nero. Dan Nero sepertinya cukup memahami keputusanku. Ia bilang mau menungguku. Hanya saja, ayah yang tak mau menunggu.
Ah, lagi-lagi aku mendesah. Aku belum ingin menikah. Usiaku baru 17 tahun. Aku masih ingin bertualang, mencari mutiara hitam–yang konon kabarnya, ada di lautan lumpur lapisan laut terdalam. Dan yang jelas, aku ingin tahu dunia manusia. Dunia yang tak pernah kutahu dan terlarang untukku, untuk kami lebih tepatnya.
Aku menyisir rambut pirangku dengan bersenandung lembut. Elliya tersenyum sambil terus merangkai bunga karang untuk kukenakan. Aku mendesah.
“Tidakkah ini terlalu berlebihan, El? Aku hanya akan pergi berjalan-jalan, bukannya menikah.” Aku memutar bola mata jengah. Elliya tertawa. Ia mengepang rambutku menjadi jalinan kecil-kecil lalu disatukan menjadi sebuah sanggul besar.
“Kau cantik sekali, Ky. Pangeran Nero pasti akan terpesona padamu.” Elliya memasangkan tiara dari bunga karang tadi ke atas kepalaku.
“Aku tidak ingin menikah, El. Kau tahu itu.” Aku bersungut-sungut. Elliya tertawa kecil.
“Tapi kau harus menikah, Ky. Raja Okeanus semakin tua. Ia membutuhkan penerus tahtanya. Dan kau, adalah pewaris satu-satunya. Pangeran Nero pasti akan menjadi raja yang bijak.” Elliya tersenyum. Aku melihat bayanganku di cermin. Seorang duyung wanita dengan sanggul rambut yang memukau, tiara yang indah, ekor berwarna hijau gemerlap, serta manik mata hijau cemerlang, sangat cantik dan sesuai untuk Nero. Itu aku. Tapi aku tidak merasa seperti itu.
“Kenapa bukan kau saja yang menikah, El?” Aku mendesah. Elliya terpaku. Tangannya yang sibuk memasangkan tiara, terhenti.
“A-apa maksudmu, Ky?” Elliya tertawa sumbang.
“Aku tahu kau mencintai Nero,” sergahku.
“Semua orang mencintai Nero, Ky. Dia calon raja yang cocok untuk masa depan. Siapa yang tidak mengaguminya?”
Aku menggeleng. “Tapi kau menatapnya dengan cara yang berbeda. Aku tahu kau lebih dari mengaguminya.”
Gantian Elliya yang mendesah. “Sudahlah, Ky. Pangeran Nero sudah menunggumu lama di luar. Ayo, kuantar.”
Aku menghela napas. Sahabatku, Elliya, tidak pernah mau jujur akan perasaannya. Aku tahu ia menyimpan perasaan pada Nero sejak lama, hanya saja, ia selalu merasa dirinya tak pantas.
Apa sih yang mustahil di dunia ini? Tidak ada, kan?
—————–
“Aku tahu kau tidak bisa menerimaku, Ky. Setidaknya, kumohon kau mau mencoba.” Aku menghentikan laju renangku, mengangkat sebelah alisku pada Nero. Hari ini, Nero sangat tampan. Mengenakan baju tanpa lengan berwarna putih dengan hiasan bintang laut di bagian dada sebelah kirinya. Dan tentu saja, jangan lupakan sisiknya yang berkilau. Aku mendecak. Nero sangat sempurna. Bagaimana bisa aku menolak semua itu?
“Kau tahu aku sudah mencoba berulangkali, Nero. Hanya saja ….” Aku menggantungkan kalimatku. Nero menunggu.
“Sudahlah, lupakan.” Aku mengibaskan tangan dan kembali berenang. Nero tak memaksaku. Ia berenang sejajar denganku.
****
Hari ini kami mengunjungi Madame Chtapodi, gurita laut paling tua dan bijaksana. Ia menyambutku dan Nero dengan senyum hangat. Seperti biasa, Nero akan berbincang-bincang dengannya sementara aku lebih suka mengunjungi perpustakaannya.
Buku-buku tebal miliknya lebih menarik untukku daripada duduk berjam-jam lamanya membicarakan perkembangan negara; batas kekuasaan; hingga persekutuan dengan negara lautan lain. Membosankan.
Aku langsung tahu dimana letak buku yang kuinginkan. Di rak paling atas dan letaknya pun tersembunyi. Aku mengambil buku itu lalu mulai melanjutkan membaca.
“Kau menyukai buku itu?”
Aku menoleh. Madame Chtapodi dan Nero sudah berada di belakangku. Aku mengangguk.
“Tentu saja. Ini kisah yang sangat klasik. Aku penasaran dengan akhirnya.”
Madame Chtapodi menggeleng. “Kuharap buku itu tak mempengaruhimu. Akhir kisah yang sangat menyedihkan.”
Nero beringsut semakin mendekat lalu menatap kami bergantian. “Kisah apa itu? Ceritakanlah!”
Madame Chtapodi menarik napas sebelum memulai bercerita.
———————–
“Benar-benar duyung bodoh!”
Aku menoleh. Nero menggumam lalu melirikku.
“Maaf aku tak bermaksud mengataimu. Aku berkomentar tentang cerita tadi.”
Aku mengangguk. Kisah yang aneh, memang. Bagaimana mungkin seekor duyung jatuh cinta pada manusia? Dan dia mengorbankan ekor demi sepasang kaki, serta suara indahnya hanya demi manusia yang bahkan tidak dikenalnya itu?
Pantas saja jika raja laut marah. Jangan kau bayangkan kisahnya memiliki akhir yang bahagia. Tidak. Duyung itu musnah, menjadi buih lautan. Sementara manusia yang ia cintai, menikah dengan manusia lain. Apa memang sekejam itu dunia manusia?
“Sudah sampai.” Ucapan Nero mengagetkanku. Aku mengangguk lalu tersenyum. Membalas lambaian tangannya yang semakin menjauh.
Tubuhku penat. Tapi pikiranku masih berjalan. Aku semakin penasaran dengan cerita itu.
—————-
“Kejar aku, kalau kau bisa.” Aku memainkan gelombang di tanganku. Laut bergejolak. Di belakangku, Dholpino mengejarku, melompat ke permukaan berulangkali. Aku tertawa. Aku menciptakan gulungan ombak semakin besar.
Crass …!
Suara seperti barang pecah mengagetkanku. Aku menghentikan gelombang yang kubuat lalu segera naik ke permukaan. Kepalaku menyembul dan seketika mataku membelalak.
Sebuah kapal kecil yang aneh terbalik tepat di depanku. Tak ada tanda kehidupan. Rasa bersalah menyergapku semakin kuat.
Aku berenang menghampiri kapal aneh itu lalu berusaha membalikkannya. Berhasil. Berkat bantuan kekuatan gelombangku. Aku menghela napas lega.
“Kau siapa?”
Aku terkesiap. Perlahan menolehkan kepalaku ke sumber suara. Lalu mataku pun terpaku.
Rambut kelam, persis seperti rambut Nero. Manik mata abu-abu yang dalam dan misterius.
Dia menopangkan tubuhnya di suatu benda. Tidak. Bukan bertopang, melainkan benda itu memang melekat di tubuhnya.
“Kau … cantik sekali.” Ia menggumam. Perlahan, ia berenang mendekatiku.
“Apa kau mengerti ucapanku?” tanyanya. Masih seperti tersihir, aku mengangguk.
“Katakan siapa namamu?”
“Kyma,” jawabku singkat.
“Gelombang.” Ia tersenyum. Aku terpukau. Senyumnya sangat indah.
“Niel! Daniel!” Terdengar suara dari kejauhan. Aku terkesiap. Aku harus segera pergi.
Aku menyelam kembali ke dalam air. Meski dengan berat hati, aku berenang menjauh.
“Aku … menginap di penginapan dekat pantai ini selama beberapa hari. Maukah kau datang ke dekat pantai besok?”
Aku berhenti. Memikirkan sesaat sebelum kembali menyembul keluar. Daniel, nama manusia itu, menatapku takjub. Aku mengangguk.
Aku kembali berenang. Semakin menjauhi permukaan. Kuraba dadaku. Kuharap jantungku baik-baik saja. Entah mengapa, kurasa detakannya semakin terdengar kencang.
—————–
Lautan hari ini terasa begitu cerah. Sinar mentari menerobos masuk dalam birunya samudera. Beberapa mutiara dalam cangkang kerang yang terbuka tampak bersinar.
Aku merentangkan kedua tanganku di depan jendela.
“Elliya!” Aku melambaikan tangan. Elliya mendongak, menatapku lalu balas melambai. Dia tengah memunguti mutiara-mutiara itu untuk dijadikan hiasan ekor dan tiara. Aku tersenyum. Biasanya aku akan membantunya, tapi kali ini, aku mempunyai pekerjaan yang jauh lebih penting. Jauh lebih menyenangkan. Yang telah rutin kulakukan semenjak tiga hari yang lalu.
Aku menghabiskan sarapanku. Melakukan peregangan sebentar. Menyapa ayahku, beberapa pengawal istana lalu berenang pergi. Aku tak boleh membuat mereka curiga. Berpura-pura pergi ke tempat Madame Chtapodi, padahal sebenarnya aku pergi ke permukaan.
Ya, aku melakukan hal itu sejak pertemuanku dengan lelaki bermata abu-abu itu. Tidak ada alasan apa pun. Kami hanya berbincang-bincang di sebuah tebing menjorok ke laut yang agak tersembunyi. Kami membicarakan banyak hal. Aku senang. Terutama saat ia menceritakan dunia tempatnya tinggal. Aku semakin penasaran dengannya.
Daniel menceritakan semuanya. Tapi, jangan kau tanyakan apa aku benar-benar mendengar ceritanya. Tidak. Aku terfokus pada senyum lebarnya, bentuk wajahnya yang asimetris, alis tebalnya, serta manik mata abu-abu itu. Semuanya serba indah. Daniel sangat ramah. Ia percaya padaku, bahwa aku seekor duyung. Tapi tak sedikit pun ia menyakitiku. Kini, aku percaya dunia manusia tak benar-benar menakutkan.
“Apa aku terlambat?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Menggerakkan ekorku lebih cepat, dan di saat aku merasa tempatnya sudah dekat, aku menyembulkan kepala. Mencari-cari sosok Daniel. Tidak ada. Mungkin dia belum datang. Baiklah, aku akan menunggunya.
“Aku akan membayarmu dua kali lipat setelah kau melakukan tugasmu.”
Aku menoleh ke arah suara itu. Dua orang lelaki bercakap-cakap di dekat tebing yang cukup tinggi. Aku berenang mendekat, tentu saja dengan berjaga-jaga agar aku tak terlihat.
“Tapi Daniel bukan pria biasa. Ia menguasai ilmu bela diri.” Seorang lain mengelak.
“Dengar, aku tidak mau tahu. Kemarin, rencana kita gagal total. Padahal aku sudah memastikan mesin banana boat itu mengalami kerusakan. Entah bagaimana Daniel baik-baik saja. Tapi kali ini, aku tidak akan gagal. Aku akan mengajaknya ke hutan saat pesta itu berlangsung. Sementara itu, kau bersiap-siap di sisi lubang yang sudah kusiapkan. Lalu lakukan sesuai rencana.”
Aku terkesiap. Hampir saja aku melompat keluar, andai saja aku tidak bisa mengendalikan diri.
“Baiklah. Kapan itu akan dilaksanakan?”
“Besok. Sekarang Daniel lumayan sibuk, karena harus menyiapkan acara besok.”
“Oh, ya? Kamu bilang ada pesta. Pesta apa?”
“Kau ini, penasaran sekali. Akan ada acara pertunangan besok. Di dekat hutan itu. Dengan konsep Forest Party atau apalah itu.” Satu orang mendecak kesal.
“Ok. Kita akan segera bertemu lagi besok.”
Lalu mereka pergi. Aku meraba dadaku. Ada getaran keras di sana. Bukan itu saja. Aku memandang kedua tanganku, juga ekorku. Seluruh bagian tubuhku gemetar.
Entah apa penyebabnya. Daniel sedang terancam atau dia yang akan bertunangan.
Dadaku berdenyut perih.
Aku berenang kembali ke istana. Tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Apa pun yang terjadi di dunia manusia, bukan urusanku.
****
“Apa kau tidak keberatan berteman denganku?”
“Kenapa?”
“Karena dunia kita berbeda?”
Daniel tertawa kecil.
“Kau percaya padaku?”
Aku mengangguk.
“Begitu pun aku percaya padamu.”
****
Kalimat itu menghantamku. Ya, Daniel mempercayaiku. Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan kepercayaannya? Jika memang ini adalah suatu larangan alam, maka larangan alam mana yang mampu membatasi sebuah ikatan persahabatan?
Tidak. Aku tidak boleh diam saja tanpa melakukan apa pun. Aku harus menyelamatkan Daniel.
Satu-satunya orang yang harus kutemui kali ini adalah Madame Chtapodi.
——————-
“Kau bersungguh-sungguh akan melakukan hal ini, Kyma?” Nero menghentikan lajuku. Aku terdiam sejenak lalu mengangguk.
“Dengar, Madame Chtapodi sudah mengatakan kau akan menempuh bahaya bila kau nekat mencari mutiara hitam itu di lautan lumpur. Di sana, banyak makhluk buas yang suka memangsa duyung.” Nero menggenggam erat kedua lenganku. Aku mendesah.
“Katakan padaku satu alasan, kenapa kau harus menyelamatkan manusia itu?”
Aku terkejut. Dari mana Nero tahu?
Dia meneliti wajahku, menatap lekat bola mataku. Lalu menarik napas dalam.
“Kurasa aku sudah tahu jawabannya. Kau mencintainya, Kyma.”
Aku terkejut lalu menggeleng cepat. Nero mengusap pipiku lembut.
“Aku sangat mencintai dan menyayangimu. Tapi rasa sayangku tulus padamu. Aku tak akan pernah memaksamu. Pergilah, jika dengan ini kau akan bahagia.” Nero mengambil tanganku lalu meletakkan sesuatu di atasnya.
Aku membelalakkan mata saat mengetahui apa itu. Mutiara hitam berkilau tepat di telapak tanganku.
“Itu … warisan dari ibuku. Katanya, mutiara hitam dapat mengabulkan permintaan apa pun. Gunakanlah dengan baik. Dan kau harus ingat. Kau hanya memiliki waktu tiga jam di dunia manusia. Kau harus benar-benar memanfaatkannya. Jika kau terlambat–” Nero tidak melanjutkan ucapannya. Aku mengerti.
” … jika aku terlambat, aku akan lenyap menjadi buih di lautan. Sama seperti duyung itu.”
Nero tersenyum lalu meraihku dalam pelukan. “Pergilah, dan selamatkanlah cintamu.”
——————
Aku tertatih-tatih dan berkali-kali jatuh terjungkal karena belum terbiasa dengan kaki manusia ini. Tapi aku tidak boleh menyerah. Kata seseorang itu, pesta pertunangan Daniel akan dilangsungkan di tepi hutan. Aku tahu hutan itu, meski tak pernah pergi ke sana.
Telapak kakiku terasa kebas karena tersaruk-saruk butiran pasir dan beberapa batu kecil di sepanjang pantai. Aku tidak boleh terlambat.
Degh!
Jantungku seperti dipukul dengan palu. Mataku menatap nanar pada ramai orang berkumpul di tepian hutan itu. Dengan seseorang yang sangat kukenal.
Daniel.
Bersama seorang wanita. Dari matanya tersirat binar bahagia.
Tidak. Tidak boleh seperti ini, Kyma. Ingat tujuanmu pergi ke dunia manusia. Aku menggeleng keras.
Tapi tetap saja air mata terlepas, meski kutahan erat.
Aku melihat seseorang dari mereka itu, tampak mendekati Daniel lalu berbisik padanya. Jantungku kembali serasa dipalu. Dia, orang yang merencanakan sesuatu jahat untuk Daniel.
Aku mempercepat langkahku. Baju panjang semata kaki ini, benar-benar merepotkanku. Aku begitu terburu-buru tadi, hingga mengambil apa pun yang bisa kugunakan, di sekitar pantai.
Langkahku semakin dekat. Aku melihat Daniel berbincang-bincang dengan orang jahat itu sebelum pergi meninggalkannya.
Mataku awas mengamati keadaan sekitar. Aku bersembunyi di balik pohon. Menunggu waktu yang tepat.
Daniel melangkah semakin mendekati lubang besar yang mereka tutupi dengan ranting dan dedaunan. Aku menahan napas.
Aku menerjang tepat saat seseorang di balik pohon mengayunkan balok kayu ke kepala Daniel.
“Daniel! Awas!!”
Bruk!
Seseorang jatuh ke dalam lubang.
Aku melengking keras. Tak menyadari seseorang meraupku dalam pelukan.
“Kyma? Ini … ini benar-benar kau?”
Aku mendongak. Tatapan mata abu-abu itu membiusku.
“Kau … kau baik-baik saja, kan?” Aku bergetar menahan tangis. Daniel mendekapku erat.
“Kenapa kau ke sini?”
Aku tergugu dalam tangisku. Terlalu berat untuk berkata-kata. Daniel baik-baik saja. Ia memelukku erat. Hangat napas berpacu seirama dengan detak jantungnya yang terdengar indah di telingaku. Dia nyata. Dia … menyentuhku.
“Kau … berusaha menyelamatkanku?” Daniel mendongakkan wajahku. Aku mengangguk pelan.
“Oh, Kyma. Apa yang kau lakukan? Semua ini berisiko, bukan?”
Aku menggeleng. “Selama Daniel baik-baik saja. Aku juga baik-baik saja.”
Lalu kesadaranku hilang. Mungkin ini sudah saatnya aku pergi dan menghilang. Menjadi buih di lautan.
Sebelum mataku terpejam rapat, aku merasakan sesuatu menyentuh bibirku. Dingin dan hangat.
——————
Aku membuka mata saat silau cahaya menganggu penglihatanku. Aku mengerjapkan mataku berulangkali, membiasakan cahaya itu memapar pandanganku.
Sayup-sayup kudengar suara lembut seseorang menyapa pendengaranku. Mungkinkah aku sudah berada di surga?
“Deburan ombak menghantam karang
Sinar mentari menyapa pantai
Nyanyikan lagu sambut pagi
Harapan senantiasa ada saat kita percaya”
Nyanyian itu. Itu nyanyian Ocean Singer. Aku mencari asal suara. Pandanganku terpaku. Seseorang berambut merah indah berjalan menghampiriku, lalu tersenyum.
“Kau sudah sadar, Sayang?”
“Siapa kau?”
“Perkenalkan, aku Ariel. Putri Raja Triton. Aku nenek Daniel.”
———————-
Aku tak percaya ini. Setahuku Ariel, duyung wanita yang mencintai manusia itu mati menjadi buih di lautan, lalu, bagaimana bisa?
Ariel tersenyum menatap keherananku. “Mereka membuat cerita versi mereka agar tak ada kesalahan lain yang terulang. Mereka memberi akhir cerita yang tragis agar siapa pun tak berniat muncul ke dunia manusia.”
Aku mengerutkan kedua alisku.
“Sayang, waktu amatlah berbeda antara dunia lautan dan dunia manusia. Jangan heran kalau kau membaca seolah cerita itu terjadi ratusan tahun yang lalu.”
“Tapi, di cerita itu kau menyelamatkan seorang pangeran.” Aku menggumam.
“Itu bagian yang mereka ubah juga.” Ariel mengulum senyum. Keriput di wajahnya tak mengurangi sedikit pun kecantikan di wajahnya. Diam-diam aku kagum menatap binar jernih di mata indahnya.
“Ternyata, aku bukan satu-satunya duyung yang keras kepala.” Ariel menyentuh pipiku.
“Berbahagialah, Nak. Setiap orang berhak bahagia, apa pun pilihan mereka.”
———————
“Kau percaya padaku bahwa aku seekor duyung, karena nenekmu duyung juga. Benar, bukan?” Aku menyidekapkan kedua tanganku, menatapnya. Daniel tertawa. Ia meraihku lalu meletakkan dagunya di bahuku.
“Hanya kakek dan aku yang tahu hal ini. Selain itu, tidak ada yang tahu. Entah mengapa, nenek memberitahuku siapa sebenarnya dia. Mungkin ia merasa takdirku hampir sama dengan takdir kakek.” Daniel berbisik di telingaku. Membuat bulu kudukku merinding seketika, saat napas hangat itu menyentuh leherku.
“Berhenti memelukku, Daniel. Kita akan menemui ayahku.” Aku meronta berusaha melepaskan pelukannya. Tapi Daniel malah mempererat tautan tangannya di pinggangku.
“Ayah sudah lihat.”
Sontak kami menoleh. Rona merah menjalari wajahku seketika.
“A-ayah.” Aku bergumam dengan senyum malu.
Okeanus menatap kami galak.
“Ayo. Sudah waktunya kau kembali ke lautan. Hari ini pesta pernikahan Nero dan Elliya. Kuharap ayah tidak terlambat hanya untuk menjemputmu.” Ayah mendengus.
Aku tertawa. Aku tahu meski ia terlihat galak, ia tak pernah merasa sebahagia ini.
Saat aku kembali ke lautan bersama Ariel, semua penghuni lautan terkejut, tentu saja. Aku mengungkapkan semuanya pada ayah, yang sudah menungguku dengan wajah merah padam. Aku juga bertanya pada Madame Chtapodi, bagaimana bisa aku masih bisa bertahan sedangkan pengaruh mutiara hitam itu sudah habis?
Madame Chtapodi menjelaskan, bahwa sekuat apa pun kekuatan yang mempengaruhi atau menyokongku, tidak ada yang sekuat kekuatan cinta. Itulah yang membuat aku maupun Ariel, bisa bertahan hidup di dunia manusia. Cinta sejati, berupa sebuah ciuman tulus dari hati.
Hal yang paling membuatku bahagia, aku tetap bisa mengunjungi lautan kapan pun aku mau. Berkat mutiara hitam itu, yang kini melekat menjadi bandul kalungku.
Ayah marah besar. Aku tahu itu. Tapi tak ada yang melebihi besarnya rasa suka cita ayah, saat melihatku menemukan cinta sejatiku. Ia menyerah. Ia tak akan memaksaku lagi.
Ayah juga sepakat dengan Seanus akan menyerahkan tahta kerajaan pada Nero, dengan Elliya mendampinginya.
Oh, iya. Aku lupa menceritakan bagian itu. Nero akhirnya tahu Elliya mencintainya, saat tanpa sengaja menemukan buku harian Elliya yang tertinggal di kamarku. Dan seiring perjalanan waktu, cinta mereka pun saling membalas.
Aku tak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupku. Daniel, adalah awal segalanya. Keputusanku tidak salah. Keputusanku, untuk memilih dirinya.
Pernikahan kami dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan adiknya. Apa aku lupa menceritakan pada kalian, bahwa yang bertunangan di hari itu adalah adiknya? Haha, aku benar-benar pelupa.
Aku menceburkan diri. Suara kecipak air laut terasa sangat familiar di telingaku. Dan dalam sekejap, kakiku berubah menjadi ekor hijau dengan sisik gemerlap. Ayah memelukku erat. Ia menciumi pipiku berulang kali.
Di atas tebing, Daniel melambaikan tangan.
“Jangan lama-lama, yaa. Nanti aku rindu.”
Pipiku merona. Daniel terbahak melihatku tersipu. Dan ayah, memutar bola mata jengah. Sedetik kemudian, ia menggandengku berenang lebih dalam. Ke istana. Lebih tepatnya, istana para duyung.
Karena istanaku sesungguhnya ada di dunia manusia. Bersama Daniel. My only Wonderland.
End
Bangkalan, 21 Juli 2018
Tentang Penulis:
Fuka Hana adalah nama pena dari penulis berdarah Madura ini. Lahir di Pasuruan, 03 Oktober 1995, bungsu dari 4 bersaudara ini kini menetap di Bangkalan, Madura. Memiliki cita-cita menjadi penulis hebat.
Fb: Fuka Hana
Ig: vie_violette_saleem
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita