Black Bell 10
Oleh: Lily Rosella
1939 M
Seorang pria bertubuh tinggi mengendap-endap menelusuri terowongan bawah tanah. Tanpa penerangan apa pun, ia menuruni satu per satu anak tangga. Matanya awas, melirik ke atas dan ke bawah untuk sekadar memastikan bahwa tidak ada seseorang pun di sana melainkan dirinya.
Setibanya di anak tangga paling bawah ia membenarkan posisinya. Berjalan menuju satu-satunya ruangan yang berada di sana. Ia memeriksa kantongnya, mengeluarkan sebuah kawat yang agak tebal dan mencungkil gembok berukuran sedang.
“Cepat keluar!” ucapnya setelah berhasil membuka gembok dan melepas rantai yang melilit dua buah berjeruji masing-masing pintu.
“Selamatkan para penduduk! Bawa mereka ke tempat yang jauh dari sini,” pinta Profesor Shin sambil menggenggam tangan kanan kawan baiknya.
“Kita akan melakukannya nanti, setelah kau dan Lorenzo keluar dari sini.”
“Tidak! Kita tidak punya banyak waktu. Kau harus bergegas sekarang.”
Ia mengangguk. Kakinya yang baru melewati pintu langsung terhenti. “Di mana Lorenzo?”
“Aku yang akan membawanya keluar dari sini.”
“Apa dia baik-baik saja?”
Profesor Shin menunduk. Ia tidak menjawab pertanyaan tersebut melainkan menyuruh kawan baiknya, Letjen Robert untuk bergegas sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. Ia harus bergerak cepat sebelum bulan purnama muncul. Waktu mereka hanya tinggal tiga jam lagi.
“Perintahkan siapa pun untuk mengevakuasi seluruh warga yang berhasil selamat,” titahnya lagi sebelum Letjen Robert kembali menaiki anak tangga.
Pria yang hampir berusia lima puluh tahun itu mengangguk. Lantas menaiki anak tangga ruang bawah tanah yang menembus langsung ke sebuah rumah kecil di desa. Sedangkan Profesor Shin masih berada di laboratorium, berusaha untuk melepaskan suaminya yang kini sedang mengamuk di dalam ruang bedah.
Enam bulan yang lalu, tepat saat Profesor Shin sedang memerhatikan serum gen manusia serigala yang berhasil ditangkap Kolonel Rambert di hutan perbatasan. Ruang kerjanya yang berisi dengan peralatan-peralatan untuk penelitian berubah menjadi desa yang tak asing baginya. Desa tempatnya tinggal.
Riuh dari teriakan para wanita dan anak-anak, api yang berkobar dan membakar rumah-rumah, juga beberapa orang berseragam polisi setempat yang mengepung rumahnya atas dakwahan sebuah penelitian ilegal, dan suara lolongan serigala yang bersahut-sahutan. Semua itu terlihat dan terdengar jelas olehnya. Seperti ia tengah berada pada dimensi yang berbeda.
“Kau baik-baik saja?” suara Profesor Lorenzo perlahan membuat gambaran demi gambaran dan suara-suara yang tadinya terdengar jelas mulai memudar.
Ia mendelik. Itu … bukan gambaran tentang masa lalu. Profesor Shin yakin kalau apa yang dilihatnya bukanlah trauma atau kenangannya yang terlupa, melainkan kilasan masa depan. Dan sama seperti yang dilihatnya di salah satu kalender rumah warga. Angka yang tertera di sana adalah tanggal 10 November 1939 M. Itu adalah waktu enam bulan yang akan datang.
“Kita harus segera memusnahkan semua ini segera,” serunya.
Profesor Lorenzo memegang kedua lengan istrinya. Bertanya tentang hal apa yang baru saja dilihatnya sehingga ia ingin agar penelitian yang mereka kerjakan selama hampir dua tahun belakangan harus dimusnahkan. Itu tidak masuk akal.
“Mereka … akan menghancurkan dunia,” ucapnya pelan.
“Menghancurkan? Siapa yang hendak menghancurkan dunia?”
“Jendral Baldric dan para pengikutnya.”
“Apa?” Profesor Lorenzo menatap lekat-lekat mata istri yang dinikahinya dua puluh tahun lalu. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Profesor Lorenzo masih tidak mengerti.
“Cepat! Waktu kita tidak lama!”
Profesor Shin menggeleng. Ia tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan tentang hal tersebut. Mereka harus bergegas memusnahkan semua hasil penelitian gen manusia serigala segera sebelum hal buruk terjadi sama seperti yang dilihatnya. Namun baru juga ia menghancurkan salah satu tabung setelah membuang isinya—yang diminta Jendral Baldric untuk dikembangkan, jendral berambut keriting itu telah sampai di tempat kerja mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” bentaknya. Dengan cepat ia meminta beberapa prajurit yang sedang berdiri di belakangnya untuk menahan kedua professor tersebut.
Mata bulat Profesor Shin melirik tajam pada atasannya. Jika saja ia tahu apa tujuan Jendral Baldric meminta ia dan suaminya untuk melakukan penelitian ini, maka ia tidak akan sudi. Ia lebih memilih mati daripada harus menuruti perintah pria bertubuh tinggi-kekar itu.
“Apa yang ingin Anda lakukan?” tanyanya yang berusaha bersikap tenang setelah melihat kalau serum gen manusia serigala yang dimintanya untuk diteliti dan dikembangkan hanya tersisa satu tabung lagi.
Profesor Shin membuang muka. Ia tidak berniat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan diajukan oleh Jendral Baldric. Begitu pun Profesor Lorenzo yang masih belum mengetahui situasi yang tengah dihadapinya.
Sambil menunggu jawaban kedua profesor di hadapannya yang tangan dipegangi oleh salah satu prajuritnya, Jendral Baldric berjalan menghampiri tabung kecil di atas meja. Mengambil dan memerhatikan dari dekat. Membuat Profesor Shin geram dan memberontak.
“Saya tidak akan membiarkan Anda melakukannya!” serunya.
Jendral Baldric melirik Profesor Shin. Senyumnya tersungging begitu saja. “Bagaimana Anda bisa tahu tentang apa yang ingin saya lakukan?”
“Apa ada seseorang yang memberitahukannya pada Anda?” lanjutnya.
Profesor Shin mendengus saat wajah Jendral Baldric berada sejengkal lebih dekat dengan wajahnya. Membuang pandangan ke bawah demi menghindari sorot mata tajam yang tengah mencari jawaban.
Jendral berkumis tipis itu mengangguk. “Ternyata desas-desus tentang Anda itu adalah benar,” ucapnya membuat kesimpulan. Profesor Shin diam saja. Ia tidak ingin memberi pembenaran atau penyanggahan.
“Jadi … apa itu akan berhasil?” tanyanya sambil mengangkat dagu professor berambut cokelat kemerahan di depannya.
Melihat ekspresi dari Profesor Shin dan wajahnya yang memerah karena kesal, untuk kedua kalinya Jendral Baldric mengangguk. Ia telah menemukan jawaban dari saran yang diberikan oleh Kolonel Rambert tentang membangun pasukan yang setara dengan kekuatan seratus prajurit.
Ia berdehem, meminta salah satu prajurit untuk mengambil suntikan. Mengisinya dengan serum gen manusia serigala.
“Untuk mengetahui apakah ini akan berhasil, maka kita hanya perlu mencobanya,” tuturnya.
***
Profesor Shin membuka pintu ruang bedah yang berdinding beton. Ada hampir beberapa pintu besi yang terkunci rapat dan digembok. Ia membuka satu persatu pintu dengan kunci yang berhasil dicurinya saat ruang laboratorium sepi karena sebelum Letjen Robert benar-benar pergi, ia telah memerintahkan anak buahnya untuk membereskan para penjaga yang bertugas.
Tinggal satu pintu lagi, suara amukan juga dobrakan pada dinding beton yang mungkin setebal satu meter itu terdengar jelas dan membuat Profesor Shin menarik dan mengembuskan napas berkali-kali. Bersiap sebelum akhirnya ia bisa melihat kembali suaminya setelah enam bulan berpisah dan dikurung di ruang berbeda.
Ia memegang tangan kanannya yang gemetar dengan tangan kiri. Meyakinkan dirinya untuk membuka pintu. Dan tepat saat pintu terbuka, mata berwarna merah darah itu menatap tajam padanya. Suara dengusan terdengar jelas, memenuhi seluruh ruang kedap udara yang kini telah terbuka. Profesor Shin berjalan menghampiri makhluk bertubuh besar yang tidak lain adalah suaminya, membuat makhluk itu mundur beberapa langkah. Kedua tangan dan kakinya yang menempel di lantai seolah sedang mengancang-ancang untuk melompat dan menerkam wanita berseragam putih itu.
“Ini aku,” ucap Profesor Shin lembut. Mata bulatnya menatap mantap lawan bicaranya. Kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada, pun begitu kakinya terus melangkah maju menghampiri suaminya. Tak peduli apa yang ia lihat, apa itu manusia atau monster, tak bisa mengubah fakta kalau sesuatu atau seseorang yang ada di hadapannya adalah suaminya.
Makhluk itu masih mendengus. Bola matanya dalam sekejap berubah menjadi hitam dan merah darah secara bergantian. Sampai akhirnya benar-benar kembali berwarna hitam seperti dulu saat jari jemari Profesor Shin yang lentik mengusap lembut kepalanya. Membuat ia mampu duduk dengan tenang.
“Ayo kita keluar,” ajaknya pelan.
***
Walton meluruskan kakinya yang sejak sejam lalu tertekuk dengan tangan yang diletakan di atas lututnya. Kami telah sepakat untuk kembali ke negeri bagian barat seperti permintaanku siang tadi. Jika makhluk-makhluk yang aku temui dalam perjalanan menuju negeri bagian timur adalah hasil percobaan, maka percuma saja bersembunyi dan menghindar. Para Pemburu juga tidak mungkin menghabiskan seluruh hidup mereka hanya dengan memburu manusia-manusia serigala yang tidak akan pernah habis jika bukan diberantas dari akarnya.
Anastasia masih memandangi pria bersuara serak itu dari balik api unggun yang berkobar lebih besar saat angin berembus agak kencang. Menopang dagu dengan salah satu tangan.
“Bagaimana selanjutnya?” tanyanya penasaran.
Aku rasa wanita berusia 21 tahun itu memang sangat suka sekali mendengar cerita atau dongeng. Sejak mengenalnya dulu ia selalu terlihat antusias sekali saat mendengar aku bercerita, pun saat ini, ketika Walton, cucu Nenek Rose yang mungkin juga bertetangga denganku dulu itu tengah menceritakan kisah sebelum kejadian Bulan Purnama Berdarah. Kisah tentang kedua orangtuaku yang ia dapat dari berbagai informasi dan cerita para tetua di pedepokan.
“Untuk saat ini cerita berakhir sampai di sana,” jawabnya.
Seketika Anastasia memonyongkan bibirnya. Pipinya yang tirus kini menjadi kembung. Sementara di sampingku, Albert melempar satu-dua kayu ke api unggun yang hampir padam. Tatapannya tak lepas dari bulan yang saat ini tengah tertutup awan. Mungkin beberapa malam lagi bulan purnama akan tiba, dan sepertinya itulah yang sedang dikhawatirkan oleh Albert. Sama seperti perbincangannya dengan Walton yang tak sengaja terdengar olehku pagi tadi.
“Kau cemburu?” tanya Walton tepat saat aku merapatkan pintu kamar.
Hening. Albert tak meresponsnya. Mungkin ia tengah menatap Walton sambil tetap duduk dengan tenang.
“Jangan terlalu mencemaskannya. Kau tidak punya banyak waktu lagi dengan perubahan yang lebih sering kau tunjukkan beberapa waktu belakangan ini.”
“Tidurlah,” seru Albert yang terkesan meminta Walton berhenti membahas perihal perubahannya.
“Kau juga harus memikirkan dirinya. Kau tidak bisa berada di sampingnya terus menerus. Itu sangat berbahaya!”
Albert menggebrak meja. Membuatku hanya bisa mematung di balik pintu. “Bukankah sudah kuminta kau untuk tidur?” bentaknya dengan suara rendah.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Hanya semenit kemudian terdengar suara pintu terbanting dan membuat lantai sedikit bergetar. Sepertinya Albert memilih untuk keluar dan menenangkan diri setelah sebelumnya Walton berkata sesuatu.
“Aku tidak bisa melihat makhluk berbahaya sepertimu ada di sisinya. Jadi, jika kau tidak bisa mengendalikan dirimu, maka aku benar-benar akan membunuhmu,” begitu katanya.
(Bersambung)
Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn / Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Blurb cerbung: Black Bell
Makhluk mengerikan berwujud serigala itu ditangkap di hutan perbatasan. Setelah diamankan oleh pasukan angkatan darat, ia dibawa ke laboratorium kota. Di bawah wewenang Jendral Baldric, makhluk bertubuh besar dan bercakar tajam itu diteliti oleh Profesor Lorenzo dan Profesor Shin.
Oleh sang Jenderal, hasil dari penelitian tersebut rupanya disalahgunakan. Mutasi gen monster itu diujikan ke beberapa warga sebagai kelinci percobaan dan berdampak fatal bagi negeri bagian barat. Lebih dari itu, kematian kedua professor tersebut menjadikan anak mereka, Charol, berada dalam bahaya. Ia dikejar pasukan Jendral karena disangka mampu mengatasi amukan makhluk itu.
Dibantu oleh Albert, sahabat baik sekaligus pemuda yang dicintai Charol, mereka melarikan diri. Malangnya, Albert telah terinfeksi virus manusia serigala itu, yang membuatnya lama-kelamaan kehilangan kendali atas dirinya. Ia pun menjadi pelindung utama, sekaligus bahaya besar yang mengancam Charol.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita