La Terra Delle Lacrime 4
Oleh: Sunita Kasih
Bertemu Simon
Setelah hari berlalu dengan berbagai rahasia yang tak pernah muncul ke permukaan kemudian hari yang baru datang juga. Membawa berbagai hangat mentari juga membawa kehidupan bagi tanah kosong yang rindu pada butiran benih dan kelopak bunganya.
Nina bersiap menemui Simon, ini adalah hari dimana Simon dan Nina berjanji untuk bertemu di taman. Seperti biasanya, Nina harus kembali merelakan makan malamnya.
“Kuharap Simon tak pernah lupa membawakan aku sebuah apel,” Nina menggumam.
Nina kembali memakai sepatu usangnya, tak lupa juga Nina membawa buku yang Simon berikan dan ranting bak tongkat sihir ke dalam tas maroon kesayangannya. Hari itu sempat turun hujan lebat sebelum langit kembali menjadi mendung dengan menurunkan beberapa bulir saja ke bumi. Tak ada yang banyak berubah, jalanan itu masih menggenangkan air di beberapa sisi, asap dari perapian yang tak jelas lokasinya juga dinding bangunan yang berlumut.
Sesampai di depan gang, Nina yang mengenakan jaket hitam itu tak menemui Simon sebagai seseorang yang telah menunggunya.
“Ah, tak biasanya, haruskah aku menunggu Simon? Atau kulanjutkan saja?” Diliriknya kanan kiri. Nina mengayunkan kakinya seperti hendak menendang sesuatu. Tak lama ia melihat ke dalam tas maroon yang dia kenakan.
“Kenapa Simon bisa tahu banyak tentang hal ini, ya?” gumam Nina dalam hati.
“Hey, kau sudah menungguku cukup lama?” Simon datang, menghentikan sepeda tepat di depan Nina dengan tergesah-gesah.
“Tak apa, kukira kau langsung menungguku di taman.” Nina membenarkan sandangan tasnya.
“Ya sudah, naiklah, aku mau mengajakmu ke suatu tempat,” Simon sedikit menarik Nina menuju sepedanya.
Nina mengangguk, mengiyakan arahan Simon meski sebenarnya ia sedang dirundung kebingungan, belumlah pertanyaan mengenai buku yang Simon berikan, kini ia harus kebingungan tentang tempat seperti apa yang akan Simon perlihatkan.
“Kau mau membawaku kemana, Simon?” tanya Nina.
“Mencari jawaban.”
“Maksudmu?” Simon melambatkan kayuhan sepedanya.
“Kau mau tahu banyak tentang buku itu ‘kan? Biar aku bawa kau ke tempat di mana kita bisa dengan leluasa bercakapmengenai hal ini.” Nina mengangguk, ia eratkan pegangan pada bahu Simon, Simon pun kembali bergegas mengayuh sepeda dengan kencang.
Diperjalanan Nina hanya diam, memandangi sekeliling sembali memperkirakan telah sejauh apa jalanan yang telah Nina dan Simon lewati hari ini.
“Ini lebih jauh dari taman, apa kau yakin?” Nina bertanya.
“Tentu saja!” teriak Simon.
Nina kembali diam.
Perjalanan itu kurang lebih mereka tempuh selama dua puluh lima menit.
“Sampai,” Simon menghentikan sepedanya.
Nina melirik kanan dan kiri. Bau ini, gunungan beberapa benda yang tak terpakai, juga gubug itu. Mereka sedang berada di tempat pembuangan sampah ujung kota.
“Mari kutunjukan sesuatu,” Simon menarik tangan Nina.
Nina dan Simon melewati beberapa jalan setapak, hingga akhirnya mereka sampai pada ujung jalan tepat akhir tempat pembuangan sampai itu. Nina melihat sebuah gubug dengan pohon apel di sebelahnya.
“Simon, ini tempat tinggalmu?”
“Bukan, Nina”
“Lalu?” tanya Nina.
“Lihat saja.” Alangkah kagetnya Nina menyadari bahwa seseorang yang baru keluar dari gubug itu adalah orang yang selama ini mengajarkan Nina cara membaca.
“Tukang Koran!”
“Ya, Nina,” jawab Simon sambil mengajak Nina mendekat.
“Setelah ini aku menyadari, banyak hal yang benar-benar tak pernah kuketahui,” gumam Nina di samping Simon.
“Setelah ini akan lebih banyak rahasia dan perjalanan Nina, bersiaplah.” Simon mendekat pada tukang Koran.
Tukang Koran tersenyum, mempersilahkan Nina dan Simon untuk masuk ke tempat tinggalnya. Nina yang telah lama tak bertemu dengan tukang Koran tampak heran dengan perubahan tukang Koran tersebut, rambutnya gondrong, tubuhnya tampak kurus, kulitnya sedikit tampak gosong.
“Kau Nina bukan? Yang dahulu sering kutemui di taman,” tanya tukang Koran.
Nina mengangguk, dalam hati dan pikirannya berkecamuk tentang apa yang sebenarnya terjadi, Simon, tukang Koran dan buku ini. Apakah semua adalah rangkaian yang selama ini tanpa Nina sadari telah sengaja berada di dekatnya?
“Kau mau kujelaskan dari mana?” Simon bertanya pada Nina.
Nina membuka tas maroon miliknya dan mengambil buku yang Simon berikan, meletakkan di atas meja persegi yang berada di depan mereka.
Tukang Koran menatap buku itu, tersenyum kemudian menyenggol bahu Simon.
“Sudah kau berikan buku itu?”
“Lihat saja sendiri,” Simon menjawab pertanyaan tukang Koran.
“Biar kujelaskan beberapa hal padamu Nina, tukang koranlah yang memberikan buku itu padaku hingga akhirnya aku dapat memberikannya padamu.” Nina menyimak.
“Lalu, kau juga pasti bertanya-tanya bagaimana bisa aku dan tukang Koran bertemu kemudian menemukan buku itu ‘kan?” Nina mengangguk.
“Aku sama sepertimu Nina, aku hidup sendiri hingga akhirnya aku tak sengaja bertemu dengan tukang Koran, tentu aku bisa membaca namun hanya kau yang bisa melihat apa yang ada di dalam buku itu,” Simon berusaha menjelaskan.
Wajah Nina tampak kebingungan, tukang Koran hanya menganggung-angguk seolah membenarkan segala pernyataan Simon.
Adalah beberapa tahun yang lalu ketika Simon pertama kali bertemu dengan tukang Koran. Tukang Koran tampak kebingungan sama seperti Simon. Ia menanyakan apa yang terjadi di kota dan negeri yang mereka tempati, semua seperti berubah drastis. Tukang Koran menjelaskan bahwa beberapa bulan yang lalu sebelum ia memutuskan berkunjung ke negeri tetangga negeri yang ia tempati tidak seperti ini, kelabu dan suara gerutuan seolah sangat jarang berada di negeri terutama kota itu.
Tukang Koran juga menceritakan tentang beberapa temannya yang disangka telah terserang penyakit gila sebab sangat tidak terbiasa dengan perubahan yang ada di kotanya. Tukang Koran yang tak mau ditangkap dan dimasukkan ke dalam sebuah penjara bawah tanah harus terus berpura-pura paham tentang apa yang terjadi agar tak dianggap orang gila.
“Hari itu aku duduk beristirahat tak jauh dari sini, aku menemukan Simon dengan beberapa apel segarnya juga sepedanya. Aku duduk disebelahnya, menanyakan apa yang sedang dia lakukan dan betapa kagetnya aku ketika aku melihat wajah anak ini menggoreskan senyuman, menampakan barisan giginya dan menyipitkan matanya.” Tukang Koran menarik napas.
“Setelah itu aku menegaskan bahwa Simon sama sepertiku, kebingungan juga tak tahu tetang apa yang terjadi pada negeri ini,” lanjut tukang Koran.
Nina masih menyimak apa yang tukang Koran paparkan.
“Dahulu, tempat ini adalah taman bunga tulip milik keturunan keluargaku, Nina. Mungkin juga kau termasuk di dalamnya,” ucap Simon.
“Lalu? Kenapa sekarang penuh dengan sampah?” tanya Nina.
Simon melirik ke jendela seolah mengisyaratkan Nina untuk turut melirik ke lur jendela.
“Kau lihat barang-barang itu?”
“Ya?”
“Itu barang-barang mereka yang dahulu pernah membuat negeri ini tak menjadi kelabu.” Simon menunduk.
“Maksudmu? Apa hubungannya dengan jubah, topi, ah apa itu tongkat sihir?” Nina bertanya sembari matanya masih melihat keluar jendela.
“Ya, kau sudah selesai membaca buku itu?”
“Sebentar Simon, jelaskan dulu. Kau sebetulnya siapa da nada apa dengan orang-orang yang ditangkap? Ya meski aku pernah membaca persoalan seseorang yang pernah ditangkap karena penyakit gila, maksudku bisakah kau jelaskan dulu?” tanya Nina.
“Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mencoba menjelaskan bagaimana negeri ini dahulu, Nin.” Nina terdiam.
Nina mengingat sesuatu, penjelasan yang berada pada beberapa halaman awal di buku itu. Persis menceritakan tentang apa yang Simon dan Tukang Koran katakana.
“Lalu, kenapa dengan buku ini?”
“Itu adalah jawabannya, Nina.” Suasana kembali hening.
“Maksudmu?” tanya Nina memecahkan keheningan.
Simon masih terlihat enggan menjelaskan, sebetulnya Simon yakin setelah membaca buku itu Nina pasti sedikit lebih memahami keadaan yang sedang mereka hadapi pun Nina sendiri.
“Kau juga sama sepertiku Simon?”
“Ya, Nina”
“Lalu bagaimana mengembalikan negeri ini?” ucap Nina.
Simon terdiam. Ia mengingat kembali pasal kejadian yang telah lalu. Negeri yang kaya dengan kebahagiaan itu berkali-kali hadir dalam ingatnya, menjadikan kenyataan adalah satu-satunya hal yang paling sulit dihadapi.
“Keluargamu dan keluargaku di bantai, Nina.” Mata Nina terbelalak.
“Maksudmu?” tanya Nina.
Mata Simon memerah, Simon menjelaskan bahwa apa yang terjadi sekarang adalah akibat dari pembantaian yang terjadi di negeri itu.
“Keluarga kita yang memiliki kemampuan lebih dianggap menjadi biang kerusuhan di negeri ini.”
“Maksudmu?”
Simon menjelaskan kembali mengenai negeri ini dahulu. Menjelaskan bagaimana golongan mereka dibantai habis-habisan sebab dituduh akan menjadi musibah bagi negeri. Beberapa tahun yang lalu hampir seisi negeri diancam jika tak memberikan informasi tentang keberadaan seorang penyihir.
“Itu yang menyebabkan kita hidup sendirian di kota ini?” tanya Nina sesegukan.
Simon menganguk, kali ini ia tak dapat menghentikan tangisan Nina. Nina begitu kaget dengan apa yang Simon ceritakan, tak pernah ia duga bahwa ia menjadi bagian dari tragedi besar di negeri dan kota ini.
“kau sudah membaca buku itu?” tanya Simon.
“Hampir semuanya.”
“Aku boleh bertanya?”
“Tentu,” Nina menahan sesegukannya.
“Aku belum bisa membaca buku itu, tapi apa benar buku itu adalah dongeng yang begitu indah?” Nina menunduk mendengar pertanyaan Simon.
“Kau dapat buku ini dari mana?” Nina membalas pertanyaan Simon dengan pertanyyan juga.
“Aku mendapatkannya dari sini Nina, setelah perjalanan yang cukup panjang, aku bertemu dengan tukang Koran yang ternyata telah lebih dahulu menemukan buku itu. Tukang Koran menceritakan banyak kejadian yang ia lewati dahulu, selepas itu aku sadar, tukang Koran selama ini bersembunyi di pembuangan sampah demi sekedar mencari informasi bagaimana mengembalikan negeri ini,” Simon menjelaskan panjang lebar.
Nina terdiam, ia cengkram lebih kuat buku itu.
“Simon, mari pergi dari negeri ini.” Nina berteriak.
“Hah? Maksudmu? Ada apa?” tanya Simon.
Ia mengingat sesuatu yang ia baca dua malam yang lalu.
“La Terra Delle Lacrime” ucap Nina
“Maksudmu Nina?”
Ia memberikan kertas pada Simon.
“Ini gambar kota kita ‘kan?”
“Iya, tak hanya kota. Itu negeri.” Jawab Nina
Dalam secarik kertas yang ia temukan dua malam yang lalu di kamarnya.
“Setelah membaca buku itu aku mencocokan dengan Koran harian sepuluh tahun yang lalu. Itu dia.” Nina mengingat betapa dulu ia menyukai secarik kertas yang telah ada pada kamarnya, huruf yang ia kira aneh namun menarik itu selalu membuatnya berusaha mencari Tukang koran yang berbaik hati untuk mengajarinya membaca. Dalam kepalanya sudah beribu-ribu kata tersalin dan yang tertimbun jauh namun tetap muncul dipermukaan walau sedikit adalah La Terra Delle Lacrime.
Simon terdiam. Nina bercerita lebih panjang. Pipinya sudah basah seperti jalanan yang berada di negeri ini juga yang selalu dilewatinya.
“Di negeri ini semua serba dingin, lembab dan terasa asing,” Nina berbicara dengan sesegukan.
“Baiklah,” Simon hanya mengiyakan, baginya tangisan sudah menjadi hal yang wajar. Bukan baginya saja namun bagi seluruh penghuni negeri itu.
“Kenapa kau biasa saja melihat situasi di sini? Kenapa tak ada yang berusaha menyeka air mata ketika ada yang menangis? Kau tahu Simon? Kau tahu kenapa?” Nina berteriak dengan suara yang parau.
“Bawa aku pergi, Simon,” Nina melanjutkan.
Nina menunjukan kertas potongan Koran yang Nina selipkan di belakang buku. Diotaknya berulang-ulang tulisan itu muncul. Dongeng La Terra Delle Lacrime, persis seperti pada judul buku dan di kertas penuh debu itu “La Terra Delle Lacrime : sebuah nama untuk negeri terkutuk yang membuang orang-orang gila pencari tawa dan senyum. Dengan arti negeri tangisan.”
Tukang Koran terdiam pun Simon. Pembantaian golongan Nina dan Simon menjadikan amarah Nenek Nina meledak-ledak.
“Setelah ini, kita tidak harus pergi, Nina” ucap Simon.
“Kita harus menghadapi?” tanya Nina.
“Kita harus mengubah apa yang telah nenekmu ubah.” Nina terdiam.
Bersambung…
Sunita Kasih asal kota Lubuklinggau Sumatera Selatan, penyuka teh melati juga sepiring pengalaman yang disajikan dengan hangat. Kamu bisa temukan Sunita di instagram dan facebook : sunitakasih serta twitter : @sunitakasiih
Blurb:
Nina menyadari satu hal setelah Simon memberikan buku itu padanya—La Terra Delle Lacrime—bahwa ada yang sangat salah dari kota yang ia tempati sekarang. Abu-abu, asap, sunyi, gemeretuk gigi, ayunan taman yang berkarat, bangunan yang berlumut, juga gagak yang bertengger di pepohonan jalan raya itu, tanpa Nina sadari telah menyadarkan Nina atas apa yang terjadi.
Setelah mengetahui satu rahasia besar, ia kembali menemui Simon untuk meminta penjelasan lebih tentang dirinya—bahwa ia bukanlah manusia biasa. Ketika Nina memutuskan untuk pergi, Simon yang terlebih dahulu telah mengetahui hal ini mencegah kepergian Nina dan mulai merancang sesuatu dengan berbekal buku yang hanya Nina yang mampu menguasai kekuatan di dalamnya. Sebuah buku sihir berusia ratusan tahun, sebuah buku yang berisi kutukan.
Apakah Nina dan Simon berhasil mengembalikan keadaan kota itu? Atau malah berakhir dalam penjara bawah tana, tempat orang-orang gila mengakhiri pencarian tentang apa yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita