Kuambil Cintanya
Oleh: Respati
Langkah Mony gontai dan dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke kursi di depanku. Badan yang gempal itu seakan membuat dunia sekitar terguncang.
Wajah masamnya terpancar jelas di hadapanku. Bibirnya kehilangan lengkungan khasnya. Senyum cerianya sirna. Tercengang melihatnya, aku pun bertanya,
“Hey! Kamu kenapa? Datang kok uring-uringan.”
Mony tetap memasang wajah kesalnya. Disandarkannya kepala ke kursi. Matanya terpejam sebentar. Aku masih terus perhatikan setiap gerakannya. Membiarkan Mony dengan kejengkelannya.
“Boleh gak sih aku kesal?”
“Apa yang kamu kesalkan?”
“Mas Ru!”
“Kenapa suamimu?”
“Gak peka, Nim!”
“Gak peka kapan ulang tahunmu?” tebakku, “atau gak peka dengan apa maumu?”
“Kerja terus. Lembur terus!”
“Lemburannya kan buat istri juga, Moo,“ kataku.
Moo mendengus kesal. Moo adalah panggilan sayangku pada Mony, sahabat kecilku. Tubuh gendutnya sejak kecil memberikannya julukan Moo. Dan ia tak keberatan untuk itu.
Sambil memainkan ponselnya, Moo masih nampak kesal. Setiap rasa jengkelnya memuncak karena suaminya, ia akan terus memasang wajah cemberutnya.
“Moo…, “ panggilku.
Mony hanya mengguman tanpa mengalihkan matanya ke arahku. Diambilnya cappuccino blend miliknya diaduk-aduk dengan kesal.
“Kamu udah cek belum?”
“Cek apa?” tanyanya masih tak acuh.
“Kamu yakin Mas Ru lembur?”
Tetiba Mony mendongakkan kepalanya. Dipandangnya aku tak berkedip. Aku kaget dengan pertanyaanku sendiri. Ditambah dengan ekspresi Mony. Aku jadi salah tingkah atas kelancanganku dengan pertanyaan menjebak.
“Maksud aku, sudah pernah kamu cek ke kantornya?”
Mony terdiam. Dipandangnya layar ponsel sejenak kemudian berlalu meninggalkanku. Seruan panggilanku tak digubrisnya. Beberapa orang dalam café mencuri pandang padaku yang terus memanggil Moo. Moo keluar café entah kemana.
*
Dua minggu berlalu. Aku bertemu Mony lagi di tempat yang sama. Di meja yang sama. Tapi dengan suasana berbeda. Kali ini bibir merah mudanya bersungging senyum. Tak kujumpai lagi nuansa kesal, apalagi kemarahan yang membuncah dari sahabatku, Moo.
Kali ini wajahnya ceria. Terpancar kebahagiaan di setiap lini ceritanya. Bahasa tubuhnya mengabarkan telah sirnanya kecemburuan Moo.
“Mas Ru ngajak ke Bali, Nim!” katanya bangga.
Senyumnya merekah. Tertawanya renyah.
“Waw! Selamat ya, Moo. Bulan madu lagi. Biar cepat hamil.” Aku dan Moo tertawa bersama.
“Apa yang membuat suamimu mau berlibur?”
“Aku protes, Nim. Aku marah. Aku nangis, merajuk dan kubilang kapan waktu buatku. Buat kita.”
“Lalu apa jawabnya?”
“Mas Ru gak jawab. Pulang lembur dia bawa tiket ini, Nim.” Moo bersorak gembira sekali sambil menunjukkan sebuah tiket. Kali ini protesnya berhasil.
Aku bahagia melihat sahabatku begitu bahagia. Wajah yang kemarin cemberut penuh kekesalan telah sirna. Kini terbit keceriaan.
Sambil menyeruput minuman kesukaanku, aku terus melihat binar itu. Binar yang mulai mengusiknya.
*
Besok aku sendiri lagi. Mony dan suaminya pergi berlibur ke Bali. Seminggu aku terpasung rindu. Sementara mereka merajut kasih kembali. Tinggalah aku dalam terbalut sunyi. Aku cemburu. Sangat bahkan. Akankah aku seperti ini seterusnya selalu sendiri.
Ponselku berdenyit. Sebuah pesan masuk. Pesan yang sebenarnya sedari tadi kutunggu. Tapi aku enggan membukanya. Kubiarkan dia menunggu. Hingga akhirnya dia pun memanggilku. Dengan rasa malas kugeser juga tanda panah berwarna hijau itu ke atas.
“Malam, Sayang.”
Aku tak menjawab. Cukup memandangi wajahya dalam layar ponselku.
“Sayang, aku pergi karena saranmu. Kamu tahu siapa yang aku inginkan saat ini.”
Aku terdiam. Ya, aku pemberi saran padanya. Agar dia lebih peka. Aku hanya bisa memandang wajah itu dari balik layar ponselku untuk seminggu ke depan. Videocall sedikit membunuh rinduku padanya.
“Miss you, Beb.”(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita