Aaron Smith 3
Oleh: Triandira
Pencuri Hati Aaron
Kehadiran Hadley benar-benar membuat Aaron bahagia. Mereka bersenda gurau sambil memainkan mobil-mobilan di atas lantai. Saling adu kecepatan, dan ketika salah satu di antara mereka kalah, yang lain langsung menggelitik pinggang lawannya. Membuat keduanya larut dalam gelak tawa.
Senang rasanya melihat Aaron kembali ceria. Sudah cukup lama semenjak kepergian George, ia tak segembira ini. Menyunggingkan senyum di wajah dengan mata berbinar cerah. Tak ada tatapan kosong seperti kemarin, saat ia sedang bermain seorang diri.
“Paman, curang!” teriak Aaron tiba-tiba. Menarik lengan Hadley agar menjauh dari mainan yang ia pegang.
“Tidak, kau yang curang. Ayo, berikan mobil itu pada Paman.”
Aaron terpingkal. Memandang jahil ke arah lelaki berjambang tipis itu sembari menjulurkan lidahnya, “Jika mau, kejar saja aku.”
“Baiklah, kau yang memintanya.” Hadley langsung menghampiri bocah kecil itu. Mereka berkejaran di dalam rumah dan mengelilingi perabotan yang tertata rapi di ruang tamu. Sesekali berhenti, lalu berbalik arah. Mengecoh satu sama lain.
Aku tersenyum tipis menyaksikan tingkah mereka. Memerhatikan Aaron dan Hadley dari balik pintu ruangan, kemudian berjalan mendekat dengan membawa nampan berisi minuman. Dua gelas jus jeruk yang baru saja kuambil dari dalam kulkas. Juga sepiring kue kering rasa cokelat, pemberian Janeth tempo hari. Cemilan manis yang hanya bisa ia dapatkan di toko kecil pojok jalan, dekat dengan tempat ia bekerja.
Meski aku sudah berulang kali melarangnya, tapi Janeth tetap saja seperti itu. Ia sering datang ke rumah dengan membawa oleh-oleh untuk kami. Aaron yang sangat menyukai cokelat, tentu saja tidak menolaknya.
“Hentikan, Paman. Kau membuatku geli.”
“Benarkah?” potong Hadley. Memeluk Aaron yang nampak kelelahan. Napasnya tersengal-sengal setelah berlarian ke sana kemari.
“Ibu, lihatlah. Paman tidak mau melepaskanku. Tolong aku, Bu.”
“Apa ini? Kau meminta bantuan?”
“Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri. Lihat saja, aku pasti akan mengalahkan Paman.” Aaron menggigit lengan Hadley, lantas berdiri di belakangnya dan menjatuhkan diri ke punggung lelaki bertubuh tinggi itu. Meminta digendong. Sementara yang dilukai masih meringis kesakitan.
“Aaron, jangan seperti itu,” ucapku cepat. “Ayo, turun.”
“Sebentar, Bu. Aku masih ingin bermain.”
“Jadi kau tidak mau turun? Baiklah, biar Ibu saja yang menghabiskannya,” selaku menghentikan gurauannya. Mengangkat segelas minuman hanya untuk menggodanya agar bergegas menghampiriku.
Tak lama kemudian, Hadley melepaskan gendongannya. Membisikkan sesuatu di telinga bocah yang tengah mengambil makanan di atas meja sebelum datang menyapaku.
“Apa dia masih sering bertanya?” ucap lelaki tersebut begitu kami berdua duduk di kursi dekat televisi. Beberapa meter dari tempat Aaron menikmati cookies-nya.
“Sepertinya kau sangat mengkhawatirkan putraku, Tn. Hadley.”
“Ah, tidak. Bukan begitu, Nyonya. Aku hanya ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.”
Mendengar apa yang baru saja ia katakan, aku menoleh dengan tatapan tajam, “Tidak ada yang berjalan dengan baik semenjak George meninggalkan rumah ini.”
“Ya, aku bisa mengerti hal itu.”
“Tidak. Kau tidak akan bisa memahaminya.”
“Apa?” tukas Hadley terkejut. “Maaf. Aku rasa kau sudah salah paham terhadapku.”
“Benarkah? Lalu untuk apa kau ke sini?”
“Sudah kukatakan tadi.”
“Kau pikir aku percaya?” balasku tak mau kalah. Mencecarnya dengan pertanyaan agar berkata jujur padaku. Entahlah, meski tahu bahwa Hadley adalah lelaki yang baik tapi aku tidak bisa memercayainya begitu saja. Bagiku, kedatangannya di rumah ini bukan untuk mengetahui keadaan kami semata, tapi lebih dari itu.
Selama membangun biduk rumah tangga bersama George, aku merasa bahagia. Namun sedikit terusik setelah orang kepercayaan Alfred itu sering berkunjung menemui kami, dan memanjakan Aaron dengan berbagai barang mewah yang ia bawa. Ya, aku tahu ia melakukan hal tersebut karena perintah majikannya, tapi sulit bagiku untuk memungkiri kenyataan yang ada.
“Bagaimana kau bisa bekerja dengan orang seperti dia?”
“Maksudmu, Nyonya?” Hadley menautkan kedua alisnya yang tebal. Menatapku lamat-lamat.
“Kau tau benar apa maksudku, Tn. Hadley.”
“Ya, kau benar. Tapi jangan lupa, Nyonya,” sindirnya kemudian. “Dia tetaplah seorang Ayah dan Kakek bagi Aaron.”
“Jadi kau membelanya? Ah, tentu saja. Kau pasti—”
“Dia juga menyayangi mereka.”
Aku terhenyak. Kali ini perkataan Hadley benar-benar tak bisa kuterima. Mudah saja baginya mengatakan hal semacam itu. Tidakkah ia mengerti bagaimana perasaanku ketika mendengarnya? Aku rasa ia sudah dibutakan oleh jabatan hingga tak peduli dengan keangkuhan Alfred selama ini. Lelaki yang begitu tega mengasingkan anak semata wayangnya dari dunia luar.
Ah, rasanya sangat sesak ketika mengingat kembali kenangan itu. Masa-masa di mana George harus bersikap tabah. Menguatkan diri sendiri tanpa seseorang di sisinya. Berteman kesedihan selama terkurung di dalam rumah. Hanya ada kemewahan dan kebahagiaan semu di sana. Tanpa kasih sayang yang sesungguhnya.
“Aku tidak ingin Aaron mengalami hal yang sama,” bisikku tanpa mengalihkan pandangan dari bocah lelaki di hadapan kami. “Dia berhak bahagia, bukan?”
Hadley terkesiap. Matanya yang teduh seketika menatapku, “Ya, dia akan mendapatkan kebahagiaan itu.”
“Tidak jika kau masih mengganggunya.”
“Kau tau aku melakukannya atas perintah siapa, Nyonya,” sela Alfred memotong ucapanku. Untuk sesaat kami terdiam. Tenggelam dalam benak masing-masing sambil menghela napas dalam-dalam.
Caranya menatap Aaron semakin membuatku cemas. Sebenarnya apa yang diinginkan lelaki itu dari kami? Mungkinkah ia merencanakan sesuatu yang buruk? Lagi-lagi pikiranku dipenuhi oleh bayangan menakutkan. Tentang Aaron, juga masa depannya kelak. Semoga ini hanya perasaanku saja. Dan perhatian yang Hadley tunjukkan padaku bukanlah kepura-puraan semata.
Aku harap Aaron berteman dengan orang yang tepat. Bagaimanapun, aku tidak ingin jika sampai ia kembali terluka. Sudah cukup bagiku melihat penderitaannya karena menyimpan rindu terhadap George. Hal yang juga tengah kurasakan sekarang.
“Maafkan aku,” balasku membuyarkan lamunannya. “Aku sangat cemas dan….”
“Aku mengerti, Nyonya. Kau tidak perlu meminta maaf.” Hadley menyunggingkan senyum sebagai balasan ketika putraku yang tampan memandangnya. “Percayalah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Aaron selain berada di sisimu.”
Aku menganggukkan kepala. Menatap wajah bocah yang telah kulahirkan tiga tahun silam dengan mata berkaca-kaca.
“Dan aku rasa, dia tidak akan suka melihatmu menangis, Nyonya,” timpalnya lagi. Menoleh ke arahku sambil menyunggingkan senyum di bibir. Seketika aku mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi, lantas beranjak bangun di saat Aaron berjalan mendekat ke arah kami. Mencoba menghindar dari pertanyaan yang mungkin saja ia lontarkan nanti. Saat menyadari bahwa ibunya tengah dirundung kekhawatiran, dan menangis tanpa alasan.
“Paman,” panggil Aaron. Jemari kecilnya meraih lengan Hadley yang masih terduduk di atas kursi. “Ayo, kita main lagi.”
“Baiklah, tapi sebentar saja, ya. Karena Paman masih ada pekerjaan nanti.”
“Oke.”
Mereka kembali bermain seperti tadi. Sedangkan aku masih berdiri di dekat pintu, menoleh sejenak ke belakang sebelum melangkah keluar ruangan. Menatap lelaki yang sempat melemparkan pandangannya ke arahku. Tersenyum samar dengan tatapan yang sulit kuartikan.
***
“Ibu…!” teriakan Aaron mengejutkanku. “Lihat ini, bagus tidak?”
Aku menghentikan pekerjaanku. Meletakkan setrika di samping baju yang sudah tersusun rapi, lantas meraih kertas yang disodorkan oleh bocah itu. “Hm, apa ini? Kau sendiri yang membuatnya?”
“Iya.”
“Bagus, Sayang.”
“Ibu menyukainya?”
“Tentu saja.” Kuusap rambut Aaron seperti yang biasa George lakukan terhadapnya.
“Apa aku boleh mewarnainya?” pertanyaan yang begitu saja keluar dari mulutnya dan membuatku geli. Terlebih setelah melihat raut mukanya yang polos. Nampak lucu dan menggemaskan hingga aku betah berlama-lama memandangnya. Namun, wajah yang memiliki kemiripan dengan ayahnya tersebut malah mengingatkanku pada George.
Seketika dadaku terasa sesak seperti ada beban berat yang menindihnya. Kilasan peristiwa menyakitkan itu pun kembali menyeruak. Saat Aaron kehilangan sosok terpenting dalam hidupnya, dan berstatus sebagai anak yatim.
Tak ingin larut dalam kesedihan, kualihkan lagi perhatian pada hal yang ada di sekitar. Sebuah rak berisi buku-buku milik Aaron, “Kau bisa mengambilnya sendiri?” tanyaku sambil menunjuk sebuah benda.
“Ya. Aku bisa melakukannya.”
“Bagus. Gunakan ini dan berhati-hatilah.” Aku memberikan kursi plastik yang bisa ia gunakan untuk memanjat dan memudahkannya meraih crayon yang ia inginkan tadi.
“Terima kasih, Bu.”
“Sama-sama, Sayang.” Sementara Aaron sedang berkutat dengan peralatan mewarna, aku melanjutkan kembali pekerjaan yang sempat tertunda. Memasukkan pakaian yang sudah selesai kusetrika ke dalam lemari, lalu pergi ke teras depan rumah setelah mendengar seseorang memanggil namaku. Dari suaranya saja aku sudah bisa menebak siapa yang datang.
Mary, ibu dari dua orang anak yang tinggal berdekatan denganku. Tetangga sekaligus pelanggan yang biasa membeli kebutuhannya di toko kami, bahkan semenjak Aaron masih dalam kandungan.
Dulu, George dan aku memutuskan untuk bekerja bersama-sama. Kami menyewa sebuah tempat di pinggiran jalan raya dan menjual berbagai macam barang di sana. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku setelah berulang kali mengalami penolakan. Melamar pekerjaan di sana-sini untuk membantu suami. Namun nyatanya, aku tak kunjung diterima.
“Hai, Em. Apa aku mengganggu kalian?” sapa perempuan itu begitu aku membukakan pintu untuknya.
“Tidak, Ny. Mary. Masuklah.”
“Terima kasih.” Kami berbincang di ruang tamu setelah aku mempersilakannya duduk. “Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan.”
“Ya, katakan saja.”
“Begini. Beberapa hari sebelum George….”
“Tak apa, Nyonya,” selaku kemudian. Meminta Mary untuk melanjutkan kembali ucapannya yang terhenti. “Bicaralah.”
“Kumohon jangan salah paham terhadapku. Ini tentang AC yang kubeli waktu itu. Saat George mengirimnya ke rumah, aku belum memberikan sisanya.” Mary menghentikan kembali ucapannya, lantas menyodorkan amplop berisi uang padaku. “Sungguh, Em. Aku tak bermaksud—”
“Jangan khawatir. Aku bisa mengerti, Ny. Mary.”
“Aku benar-benar minta maaf dan… semuanya terjadi begitu cepat. Ketika aku hendak menemuimu untuk menyelesaikan urusan ini, di saat itulah kalian tengah tertimpa musibah. Jadi aku mengurungkannya.”
“Ya. Sama sekali bukan masalah.”
“Em… sekali lagi aku turut berduka atas kepergian George.” Mary mengelus pelan punggung tanganku. Perempuan berusia lima puluh tahunan itu seolah mengerti dengan apa yang tengah kurasakan saat ini. Dan itu terlihat dari matanya yang mulai berkaca-kaca sepertiku.
Selama bertetangga dengannya, kami memang lumayan akrab. Meski mengetahui keadaan George yang sebenarnya, ia tetap bersikap hangat. Bahkan tak jarang kami diundang ke rumahnya untuk menikmati makan malam bersama. Saling berbagi cerita, dan membiarkan Aaron bermain sepuas hati bersama putranya, Jimmy.
“Terima kasih, Ny. Mary. Selama ini kau sangat baik terhadap kami. Aku….” Sambil menghela napas, kulepas sejenak jemariku dari genggamannya. Mengusap pelan pelupuk mata yang berair sebelum jatuh membasahi pipi. “Aku sangat senang bisa mengenal kalian.”
Kami terdiam, dan tanpa membalas lagi apa yang ia dengar, Mary langsung merengkuhku dalam dekapannya. Berulang kali membisikkan sesuatu, menguatkan hatiku yang kembali dirundung kesedihan agar tak lagi menangisi kenyataan yang terasa berat untuk dijalani. Lagi pula benar apa yang Janeth katakan tempo hari. Masih ada Aaron di sisiku. Bocah lelaki yang kini sedang terlihat gembira. Berlari ke arahku dengan selembar kertas di tangannya, hendak menunjukkan sesuatu.
“Bagus, kan?” ucapnya polos. Tanpa ia sadari, ada hati yang tersakiti. Sekarang apa yang harus kulakukan, George? Aaron… mungkinkah ia sudah melupakanmu?
Bersambung….
Tentang Penulis:
Triandira, gadis penyuka senja yang kini tinggal di kota apel. Penggemar berat Spongebob dan Harry Potter ini sangat menyukai cerita bergenre horror juga thriller.
Fb: Triandira
Email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita