Secret Episode 1
Oleh: Veronica Za
“Kamu mau ikut naik gunung?” tanya Dodi menatap lekat wajah Mayang. Matanya menyiratkan keraguan untuk mengajak dan si gadis sesuaian itu ekstrim.
“Udah, dong!” jawab Mayang antusias.
Dodi tak sanggup menolak Permintaan gadis bermata hazel yang sejak lama menghuni gangguan itu. Ia hanya menikmati menonton Mayang sibuk di toko luar luar kampus.
Ini kali pertama gadis itu ikut mendaki gunung. Dodi takut sekaligus merasa senang. Takut jika Mayang tidak akan kuat di tengah jalan. Namun, ia juga bisa mendapatkan momen kebersamaan di puncak nanti.
“Benar, ya … nggak bakal nyesel!” tanya Dodi lagi, meyakinkan.
Mayang menanggapi kekhawatiran Dodi dengan senyuman termanisnya. Tentu saja pria jangkung berkulit kecoklatan itu tak berkutik. Ada getaran aneh dalam dadanya yang ingin segera ia tumpahkan. Rasa itu semakin memburu tatkala ia melihat Mayang membawa dua jaket dengan motif dan warna yang sama ke meja kasir.
Jaket couple!
Untuk siapa?
***
Terik matahari tak mampu dihindari lagi oleh pasukan pecinta alam. Dari seluruh mahasiswa, hanya dua belas orang yang sanggup mengikuti kegiatan estrim itu. Mereka berkumpul sambil memeriksa kembali persiapan untuk mendaki.
Dodi—ketua pecinta alam—membagi kelompok menjadi dua, yang salah satunya dipimpin olehnya. Sedangkan, kelompok lain diketuai oleh Erik, wakil ketua sekaligus teman baik Dodi.
“Revi, Dio, Angga, Jerry, dan Mayang ikut di grup aku. Sisanya, masuk grup Erik.” Dodi tampak tegas menyebut satu persatu anggotanya.
“Interupsi, Kak!” Gadis berkuncir kuda dengan bibir merah jambu itu mengangkat sebelah tangannya ke udara.
“Apa?”
“Boleh saya pindah ke grup-nya Kak Erik?” Tatapannya menghiba. Meski bersahabat, Dodi dan Mayang menjaga jarak ketika di kampus. Itu kesepakatan mereka sejak mulai kuliah.
“Kenapa?” Dodi sedikit tak terima jika harus pisah kelompok dengan Mayang. Bukankah ada misi hatinya yang sedang ia perjuangkan. Bagaimana jadinya jika malah berjauhan begini?
“Saya … hanya ….”
“Ya, sudah. Terserah kamu saja!” sela Dodi tak tega melihat si gadis tergagap mencari-cari alasan.
Setelah semua persiapan selesai, satu persatu anggota menaiki mini bis yang akan membawa ke tempat tujuan. Gunung Salak yang cukup terkenal di Jawa Barat.
“Kak Erik, duduk sendiri? Boleh duduk di sini nggak?” Pertanyaan Mayang tertangkap jelas oleh indera pendengaran Dodi yang baru saja duduk di kursi paling belakang.
“Yaaah … maaf! Udah bareng Toni. Orangnya lagi ke toilet dulu,” jawab Erik tersenyum canggung. Merasa tak enak hati menolak.
“Oh, oke! Kalau gitu, aku sama Rani duduk di depan kakak aja, deh!” Mereka berbincang santai diselingi derai tawa mengiringi laju bis yang mulai membelah ibukota bersama polusinya menuju daerah hijau minim polusi.
Dodi tak melepaskan pandangannya dari adegan menyayat hati di hadapannya. Mungkinkah Mayang menyukai Erik? Bisa jadi.
Dodi termenung mengingat semua tingkah laku Mayang yang terkesan mencari perhatian Erik, sahabat karibnya.
Pagi tadi, ia meminta pindah kelompok. Tanpa sengaja setelah itu, Dodi melihat gadis itu bersama Rani sedang memberikan sekaleng soda pada Erik.
Adegan barusan malah membuatnya yakin jika hati Mayang bukan untuknya.
Ah, siapa pula yang tak menyukai pria berwajah oriental itu? Mata sipit dan hidung bangirnya mampu membuat luluh hati gadis mana saja. Mayang memang kenal Erik karena dirinya. Meski tak pernah bilang, ia tahu Erik juga memiliki perasaan khusus untuk Mayang.
Dodi mengembuskan nafas panjang, mencoba menerima kenyataan bahwa Mayang bukanlah untuk dirinya. Ia memejamkan mata dan menyandarkan punggungnya ke kursi, berharap saat membuka mata nanti, semua akan baik-baik saja.
***
Azan Asar berkumandang bertepatan dengan tibanya mini bis yang mereka tumpangi, seakan menyambut kedatangannya. Hal ini memang disengaja, mengingat bahwa mereka akan melakukan pendakian esok hari setelah salat subuh. Seluruh anggota melakukan salat berjamaah di masjid dekat pemukiman warga setempat.
Udara sore di pedesaan ini membuat mereka mulai mengencangkan jaket hingga ke batas leher dan memakai kupluk yang menutupi sebagian besar kepala. Dinginnya menusuk hingga tembus ke tulang. Tak terbayangkan jika harus menikmati udara malam yang dipastikan sepuluh kali lipat lebih dingin. Namun, itulah resiko yang wajib—para pecinta alam—terima dengan bangga, karena itulah yang menjadi alasan kegiatan ini tidak diikuti oleh anggota bernyali ciut.
Tiap grup berkumpul sambil membenahi kebutuhan mereka. Sesekali intruksi kecil keluar dari mulut Dodi saat melihat kesalahan sekecil apapun. Jangan sampai nantinya kesalahan itu berubah menjadi bencana.
Masih ada waktu satu jam sebelum magrib dan semua perlengkapan sudah siap. Pemuda jangkung itu duduk di bale-bale besar yang terbuat dari batang bambu yang diikat tali rotan. Matanya yang semula liar memandang jajaran pohon hijau yang menjulang, tiba-tiba menangkap sosok yang sejak tadi ia hindari.
Layaknya pecundang, ia berusaha berlari dari kenyataan. Namun, ternyata tak bisa benar-benar dihindari karena kini sosok itu berada tepat di hadapannya. Seperti biasa, lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu luluh saat menatap senyumannya, pun mata indahnya.
“Kak, dari mana aja, sih? Aku cari-cari juga!” semburnya tanpa tedeng aling-aling.
“Biasa … ngurus persiapan buat naek.” Singkat dan jelas tak ingin ada pertanyaan selanjutnya yang menyusul. Niat hati tak ingin berlama-lama bersamanya, masih ada sisa nyeri mengingat keakraban antara Mayang dan Erik.
“Diih … saking sibuknya sampai jadi jutek gitu. Nih, ada soda buat Kakak!”
Dodi melirik ke arah kaleng soda yang berada di tangannya yang terulur. Soda yang sama dengan yang ia berikan pada Erik. Mayang menarik tangan Dodi untuk segera mengambil benda itu karena tak kunjung diterima.
“Kenapa sih, Kak?”
Hening. Tak satu pun kata yang terucap, antara bingung dan kesal yang masih menguasai pikiran dan perasaan pria itu.
“Ya udah, deh. Aku pergi!” Kesal tak mendapat tanggapan, Mayang berdiri sambil membenahi jaketnya. Sedetik sebelum ia pergi, Dodi spontan mencekal lengan gadis itu. “Eh?”
“Duduk dulu! Nanti aku ceritain kisah seru.”
“Apaan, sih. Garing!” ejek Mayang seraya kembali duduk di sampingnya.
Dodi menarik napas perlahan, menetralkan kondisi hati.
“Aku cuma lagi mikirin bagaimana perjalanan kita nanti saat mendaki. Banyak anggota baru yang gabung, termasuk kamu,” ujarnya berbohong.
“Yaelah … gitu doang! Kirain marah padahal aku sendiri nggak tahu salahku di mana.” Dia tergelak.
“Sampai kapan pun, rasanya aku nggak bakal bisa marah sama kamu,” lirihnya yang mungkin tak akan terdengar oleh Mayang.
“Apa?”
“Nggak!”
“Nggak, apa?” cecarnya penasaran.
“Nggak apa-apa!”
“Iiish, ngeselin!”
Tawa sepasang insan itu pecah begitu saja. Semua kembali seperti sedia kala. Biar rasa tersimpan lebih dalam dan tak mampu lagi muncul di saat tak tepat. Cukup hanya seperti ini. Bahagia. Bersama!
Malam itu, mereka membuat api unggun yang cukup untuk sedikit mengusir hawa dingin yang kian menusuk tulang. Bahkan, beberapa di antaranya menggunakan dua jaket dan syal serta sarung tangan, tak terkecuali Mayang.
Gadis itu memang tak kuat berlama-lama kedinginan. Hidungnya sudah semerah tomat siap petik dan membuatnya bersin berkali-kali.
Dodi sigap masuk ke dalam tenda mencari kotak P3K, mengambil obat penghangat badan yang biasa disebut “Si Bejo” lalu keluar. Langkahnya mantap menuju tempat Mayang menghangatkan diri. Tiba-tiba, ia membeku. Sebuah tangan kekar terulur memberikan Mayang obat yang sama dengan yang ia pegang.
Ia kalah start!
“Buat aku?” tanya Mayang tak percaya.
“Iyalah. Berbagi ya, sama temanmu!” jawab Erik sambil memberi isyarat dengan mengedikkan dagumya ke arah Rani yang berada di samping Mayang.
“Siap, Bos!”
Erik terkekeh melihat kekonyolan Mayang. Sebenarnya memang itu pesona yang ia miliki. Ragu-ragu Dodi mendekati mereka sambil menekan kembali perasaan yang hampir menyeruak.
“Wah … ketua grup-nya baik banget, ya,” seloroh Dodi. Tangannya menepuk pundak Erik yang berdiri membelakangi.
“Eh, Dodi! Mau juga?” Erik menyodorkan bungkusan berwarna kuning itu.
Aku menolak, ”Emang gue anak baru? Pake ditawarin segala!”
“Jaga-jaga, aja.”
Erik memang biasa merebut hati orang di sekelilingnya. Supel, ramah dan ganteng. Siapa yang nolak? Berbeda dengan dodi, yang terkadang terlihat garang karena sikap tegasnya. Namun, tak ada yang menyangkal jika ia juga disukai karena sikapnya itu. Rani—sahabat Mayang—yang biasa terlihat canggung di depan Erik malah bisa bersikap santai jika dengannya.
“Jangan lupa berdoa sebelum tidur. Kalian tahu ‘kan, kalau kita ada di tanah orang. Jaga sikap dan ucapan!”
“Siap, Boss!” jawab mereka serempak diiringi tawa.
Mereka berempat berbincang hingga malam mulai beranjak naik. Udara pun sudah semakin tak bersahabat. Mayang dan Rani pamit untuk kembali ke tenda meninggalkan dua pemuda berbeda suku itu yang masih juga berbincang-bincang.
“Kamu suka sama Mayang, ya?” tanya Dodi to the point sambil menatap punggung Mayang yang berlalu.
“Eh, menjurus nih! Hehe ….” Erik terkekeh.
“Serius!”
“Nggak tau. Itu jawabanku. Dia gadis yang manis, ceria, lucu …,” Erik terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Jangan-jangan kamu suka, ya?”
Erik menatap sahabatnya yang penuh tanda tanya. Pemuda berdarah Aceh itu memang sedikit tertutup jika terlepas soal perasaan. Yang ia tahu, sampai detik ini Dodi masih betah solo. Entah karena ia yang sangat umum atau pemalu. Entahlah.
“Dia sahabatku, mungkin akan tetap begitu.”
“Macam apa itu? Kesannya kamu suka sama Mayang tapi nggak mau berjuang. Apa begitu?”
“Nggak, bukan begitu. Kami bersahabat dan kami tidak berpikir jauh untuk status berubah menjadi pacar. Bisa saja’kan dia sudah punya seseorang yan berbakat? ”Ralat Dodi. Ia tidak mau jika Erik tahu bahwa ia adalah Mayang dan gadis itu yang menyiratkan Erik. Jangan samapai kebahagiaan mayang terhambat karena ulahnya.
“Yakin?”
“Hmm.”(*)
Bersambung.
Veronica Za, penulis amatiran yang menyukai segala hal yang berbau romance. Penggila donat dan drama Korea. Bisa dihubungi melalui Fb: veronica za
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita