Hukuman

Hukuman

Hukuman

Oleh: Etin Sukmawati

Rian, bocah tujuh tahun itu berlari riang keluar dari kelas saat pelajaran hari ini usai. Tangan mungilnya sesekali merogoh saku seragam sekolah, untuk memastikan benda di dalamnya tidak hilang. Ia tersenyum senang.

Sekarang, ia tak perlu lagi merengek minta dibelikan mainan pada sang Ayah.

Bocah yang masih duduk di kelas 1 SD itu sedang menuju sebuah rumah mungil terbuat dari lembaran GRC, yang dicat berwarna hijau dan kuning. Tempat tinggalnya bersama Ayah, Kakak dan Ibu Tiri.

Bruk!

Pintu rumah ia buka dengan kasar. Tak ada pengucapan salam atau sapaan lainnya. Ia tak terbiasa dengan itu. Lagi pula ia tahu, di jam-jam seperti itu ayahnya sedang bekerja, kakaknya masih di sekolah dan ibunya sedang bergosip ria di rumah tetangga.

Buru-buru ia ganti seragam sekolah dengan baju bermain yang sudah bolong-bolong di bagian ketiak. Lalu, menuju gerombolan bocah yang lebih dulu berkumpul di samping rumah.

“Woy! Aku juga punya nih mainan kayak kalian. Lebih bagus lagi.”

Rian menunjukkan benda berukuran mini itu pada ke tiga temannya.

“Hebat banget kamu punya mobilan kayak begitu. Dapet dari mana tuh?” tanya seorang teman penasaran.

Rian tak menjawab.

“Yuk, kita main!” ajaknya kemudian.

Bocah itu berkali-kali memamerkan mobil mainan dengan merek Hot Wheels, yang ia dapat dari seorang murid di sekolah. Ia bangga mempunyai benda mungil itu. Jangankan barang semahal itu, yang harganya tiga ribuan saja ia tak pernah punya.

***

Beberapa bulan yang lalu ….

“Jadi selama ini kamu punya istri lagi, Mas, di Jakarta? Pantes kamu jarang pulang. Ngasih nafkah selalu kurang. Kamu pikir duit segitu cukup apa buat biayain ke tiga anak kamu di sini? Nyesel aku udah mau dibawa ke kampung ini, sementara di perantauan sana kamu main-main dengan perempuan lain.” Siti tak kuasa menahan tangis mendengar pengakuan suaminya.

“Kenapa kamu harus menangis? Toh, dulu pun saat jadi istri ke dua, kamu tidak memikirkan perasaan Ratna. Kamu mau saja ‘kan aku jadikan istri?” ucap Didin sinis.

“Jelas aku meminta pertanggungjawaban, sedangkan di rahimku sudah ada si Fery, anak pertama kita. Kalau saja kamu bilang lebih dulu sudah beristri, mana mungkin aku mau kamu tiduri,” elak Siti.

Ia tak mau sepenuhnya disalahkan atas kejadian beberapa tahun lalu, saat dengan terpaksa harus menyingkirkan istri pertama Didin.

Didin sendiri bukanlah laki-laki yang cukup mapan. Ia hanya seorang buruh bangunan yang merantau di ibu kota. Tampang pun tak bisa dibilang lumayan. Kulitnya sawo matang, berperawakan sedang dengan mata belo dan bibir tebal. Hidung mancung saja yang membuat nilai lebih dari wajah. Seterusnya, ia lelaki empat puluh tahun dengan penampilan biasa.

Entah apa yang membuat perempuan-perempuan itu terpikat. Bahkan Didin adalah seorang mantan narapidana dengan kasus pencurian. Dan kebiasaannya itu tidak pernah hilang hingga anak ke tiga lahir. Hanya saja, ia lebih beruntung dari sebelumnya. Tak pernah ketahuan.

“Ah, sudahlah! Pokoknya terserah mau terima kenyataan ini atau tidak. Yang pasti aku sangat mencintai Fitri. Dia lebih cantik dari kamu. Lihat dong penampilan kamu sekarang! Kurus kering, tidak menarik sama sekali. Minggu depan aku akan bawa dia ke sini.”

Didin pergi. Meninggalkan Siti yang tengah menangis pilu.

Siti jadi teringat beberapa tahun lalu, saat ia mengambil Didin dari Ratna.

“Inikah yang kamu rasakan saat aku mengambil suamimu, Ratna? Kenapa perihnya sampai seperti ini?” gumam siti sambil menatap si bungsu April yang baru berusia dua bulan.

Pikirannya sangat kacau. Ia tak tahu harus mengambil keputusan seperti apa. Siti tahu, Didin ingin mengusirnya secara halus dengan membawa istri ke tiganya itu ke rumah mereka. Seperti yang Didin lakukan dulu kepada Ratna.

“Aku harus memberi pelajaran kepadamu, Mas,” Siti tiba-tiba memutuskan.

Ia tersenyum sinis. Mengelap ingus yang terlanjur meluncur dari hidung peseknya.

Segera ia mengemas beberapa lembar pakaian miliknya dengan si bungsu April, dan mengambil sebuah pulpen bersama selembar kertas. Siti mulai menuangkan pikirannya dalam sebuah tulisan.

Aku pergi. Tolong jaga baik-baik ke dua anak kita. April aku bawa karena dia masih terlalu kecil untuk ditinggalkan. Aku sangat menyesal menikah denganmu. Kamu seorang laki-laki bajingan. Beruntung Ratna tidak sampai merasakan kesakitan sampai bertahun-tahun. Sedangkan aku? Anak kita sudah tiga. Bayangkan selama itu tersiksanya aku seperti apa! Rasanya aku bodoh sekali mau saja mempertahankan rumah tangga denganmu. Saatnya sekarang aku menghukummu. Rasakan sendiri mungurus anak-anak dengan penghasilan yang kurang itu seperti apa! Semoga pernikahanmu dengan si Fitri itu tidak pernah bahagia.

Setelah membuat surat itu, Siti berpamitan pada kedua anaknya. Ia hanya bilang akan pergi sebentar. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa, mengiyakan saja perkataan ibunya. Mereka tidak mengerti, ternyata sudah jadi korban keegoisan orangtua.

***

“Fery, ngapain kamu di situ? Mau maling, ya, Hah?” Fitri murka melihat anak pertama suaminya itu, mengambil nasi di saat jatah makannya hari ini sudah habis.

“Fery masih lapar, Bu, tadi cuma makan dikit. Nasinya dimakan kucing waktu ambil minum,” jawab Fery sambil memegangi perutnya yang terasa perih.

“Ibu gak mau tahu, ya. Pokoknya jatah makan kamu sama si Rian itu sehari sekali. Mau dimakan kucing kek, ayam kek, buaya kek, gajah kek, terserah! Beras lagi mahal tau gak? Enak aja kamu mau ngambil nasi lagi. Pergi sana!”

“Tapi, Bu ….”

“Eeh, ngelawan kamu, ya? Nih, rasain nih!” Fitri menjewer kuping bocah sembilan tahun itu tanpa perasaan.

Diseretnya Fery ke kamar mandi, lalu diguyur dengan air seember.

Fery mengaduh dan meminta ampun, tapi Fitri tak acuh.

Sementara Fitri sedang menghukum Fery, diam-diam Rian mengambil nasi di dapur. Ditaruhnya makanan itu dalam daun pisang yang ia ambil dari samping rumah. Untuk dimakan kakaknya nanti jika keadaan sudah memungkinkan.

Kejadian ini bukanlah untuk pertama kali. Mereka akan melakukan hal yang sama, jika salah satunya dihukum hanya karena mengambil jatah lebih, atau ketahuan mengambil nasi lagi.

Lucunya, mereka seolah seperti pencuri di rumah sendiri. Segala hal selalu dibatasi dan diatur oleh Fitri. Tidak boleh sedikit pun melanggar aturan. Siapa yang tidak mematuhi, maka hukuman secara verbal maupun fisik harus mereka terima.

Akhirnya mengambil segala sesuatu secara diam-diam pun menjadi kebiasaan. Termasuk pada barang orang lain.

Kadang, saat dihukum seperti itu, mereka rindu juga pada Siti. Tapi harus bertanya pada siapakah mereka tentang keberadaan ibunya? Didin selalu marah jika ditanya hal itu. Membuat mereka mengkerut dan beranggapan, bahwa mereka tidak diinginkan lagi.

Didin pun bukan tak mengetahui anaknya sering diperlakukan begitu, tapi laki-laki itu dibutakan oleh cintanya pada Fitri. Bukannya memberi tahu sang istri kalau sikapnya keterlaluan, tapi ia hanya diam seolah mengiyakan anaknya disiksa.

***

“Pak, aku pengen mobil-mobilan kecil kayak punya temenku. Kapan Bapak bisa beliin aku mainan kayak begitu?” rengek Rian saat Didin akan berangkat kerja.

“Bapak punya duit dari mana? Gak usah minta yang aneh-aneh,” ucapnya cuek.

“Kalau gak punya duit, kenapa Ibu bisa beli baju baru kemarin?” tanya Rian polos.

“Kamu masih kecil, gak usah pengen tahu urusan orangtua. Pamali. Sana pergi sekolah!”

Rian kesal. Selalu ibu tirinya yang diutamakan, sedangkan ia hanya ingin mainan saja tak pernah dituruti.

Rian berangkat ke sekolah dengan perasaan kacau.

Sesampai di kelas, kebetulan ia melihat temannya membawa lagi mainan yang diinginkan.

Saat istirahat tiba, Rian ikut bergabung dengan teman-temannya. Semuanya sibuk memamerkan mainan masing-masing. Diam-diam ia mengintai. Ketika sang pemilik tengah lengah, ia memasukkan benda kecil itu ke dalam seragam. Lalu, ia pergi tanpa disadari yang lain.

Selalu seperti itu. Saat apa yang ia inginkan tak terpenuhi, Rian atau pun Fery akan mengambil barang orang lain secara diam-diam. Mereka mencuri.

Cara yang dipakai Siti dulu sepertinya salah. Bagaimana bisa ia meninggalkan anak-anaknya dengan alasan ingin menghukum sang suami? Kesal terhadap suami bukan berarti harus menjadikan anak sebagai korban.

Akhirnya seperti inilah mereka sekarang. Kurang kasih sayang dari kedua orangtua, menjadikannya tidak mengerti perbuatan baik dan buruk. Karena tidak ada yang mendidik dan memberikan perhatian penuh.

Entah apa jadinya mereka setelah dewasa nanti.(*)

 

Etin Sukmawati, bernama pena Dandelion Rindu. Seorang ibu rumah tangga yang mengurus satu balita laki-laki yang sedang aktif-aktifnya. Di tengah kesibukkan sebagai ibu rumah tangga, saya tetap menyempatkan diri untuk belajar menulis. Karena, menjadi Penulis yang bisa menginspirasi banyak orang adalah mimpi saya.

Whatsapp 083898689673, facebook DandelionRindu, dan email di sukmawatietins@gmail.com.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita