Setapak Senja
Senja?
Apa kau melihat senja yang sama sepertiku?
Apa kita tengah melukis senja yang serupa?
Aku ragu, itu sebabnya aku berlalu, meninggalkanmu yang masih terduduk di bangku tempat biasa kita bertukar cerita, bercanda, dan tertawa bersama.
Lagi, kau tak menggenggam tanganku kala itu. Membuatku terpaksa pergi tanpa pernah bisa kembali. Menghilang dari hidupmu.
Aku ingat saat itu, kau bersembunyi di balik pohon, di seberang anak sungai, memandangiku sembunyi-sembunyi. Aku tak menyadari hal itu, sibuk bermain dengan kupu-kupu yang tengah mengelilingi, juga burung mungil berwarna kuning yang datang entah dari mana. Bersama suara aliran sungai dan daun-daun yang berguguran, aku menghabiskan senja. Di tempat pertama kali kau melihatku.
Aku mendengarnya, suara langkah kaki yang perlahan mendekat, lantas menjauh. Mencoba menerka dari mana suara itu berasal.
Dan sama seperti yang kau katakan. Aku mencari, juga menemukan.
Namun aku tak sedang menemukan kelinci hutan, kijang, atau hewan lainnya.
Aku … menemukanmu yang terbelalak, mundur selangkah dengan telapak tangan yang masih menempel di batang pohon tempatmu bersembunyi.
Peraturan tetap peraturan, dan untuk pertama kali dalam hidup aku melanggarnya. Aku rasa seseorang telah memikat hatiku lebih cepat.
Aku menghela napas, berjalan pelan, menginjak dedaunan kering yang terhampar di atas rerumputan, lantas menyeberangi anak sungai dengan menginjak bebatuan. Menghampirimu dan tersenyum bahagia. Untuk sedetik kemudian aku mengulurkan tanganku tepat di hadapanmu.
Klise?
Mungkin begitu. Tapi untuk pertama kalinya aku jatuh cinta, dan ini adalah hal yang biasa.
***
“Siapa dia?” tanya Ayah setelah matahari tumbang di langit bagian barat. Wajahnya memerah.
Aku menundukkan kepalaku, berjalan menyingkap kain yang berfungsi sebagai sekat ruangan.
“Kau tidak boleh jatuh cinta!” pekiknya. Lantas menggebrak meja kayu. Membuat semua ruangan terasa bergetar.
Sementara itu di kamar aku menatap kosong ke cermin. Entah apa yang sedang aku perhatikan, yang kutahu pikiranku sedang berkabut saat ini, dan untuk esok aku akan kembali ke tempat yang sama. Bertemu dengan pria yang sama.
***
Sembari menunggu senja aku mengumpulkan daun-daun kering, memasukkannya ke dalam keranjang yang ada di dekat pohon beringin. Sesekali mataku menatap ke seberang anak sungai, menunggumu.
Di waktu yang sama, kau datang seraya membawa seikat bunga yang kau petik dari tempat sebelumnya. Berdiri di seberang dan menungguku menghampirmu.
Bukan!
Kau bukan tak ingin menghampiriku. Tapi peraturan tetap peraturan. Jadi biarkan aku saja yang melanggar.
Maka dalam denting waktu yang berlalu, membuat semburat jingga seolah tertelan di batas cakrawala, aku tak bisa lagi menemanimu. Beranjak pulang dan melambaikan tangan, memintamu untuk datang di setiap senja.
Besok … besoknya lagi … dan juga besok yang akan datang.
Dan di sini, tepat di seberang anak sungai, aku menunggumu. Berharap bahwa nanti saat Ayah merestui, kita akan bersatu.
***
“Bukankah sudah kubilang untuk meninggalkannya?” lagi-lagi Ayah berteriak murka. Menendang keranjang berisikan daun-daun kering yang kukumpulkan dari tepi sungai.
Aku hanya menunduk, memandangi jari manisku yang tak lagi terlingkarkan cincin darimu. Sebuah cincin berlapis mas putih yang baru saja kulepaskan saat senja tadi. Berusaha melepasmu sebelum akhirnya aku benar-benar pergi.
“Aku akan kembali ke kamar,” ucapku saru.
Sayangnya aku tak bisa kembali ke kamar, terhalang oleh Ayah yang telah lebih dahulu berdiri di hadapanku.
“Sekarang bagaimana kau akan bertahan hidup setelah menyerahkan hatimu untuk manusia?”
Hening.
Sama sepertinya, aku juga tidak tahu. Aku tak pernah berpikir jauh bahwa mencintai manusia akan sebegini menyakitkan. Membuatku harus menemukan cara bertahan hidup setelah tahu bahwa perlahan hatiku mengering.
Dan untuk semua kilah yang kulontarkan kala itu, aku bersyukur bahwa kau tidak mempercayainya, membuatku mampu mengambil keputusan lebih cepat. Pergi. Lantas menghilang dari hadapanmu.
***
Dan di sini, tepat di tempat biasa kita menghabiskan waktu. Aku terduduk di bangku yang biasa kau tempati, menatap rembulan yang menyorot langsung ke arahku. Memejamkan mata dan menunggu takdir yang membuatku benar-benar harus meninggalkanmu selamanya.
Untuk waktu yang kita habiskan bersama, itu adalah saat-saat yang berharga bagiku. Hanya saja dalam sekejap kita telah melewati waktu yang salah. Namun peraturan tetap peraturan, dan ini adalah hukuman karena aku telah melanggarnya.
“Dewi Malam, aku siap menerimanya,” ucapku pelan.
Aku membentangkan tangan, merelakan sedikit demi sedikit tubuhku menguap. Berterbangan ke langit sebelum fajar tiba.
Kau tahu apa yang tertulis dalam peraturan tersebut?
Tidak! Aku rasa aku takkan memberitahukannya padamu. Jadi biarlah!
Mungkin kita memang harus berakhir dengan aku yang pergi. Dan nanti, saat hujan turun, maka aku akan ikut serta bersamanya. Menyapamu meski kau takkan pernah menyadari. Takkan mampu mengenali, atau menatapku sama seperti saat pertama kita bertemu.
Maka saat esok kau datang ke sini, pulanglah! Aku benar-benar tak bisa menghampirimu seperti biasa.
Dan ruang itu, alam yang kau lihat di mana ada aku di dalamnya, ia hanya sebatas hutan. Kembali sama seperti hari-hari sebelum senja. (*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita